Dalam penyusunan atau perumusan suatu undang-undang, ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan, yakni: pertama, persoalan teknis prosedural. Dan kedua, masalah materi yang diatur dalam pasal-pasal. Jika melihat proses perjalanan UU Kesehatan, mulai dari perumusan hingga pengesahan, maka UU ini dapat dikatakan tergolong cepat atau hanya memakan waktu kurang lebih 8 (delapan) bulan, terhitung sejak Desember 2022, dimana saat itu DPR melakukan pengesahan RUU ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 (angka 18 Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor:11/DPR/ll/2022-2023 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2023). Selanjutnya, di bulan Februari 2023, RUU ini disepakati menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-16 masa persidangan III 2022-2023, dimana dari 9 fraksi di DPR, terdapat 8 fraksi menyepakatinya, kecuali fraksi PKS.
Pada Maret 2023, ada 2 agenda terkait RUU ini, yakni: pada tanggal 10 Maret 2023, DPR resmi mengirim draf RUU ini kepada pemerintah. Dan tanggal 16 Maret 2023, pemerintah menargetkan penyusunan daftar inventarisasi RUU ini rampung pada Juni 2023.
Pada April 2023, secara resmi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan diserahkan pemerintah kepada DPR. DIM RUU ini sudah dibahas sejak Agustus 2022, namun baru diketahui publik sekitar Maret 2023 yang berisi 478 pasal, batang tubuh sebanyak 3020, dengan komposisi sebanyak 1037 tetap, 399 perubahan redaksional, dan 1584 perubahan substansi.Â
Sementara itu, baru pada Juni 2023 pemerintah bersama DPR mengadakan rapat kerja pembicaraan tingkat I RUU ini dengan menyepakati naskah RUU Kesehatan dilanjutkan pada pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR. Ini memperlihatkan bahwa proses pembentukan RUU Kesehatan hingga menjadi UU memakan waktu yang cukup singkat. Akan muncul pertanyaan publik, bagaimana bisa sembilan UU yang mau diubah menjadi Omnibus dapat dibahas secara komprehensif dalam waktu kurang dari tiga bulan? Problem prosedur penyusunan RUU ini dapat menjadi dasar dalam pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Definisi pengujian formil termaktub dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yang menyebutkan bahwa pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Â
Lebih lanjut, dalam Sub-paragraf [3.15.1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUUXVII/2019, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengujian formil (formeele toetsing) adalah pengujian atas suatu produk hukum yang didasarkan atas proses pembentukan undang-undang. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formilnya adalah sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate procedure) (vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUUXVII/2019, hlm. 361-362).
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XVII/2019 merupakan yurisprudensi terkait syarat penilaian pengujian formil, yang terdiri dari 5 (lima) syarat, yakni: pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi UU; pengujian atas bentuk (format) atau sistematika UU; pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan UU; dan pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Dalam pandangan Saldi Isra, sistem legislasi sebagaimana diatur Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945, mengatur bahwa proses pembentukan UU (law-making process) merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari: (1) prakarsa pengajuan RUU; (2) pembahasan RUU; (3) persetujuan RUU; (4) pengesahan RUU menjadi UU; dan (5) pengundangan dalam lembaran negara (Saldi Isra dalam Keterangan Ahli perkara uji formil UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Salinan Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009, hlm. 27).
Upaya ini dilakukan untuk melimitasi aktivitas politik fungsi legislasi demi menjamin due procces of law yang tertib dan berkeadilan. Pentingnya sebuah kaidah dan asas pembentukan undang-undang dalam fungsi legislasi ditujukan untuk meminimalisir warna kepentingan politik dalam aktivitas pembentukan rancangan undang-undang.
Argumen lain yang dapat memperkuat pentingnya due procces of law yang tertib dan berkeadilan adalah pendapat Yuliandri dalam Keterangan Ahli perkara uji formil-materil UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Salinan Putusan MK Nomor 79/PUU-XII/2014, hlm. 81- 88), yang menyebut bahwa proses pembentukan undang-undang memiliki sifat constitutional importance, sebagaimana tertuang dalam Pasal 22A UUD 1945. Ada 3 (tiga) alasan yang mendasarinya, yakni: pertama, keberadaan tata cara atau prosedur merupakan salah satu jalan untuk mengontrol agar kekuasaan pembentukan UU yang dimiliki DPR dan juga Presiden tidak disalahgunakan. Kedua, prosedur atau tata cara dapat dijadikan indikator untuk menilai semangat atau motif apa yang ada dibalik perumusan sebuah norma.Â
Secara kasat mata, substansi yang dimuat dalam UU bisa saja dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena yang diatur merupakan open legal policy pembentuk UU, namun sebuah norma sangat mungkin lahir dari sebuah moral hazard. Ketiga, proses dan hasil pembentukan sebuah UU bukanlah dua hal yang terpisah. Sekalipun keduanya dapat dibedakan, namun keduanya tidak dapat diletakkan secara dikotomis. Proses sangat menentukan hasil. Oleh karenanya, proseslah terlebih dahulu yang harus dinilai, baru kemudian hasilnya.