Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat Kearifan Lokal

19 Mei 2016   23:02 Diperbarui: 19 Mei 2016   23:15 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah yang sering tidak (mau) disadari oleh para penggiat kearifan lokal maupun pendukungnya. Mereka berpura-pura lupa bahwa mereka dulu juga menggusur bentuk budaya yang lebih tua. Mereka mengasosiasikan diri dengan suku Anak Dalam atau Dayak, padahal mereka lebih tepat disamakan dengan petani pembakar hutan yang merusak tanah penduduk asli, tetapi merasa terancam oleh regulasi global yang mewajibkan produk pertanian yang ramah lingkungan.

Kemiskinan juga sering dipakai sebagai dasar pembenaran untuk mengasosiasikan seseorang atau kelompok masyarakat dengan kearifan lokal dan menolak perubahan. Prinsipnya: semurni-murninya rakyat adalah mereka yang paling miskin. Benarkah demikian? Atau kalau mau lebih kritis lagi, apakah yang menolak perubahan itu benar-benar miskin atau hanya mengasosiasikan diri dengan kemiskinan?

Ibu saya membantu seorang janda yang mempunyai empat anak, dua diantaranya masih kecil, yang tinggal di kampung belakang rumah orang tua saya. Selain memberinya pekerjaan, ibu juga membantunya menghemat pengeluaran, khususnya listrik. Ibu menyarankan janda itu memakai lampu yang lebih hemat, mengurangi pemakaian TV dan menggunakan listrik dengan token.

Anda tahu? Susahnya luar biasa, sampai ibu saya uring-uringan. Asal tahu saja, orang-orang kampung urban seperti mereka memang menginginkan kemewahan, tetapi tidak mengerti cara mengaturnya. Alat listrik dan elektronik bisa menyala 24 jam sehari (termasuk TV). Akibatnya tagihan listrik membengkak dan bahkan ia sampai berhutang dari rentenir untuk melunasinya. Singkat kata, gali lubang tutup lubang.

Dengan token, tentu saja ada batas pemakaian yang membuat anda mau tak mau berhemat. Ternyata salah satu anaknya yang sudah dewasa menghasut si janda untuk tidak menuruti ibu saya. Pakai token nyusahin, katanya. Ibu saya dipandang sebagai orang kaya yang mau menyusahkan orang miskin dengan memaksa mereka mengubah gaya hidupnya, atau budayanya.

Beralih ke soal penggusuran, misalnya warga bantaran sungai. Anda mungkin tahu argumen yang membela mereka: hidup selaras dengan alam. Maksudnya selaras di sini adalah tidak keberatan mengkonsumsi air yang mereka kotori dengan sampah dan hajat mereka sendiri, dan pasrah saat sampah mereka sendiri menyebabkan mereka kebanjiran. Sungguh, para pembela itu benar-benar menganggap hal itu sebagai kebaikan dibanding hidup terkotak-kotak di rumah susun.

Selain itu kearifan lokal juga dipakai sebagai alasan untuk membenarkan pelanggaran hukum. Contoh yang paling sederhana: lalu lintas. Anda pernah merasa sebal ketika ada sepeda motor yang melawan arus atau naik trotoar? Coba anda tegur mereka. Saya jamin anda akan mendapat teguran yang lebih keras lagi. Teman istri saya pernah melakukannya, dan ia dibentak “Ini Jakarta, anjing!!!”

Kalau anda suka menonton acara “86” di NET.TV, tentu anda sering melihat bagaimana para pengendara motor berkelit ketika polisi menangkapnya karena berkendara tanpa helm, lebih dari dua orang, melawan arus atau bahkan di bawah umur. Jargon yang sering mereka pakai adalah “Cuma dekat kok!”, “Sebentar aja!” atau “Ini juga biasanya nggak apa-apa!”. Mereka menuduh polisi tidak paham dengan adat kebiasaan berkendara masyarakat di daerah itu.

Itu baru tindak pidana ringan. Anda yang masih suka menyalahkan VOC atas budaya korupsi di negeri ini, coba pikir lagi. Apakah anda terbiasa memberikan “upeti” kepada orang yang dituakan atau ditokohkan, atau membelikan hadiah atau oleh-oleh yang berlebihan untuk istri dan sanak famili atas dasar “kekeluargaan”? Tidakkah terpikirkan oleh anda bahwa budaya yang santun itu mengakibatkan korupsi berjamaah yang tidak habis-habisnya di berbagai institusi negeri ini?

Yang juga sering dibela adalah premanisme. Premanisme dianggap warisan budaya nenek moyang, pernah berjuang melawan penjajah, menjaga adat istiadat atau akidah agama tertentu. Mereka sering dianggap sebagai kekuatan “pribumi lokal” melawan hegemoni “pengusaha keturunan”. (Dalam bahasa Belanda, “Vrijman” berarti “orang bebas”. Artinya mereka tidak mungkin ada jika tanpa kehadiran penjajah.)

Tetapi masyarakat tutup mata ketika mereka juga menerima bayaran dari “pengusaha keturunan” untuk menghabisi rival bisnisnya. Saya bingung, jika mereka digadang-gadang sebagai pejuang kemerdekaan dan pelestari budaya, mengapa kita tidak memberikan penghargaan yang sama atau bahkan lebih kepada para veteran yang kini sebatang kara, atau seni budaya yang terancam punah? Mengapa kita malah melindungi para begal yang bengal ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun