Mohon tunggu...
Paramesthi Iswari
Paramesthi Iswari Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga. Sedang belajar untuk kembali menulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kamuflase Gula dan Kehadiran Negara

18 Juli 2024   08:33 Diperbarui: 18 Juli 2024   10:18 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cupcakes.  Pixabay/Cegoh

Merujuk pada Peraturan BPOM No. 1 tahun 2022, label “less sugar” artinya produk tersebut mengandung 25% lebih sedikit gula dari pada produk sebelumhya.  Sedangkan “low sugar” artinya kandungan gula dalam produk tersebut kurang dari 5 gram per 100 gram sajian untuk produk padat dan 2,5 gram per 100 ml untuk produk cair. 

Sebagai contoh, sebuah minuman teh kemasan yang banyak dijual di minimarket kandungan gulanya sebesar 17 gram per 200 ml.  Produk yang sama dengan label “less sugar” kandungan gulanya 15 gram per 300 ml. Ini artinya, produk “less sugar” teh kemasan tersebut masih memiliki kandungan gula dalam jumlah yang cukup tinggi dan tidak masuk dalam kategori "low sugar'.

6.  Mengurangi porsi

Pelaku industri pangan sering membuat versi porsi lebih kecil dari produk yang sudah ada sebelumnya, misalnya piza dalam ukuran mini, minuman soda dalam kemasan kecil, biscuit coklat mini, dll.  Dengan membeli produk dalam porsi kecil tersebut konsumen seolah-olah merasa telah mengurangi asupan gula.  Namun sering kali konsumen justru menjadi terlena untuk kemudian mengkonsumsi produk itu dalam jumlah lebih banyak.   

Merujuk pada aneka kamuflase gula tersebut, dapat disimpulkan bahwa kandungan gula pada sebuah produk pangan sering kali tidak mudah untuk diidentifikasi secara langsung.  Cara paling mudah untuk menghindarinya adalah dengan menghindari pangan ultra proses (highly processed food) dan lebih memilih mengkonsumsi pangan utuh (whole food).

Peran Negara

Upaya mengendalikan konsumsi gula melalui kebijakan publik bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Selera dan pola makan masyarakat telah terlanjur terkondisikan oleh kekuatan industri pangan dalam jangka waktu yang sangat lama.  Masyarakat sudah terlalu lama dibanjiri dengan pangan sarat gula beserta semua propaganda periklanannya sehingga cenderung tak memiliki kesadaran kritis terhadap gula.  Kondisi tersebut juga membuat masyarakat menjadi miskin dengan pilihan terhadap pangan utuh dengan gula alami.  Sebagai contoh, dalam kehidupan modern yang serba sibuk, mengakses mie instan yang sarat karbohidrat sederhana sering kali menjadi pilihan yang lebih praktis dari pada sarapan dengan ubi.

Meski jauh dari memadai, kebijakan pelabelan kandungan gula tetaplah diperlukan.  Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan tersebut dapat membantu mengurangi konsumsi pangan berpemanis.  

Rendahnya literasi di Indonesia menyajikan tantangan yang lebih besar sehingga sekedar pelabelan gula saja tidak cukup.  Jangankan memahami isi label produk pangan, membacanya saja barangkali tidak banyak orang akan melakukannya.

Pemerintah perlu memberi tekanan yang lebih kepada produsen pangan, misalnya dengan segera merealisasikan pemberlakuan cukai gula maupun pembatasan jumlah kandungan gula dalam produk pangan yang disertai dengan penegakan hukum yang konsekwen. 

Di Indonesia persoalan ini menjadi lebih rumit mengingat pengawasan terhadap produk pangan masih belum bisa menjangkau hingga level usaha kecil.  Padahal tak sedikit juga pelaku usaha kecil yang memproduksi pangan dengan kandungan gula yang tinggi dan digemari masyarakat seperti es kepal, boba, martabak manis, piscok, dll.  

Pemerintah juga perlu antisipatif terhadap dampak penerapan kebijakan pengendalian konsumsi gula tersebut terhadap pelaku usaha kecil.  Ketentuan pencantuman label kandungan gula pada produk makanan tentunya akan menjadi tambahan biaya produksi tersendiri.  Demikian juga dengan rencana penerapan cukai gula.

Di sisi lain, membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya makanan sehat, khususnya membatasi konsumsi gula adalah langkah strategis yang harus ditempuh.  Literasi gizi seimbang menjadi sangat relevan untuk dilakukan, khususnya kepada ibu rumah tangga dan pelajar di semua tingkat.  Ibu rumah tangga memiliki peran yang menentukan atas akses keluarga terhadap pangan bergizi sekaligus membentuk preferensi makan pada anak sejak dini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun