Meskipun perumusan UU Kesehatan dengan menggunakan model Omnibus Law didasarkan pada Pasal 42A UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun tetap harus memperhatikan asas kepastian hukum.Â
Bagaimanapun, prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan di setiap negara sangat bergantung kepada sistem yang dianut oleh negara tersebut, sekalipun model Omnibus Law sudah banyak digunakan oleh negara-negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental (Redi dan Chandranegara, 2020). Hal ini selaras dengan teori "The law of non transferability of law" yang dikemukakan oleh William J. Chambliss dan Robert B. Seidman, yakni hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain (Suteki, 2013).
Selain problem law-making process UU Kesehatan yang dapat dijadikan dasar pengujian formil ke MK, setidaknya ada 4 (empat) problem substansial yang terkandung di dalamnya yang dapat dijadikan dasar dalam pengujian materil, yakni: pertama, perumusan RUU Kesehatan tidak jelas dan tidak mempunyai landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis, serta tidak mendesak.Â
Kedua, RUU tersebut juga memuat kemudahan pemberian izin praktik bagi dokter asing di Indonesia. Sementara, bagi dokter yang dalam negeri sendiri prosedurnya cukup panjang. Walaupun pemerintah mengakui bahwa izin bagi dokter asing bakal diberikan terbatas di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ataupun rumah sakit swasta tempat investor negaranya menanam saham, namun hal ini tetap menjadi ancaman bagi dokter di dalam negeri.
Ketiga, yang tak kalah pentingnya dalam RUU ini adalah masalah dihapusnya belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang (mandatory spending) untuk sektor kesehatan, yakni 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD, sebagaimana sebelumnya telah diatur dalam Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.Â
Pengaturan ini tidak sesuai amanah Abuja Declaration WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), yaitu minimal 20 persen, dan TAP MPR RI No. X/MPR/2001 Poin 5a angka 4, dengan bunyi: mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan 15 persen dari APBN, untuk mencapai syarat minimum HDI (Human Development Index) yang ditetapkan oleh WHO.
Dan keempat adalah masalah ketidakpastian hukum yang akan dihadapi oleh organisasi profesi tenaga kesehatan jika sembilan undang-undang yang mengatur tentang profesi dan kesehatan digabung menjadi satu produk undang-undang omnibus.
Peluang Judicial Review
Hak konstitusional warga negara dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang memberikan kesempatan untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila dalam pembentukan UU dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan UU tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).
Mekanisme judicial review diyakini akan mampu menjaga keseimbangan dalam pelaksanaan checks and balances antarcabang kekuasaan negara. Selain itu, judicial review menimbulkan prinsip prudential (kehati-hatian) bagi pembentuk undang-undang ketika membahas rancangan undang-undang (Isra, 2014). Dalam konsepsi pengujian, hak menguji dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yakni: pertama, hak menguji formal (formele toetsingsrecht) melihat keabsahan prosedur pembentukan rancangan undang-undang itu dilakukan. Kemudian kedua, hak menguji material (materiele toetsingsrecht), melihat kesesuaian materi muatan undang-undang terhadap norma yang lebih tinggi (Ali, 2015).
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.