Sering kali konsumen merasa sudah merasa aman ketika membeli produk dengan “pemanis alami” seperti: madu, gula aren, agave, dll. Padahal, gula alami pun bila ditambahkan pada suatu produk makanan tetaplah bersifat sebagai gula tambahan. Namanya mungkin tak semenyeramkan dextrose, namun apapun istilahnya gula adalah gula yang memiliki efek negatif bila dikonsumsi berlebih.
Produsen juga sering memanfaatkan kerancuan pemahaman ini dengan mencantumkan istilah “tidak mengandung gula rafinasi” sehingga produknya terkesan lebih sehat. Padahal, konsumen perlu kritis karena mungkin produk tersebut memang tidak mengandung gula rafinasi (gula putih) namun masih mengandung gula lain dalam bentuk yang berbeda.
5. Label “low sugar” atau “less sugar”
Label “less sugar” terbukti efektif membujuk konsumen untuk membeli sebuah produk pangan karena merasa sudah membeli produk yang rendah gula (low sugar). Padahal, keduanya tidak sama.
Merujuk pada Peraturan BPOM No. 1 tahun 2022, label “less sugar” artinya produk tersebut mengandung 25% lebih sedikit gula dari pada produk sebelumhya. Sedangkan “low sugar” artinya kandungan gula dalam produk tersebut kurang dari 5 gram per 100 gram sajian untuk produk padat dan 2,5 gram per 100 ml untuk produk cair.
Sebagai contoh, sebuah minuman teh kemasan yang banyak dijual di minimarket kandungan gulanya sebesar 17 gram per 200 ml. Produk yang sama dengan label “less sugar” kandungan gulanya 15 gram per 300 ml. Ini artinya, produk “less sugar” teh kemasan tersebut masih memiliki kandungan gula dalam jumlah yang cukup tinggi dan tidak masuk dalam kategori "low sugar'.
6. Mengurangi porsi
Pelaku industri pangan sering membuat versi porsi lebih kecil dari produk yang sudah ada sebelumnya, misalnya piza dalam ukuran mini, minuman soda dalam kemasan kecil, biscuit coklat mini, dll.
Dengan membeli produk dalam porsi kecil tersebut konsumen seolah-olah merasa telah mengurangi asupan gula. Namun sering kali konsumen justru menjadi terlena untuk kemudian mengkonsumsi produk itu dalam jumlah lebih banyak.
Merujuk pada aneka kamuflase gula tersebut, dapat disimpulkan bahwa kandungan gula pada sebuah produk pangan sering kali tidak mudah untuk diidentifikasi secara langsung. Cara paling mudah untuk menghindarinya adalah dengan menghindari pangan ultra proses (highly processed food) dan lebih memilih mengkonsumsi pangan utuh (whole food).
Peran Negara
Upaya mengendalikan konsumsi gula melalui kebijakan publik bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Selera dan pola makan masyarakat telah terlanjur terkondisikan oleh kekuatan industri pangan dalam jangka waktu yang sangat lama.
Masyarakat sudah terlalu lama dibanjiri dengan pangan sarat gula beserta semua propaganda periklanannya sehingga cenderung tak memiliki kesadaran kritis terhadap gula. Kondisi tersebut juga membuat masyarakat menjadi miskin dengan pilihan terhadap pangan utuh dengan gula alami.
Sebagai contoh, dalam kehidupan modern yang serba sibuk, mengakses mie instan yang sarat karbohidrat sederhana sering kali menjadi pilihan yang lebih praktis dari pada sarapan dengan ubi.