Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat Kearifan Lokal

19 Mei 2016   23:02 Diperbarui: 19 Mei 2016   23:15 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yah, mungkin hal itu tepat untuk menyimpulkan pertanyaan saya: mengapa kita membela kearifan lokal yang buruk, sementara yang sungguh arif malah dilupakan, dipinggirkan, atau hanya dipakai sebagai lip service untuk membenarkan keburukan-keburukan budaya kita?

***

Saya membaca sebuah artikel tentang hubungan antara ketertiban lalu lintas dengan tingkat korupsi di suatu negara. Kesimpulan penulisnya jelas: semakin korup suatu negara, semakin kacau lalu lintasnya. Tetapi ada satu hal yang menarik dari penelitian tersebut:

“Beberapa nilai budaya, seperti kebebasan intelektual, dipandang (dapat) mengurangi kecelakaan lalu lintas. Lainnya, misalnya struktur sosial yang hierarkis, membuat kecelakaan bertambah. Pemerintahan yang baik ternyata dapat menjadi moderator yang efektif untuk nilai-nilai (budaya) yang berdampak pada naiknya angka kecelakaan. Di negara dengan pemerintahan (baca: hukum) yang  tidak berjalan baik, dampak budaya yang negatif cenderung semakin menonjol.”

Jika merujuk pada definisi Moendardjito di awal tulisan, budaya lokal yang berbaur dengan modernisme bernama kendaraan bermotor dan jalan raya menghasilkan ‘kearifan lokal’ bernama sikap berkendara. Dalam struktur sosial yang hierarkis, kendaraan pribadi dianggap sebagai ‘simbol status’ sehingga jalanan menjadi ajang ‘aktualisasi diri’. Akibatnya mudah ditebak: respek terhadap sesama pemakai jalan menjadi rendah.

Masalahnya, jalan raya adalah ruang publik. Untuk menciptakan harmoni antar nilai yang berbeda di ruang publik, dibutuhkan peraturan yang netral dan mengikat. Tetapi karena begitu mengakarnya hierarki sosial dalam budaya kita, peraturan lalu lintas yang egaliter dan dibuat semata untuk keselamatan, dianggap tidak berguna. Bahkan bagi sebagian orang dianggap sebagai ancaman dari penguasa, pemodal atau pihak asing.

Pengendara sepeda motor di bawah umur adalah contoh paling jelas. Mengapa mereka boleh naik motor? Karena orang tua mereka mengijinkan. Mengapa diijinkan? Karena itu menunjukkan mereka punya uang untuk membeli motor dan anak mereka mandiri. Mengeapa mereka tidak pakai helm tetapi berbusana religius dan bahkan mengendarai motornya untuk pergi beribadah? Karena mereka diajari untuk patuh pada orang tua dan agama, kasta tertinggi dalam kehidupan sosial mereka.

Peraturan lalu lintas yang egaliter dan menuntut sikap hormat antar pemakai jalan yang tidak saling mengenal adalah konsep yang asing bagi mereka. Peraturan itu menakutkan dan berbenturan dengan konsep kekeluargaan mereka, karenanya harus ditelikung atau dilawan sekalian.

Hal inilah yang terjadi dengan bentuk-bentuk kearifan lokal di masyarakat modern atau kosmopolitan. Mereka datang ke kota membawa pola pikir dan budaya mereka. Ketika mereka berbaur dengan bentuk budaya lainnya, entah mereka bentrok atau menyesuaikan diri. Bentuk penyesuaian diri ini (kearifan lokal) bisa jadi baik, bisa juga buruk. Yang buruk ini, tentu saja harus dinetralisir dengan peraturan dari pihak yang berwenang.

Tetapi ketika diatur, mereka malah melawan dengan alasan “budaya asli”. Sudah bertahun-tahun mereka tinggal di sini dengan membayar preman atau oknum pejabat, mengapa sekarang digusur? Sudah lama mereka tinggal di pinggir sungai dan hidup saling mengotori dengan sang air, mengapa sekarang dipindahkan ke rumah petak yang kaku? Di kampung mereka biasa naik motor tanpa helm dan membawa muatan berlebihan, kenapa sekarang ditilang?

Artikel tentang lalu lintas dan korupsi tadi sudah memberikan jawabannya: kebebasan intelektual mengurangi angka kecelakaan. Artinya, orang yang cerdas akan memilih untuk menaati peraturan demi keselamatan berasama. Orang yang terdidik akan bersikap arif untuk (sedikit) mengerem nilai kearifan lokalnya demi menghargai pemakai jalan lain. Jadi kata kuncinya adalah pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun