Mohon tunggu...
Panji Dafa
Panji Dafa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Perikanan UGM.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Industri 4.0 dan Jalan Riuh Diskursus Modernisasi

15 Februari 2019   20:26 Diperbarui: 16 Februari 2019   14:24 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hingga hari ini, revolusi Industri 4.0 menjadi sebuah diskursus utama di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Tentu istilah itu sudah menjadi istilah yang populis dan tak asing di telinga kita. 

Semua negara terlibat dalam proses modernisasi sebagai persiapan menghadapi agenda agung 4.0.  Tapi apakah kita mengerti betul apa yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0? Mungkin iya, mungkin tidak. Setidaknya pernah mendengar. Yang pasti adalah pemerintah selalu menghimbau warganya untuk mempersiapkan diri menuju revolusi industri 4.0.

Fenomena Revolusi Industri 4.0 dan Timbulnya Ketakutan Berlebih

Mendengar istilah Revolusi Industri 4.0 atau Industri 4.0 menjadi momok menakutkan bagi manusia di hari ini. Perasaan insekuritas manusia terlihat sangat dominan dalam diskursus-diskursusnya, bahkan hingga entitas mikro seperti ruang-ruang diskusi kopi di kalangan mahasiswa. Terma horor "otot diganti robot" menggambarkan bahwa Industri 4.0 (akan) menggeser keterlibatan manusia dalam kerja-kerja produksi digantikan robot-robot otomatis.  

Bahkan riset McKinsey mengklaim bahwa sekitar 50 juta pekerjaan diprediksi akan "hilang dalam beberapa waktu ke depan."2 Terutama di sektor manufaktur. Pendiri sekaligus Ketua Eksekutif World Economic Forum (WEF) Klaus Schwab berpendapat revolusi teknologi sedang berlangsung "yang mengaburkan batas antara bidang fisik, digital, dan biologis."

Ekonom Indonesia Rhenald Kasali dalam tulisannya di Kompas3 ia menggambarkan bahwa teknologi perlahan tapi pasti akan menggantikan tenaga manusia. Ia memberikan contoh yang terjadi di beberapa negara dunia yaitu kuli angkut pelabuhan yang kini diganti crane dan forklift dan buruh pelabuhan perlahan mulai punah. Tak hanya di pelabuhan, di supermarket pun anak-anak muda beralih dari tukang panggul menjadi penjaga di control room. 

Mungkin gambaran tersebut terlihat 'baik' karena manusia lantas menggunakan teknologi untuk menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang beresiko tinggi. Tapi di balik itu, jutaan pekerja dibebas-kerjakan alias PHK. 

Kita ambil contoh di Amerika Serikat, jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur menurun drastis di tahun 2017 hingga dibawah sepuluh persen yang sebelumnya mencapai kurang lebih 26% di tahun 1960.4 

Prediksi Rhenald Kasali akan hilangnya pekerjaan tidak hanya menyasar di sektor manufaktur, tapi juga di sektor jasa, contohnya pengantar pos, penerjemah, dan pustakawan juga akan munyusul.3 

Bagaimana dengan sektor pertanian? Di Amerika Serikat, sektor pertanian dari total pekerjaan menurun dari 60 persen pada tahun 1850 menjadi kurang dari 5 persen pada tahun 1970. Negara-negara lain bahkan mengalami penurunan yang lebih cepat: sepertiga dari tenaga kerja Tiongkok pindah dari pertanian antara tahun 1990 dan 2015.4

Aura 'ketakutan' ini tidak hanya dialami oleh kita-kita sendiri, pemerintah pun tak luput mengalaminya. Di awal tahun 2018, pemerintah berencana melakukan pelatihan bagi elit-elit birokrat setingkat eselon I, II, III, IV di 34 kementerian. Pelatihan tersebut terangkum dalam program diklat revolusi mental untuk implementasi Revolusi Industri 4.0 di Indonesia. 

Pelatihnya pun tak tanggung-tanggung, pemerintah langsung mendatangkan dari universitas-universitas ternama di dunia seperti Tsinghua University Tiongkok dan Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan Temasek Singapura.5 

Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan juga mengembangkan pelatihan-pelatihan di bidang teknologi informasi secara masif yang diadakan di Balai Latihan Kerja (BLK) yang tersebar di Indonesia.6

Ketakutan Itu Menimbulkan Penolakan

Tentu bagi kita yang tinggal di kota-kota besar meyakini bahwa teknologi dengan segala arus modernisasinya menciptakan kemudahan hidup. Frasa kemudahan hidup pun juga tak luput dari perdebatan karena maknanya sangatlah bias. 

Pertanyaan-pertanyaan umum seperti kemudahan menurut siapa? Hidupnya siapa? Sebagai bentuk kritik tak lepas dari diskursus tentang teknologi. Kita selalu dipertontonkan bagaimana teknologi lantas membantu setiap sendi-sendi kehidupan dengan segala propaganda slogannya, terutama melalui iklan. Yang akhirnya, berkontribusi pada terciptanya sebuah kontruksi sosial berupa persepsi dalam memandang teknologi.

picsbud.com
picsbud.com
Mungkin anda semua membaca tulisan ini menggunakan piranti digital entah itu berupa gawai modern maupun laptop muktahir. Apakah teman-teman ingat ketika teman-teman membeli gawai atau laptop karena kebutuhan atau buaian iklan-iklan yang menunjukkan kecanggihan gawai dan laptop teman-teman?

"Teknologi belum tentu mendatangkan kemudahan hidup, pun tidak semua dalam hidup menjadi mudah karena teknologi."

Keadaan itu berbanding terbalik dengan keadaan di masyarakat pedesaan. Saya pernah menulis tentang kebijakan MIFEE di zaman SBY dan dasar penolakan atas kebijakan tersebut. 

Salah satu kelompok masyarakat yang sangat terganggu dengan adanya mega proyek tersebut yaitu Suku Marind Anim. Salah satu point penting yang bisa kita ambil bahwa penolakan itu didasari oleh ketakutan akan konsep pembangunan pertanian yang terintegrasi dan modern; dengan luasan lahan yang sangat luas. 

Ketakutan itu bukan tanpa sebab musabab, selain terjadinya penggusuran atas ruang hidup juga lambat laun tentu menimbulkan perubahan sosial dalam struktur maupun fungsi mencakup norma, nilai, pola-pola perilaku masyarakat, lapisan masyarakat hingga hal yang paling kecil seperti interaksi sosial secara menyeluruh.

Munafi dan Tenri (2016)7 dalam penelitiannya tentang modernisasi perikanan di Kota Baubau ataupun penelitian Hamzah (2009)8 di Kabupaten Muna menunjukkan bahwa walaupun pemerintah setempat melalui kebijakannya menghendaki teknologi berinfiltrasi ke dalam kehidupan masyarakat mereka, tetapi cara-cara dan corak perikanan tradisional masih dipergunakan hingga saat ini. 

Bagi peneliti mengadopsi teknologi atau tidak tergantung pada aspek ekonomi, sosial, religius, psikologis, dan budaya karena tentu akan berujung pada perubahan kehidupan dan sistem sosial yang ada. 

Meminjam pendapat Giddens9,  cara hidup yang dimunculkan oleh modernitas telah membersihkan kita dari semua jenis tatanan sosial tradisional, dengan cara yang tidak pernah ada sebelumnya. Dalam hal ekstensionalitas maupun intensionalitasnya, transformasi yang berlangsung di dalam modernitas lebih menonjol ketimbang sebagian besar karakteristik perubahan periode sebelumnya. 

Pada tingkat ekstensional, cara hidup itu memapankan beberapa interkoneksi sosial yang berlangsung di dunia ini; dalam konteks intensional ia telah menubah beberapa ciri khas yang paling dekat dan paling pribadi dari eksistensi kita dari hari ke hari.9 

Selain itu, anggapan umum masyarakat akan modernitas selalu mengarah kepada 'barat', 'barat sebagai kiblat' ataupun menganggap hal tersebut sebagai 'proyek barat', sentimen-sentimen itu setidaknya hingga hari ini masih tumbuh subur. Selain itu, yang tak kalah suburnya adalah narasi penyamaan modernisasi dengan westernisasi. Tapi apakah (benar) modernitas merupakan proyek barat?

Anthony Giddens pernah membahas hal ini. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mungkin kita harus mengetahui hal ini terlebih dahulu. Dalam pengelompokkan organisasional, dua kompleks organisasional yang berbeda memiliki arti penting bagi perkembangan modernitas; negara-bangsa dan produksi kapitalis secara sistematis. Keduanya berakar pada karakteristik khas sejarah Eropa dan tidak banyak memiliki kaitan dengan periode sebelumnya atau dengan setting budaya lain. 

Jika, dalam eratnya kaitan satu sama lain, mereka telah menguasai seluruh dunia, itu semua karena kekuasaan yang mereka bangun. Atas pertanyaan ini, jawaban besarnya tentu "ya". Salah satu konsekuensi fundamental modernitas adalah globalisasi. Ini lebih dari sekedar difusi institusi barat ke seluruh dunia, di mana budaya lain dihancurkan. 

Globalisasi-yang merupakan suatu proses perkembangan tidak seimbang yang runtuh ketika dia berkembang- memperkenalkan bentuk baru kesalingtergantungan dunia.9 Atas dasar tersebut seakan mengamini McNeill dalam bukunya The Rise of The West -- A History of Human Community yang menyatakan bagaimanapun juga pertumbuhannya di kemudian hari, kebudayaan dunia selalu mengandung ciri-ciri barat; "Setidak-tidaknya pada tahap-tahap permulaan, setiap kekuasaan dunia ini tentu negara barat."10 

Juga melalui garis pemikiran inilah maka Van Baal berpendapat, bahwa ada bermacam-macam variasi berdasarkan faktor-faktor kebudayaan, geografi, dan politik, bangsa-bangsa non barat itu makin lama makin berorientasi ke barat.11 

Di sisi lain, Profesor J. W Schoorl dari VU University menegaskan bahwa 'modernisasi' lebih baik dari pada 'westernisasi', karena pertama: tepat menjelaskan, bahwa masalahnya mengenai proses perkembangan yang umum untuk semua masyarakat, dan kecuali itu: pengertian itu dapat menampung bentuk-bentuk khusus per kebudayaan dari perkembanan umum tersebut.12

Modernisasi Dalam Genggaman Elit

Setelah diatas saya menjelaskan fenomena ketakutan dan penolakan yang terjadi di tengah masyarakat termasuk di kalangan elit di negeri ini. Tetapi kali ini saya memiliki porsi lebih membahas elit dalam pusaran arus modernisasi.

Berangkat dari definisi paling umum akan elit yang menunjuk kepada sekelompok orang dalam masyarakat yang menduduki kedudukan-kedudukan tinggi. Dalam arti yang lebih khusus yang ditunjukkan kepada sekelompok orang terkemuka di bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dari mana pemegang kekuasaan itu diambil. 

Bagi saya, keberadaan elit dalam sebuah masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Kelompok atau masyarakat membutuhkan seorang 'pemimpin' yang memiliki tugas untuk mengkoordinasikan kegiatan bersama untuk diarahkan kepada kepentingan khalayak umum. 

Di tiap-tiap entitas masyarkat ada bentuk tersendiri untuk melaksanakan kepemimpinan dan juga ada cara-cara tersendiri untuk partisipasi dalam penentuan keputusan-keputusan untuk memberikan pertanggungjawaban oleh pimpinan.12 Pemimpin atau pimpinan dalam hal ini merujuk secara harfiah. Walaupun jika kita kontekskan dalam sebuah struktur masyarakat yang memiliki diferensiasi besar, maka eksistensi pimpinan akan menjadi bias.

Elit pun juga mengalami pembagian-pembagian. Dalam definisi yang telah saya sebutkan tadi, sudah dibedakan antara elit yang memiliki otoritas memegang pemerintah dengan yang tidak memegang pemerintahan. 

Perbedaan lain yang sering kita temui ialah perbedaan antara elit---yang menguasai lingkup---nasional maupun lokal. Dalam masyarakat yang sedang mengalami proses transformasi, perlu juga membedakan antara elit baru dengan elit lama. Ini penting, apabila yang memegang pimpinan itu jelas elit tipe lain, sedang elit lama belum kehilangan pengaruhnya.12

Kenapa perlu menjelaskan perbedaan ini? Tentu di setiap entitas elit memiliki corak khasnya masing-masing. Misal elit baru memiliki kecenderungan tidak dogmatis dan kebijaksanaannya lebih fleksibel, sedangkan elit lama memiliki gaya lama, di Indonesia elit lama terkesan feodalistik dan lekat dengan doktrin. Dan hal ini, berpengaruh pada proses modernisasi.

Seperti halnya teknologi yang memberikan banyak kemudahan dan berkontribusi atas melimpahnya produksi komoditas-komoditas, walau juga banyak mendatangkan keburukan seperti yang saya jelaskan diatas. Modernisasi dalam arti luas juga begitu. Seperti pisau bermata dua, ia bisa berperan dalam dua hal yang sangat kontras. Di tangan elit (politik) yang buruk, modernisasi bisa menjadi malapetaka.

Satu masalah yang menjadi sorotan utama; dikuasai dan dijalankan oleh segelintir orang. Contoh paling nyata terjadi di Indonesia ketika zaman Orde Baru berkuasa. Modernisasi dan kepungan 'barat' dilegitimasi oleh pemerintah dalam kedok idiom 'pembangunan'.

Oligarki pembangunan Orba berusaha menciptakan persatuan dan kemajuan yang lebih besar dengan mengadakan sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan pada kelompok yang berkuasa. Teknologi pun tidak didistribusikan secara merata, bahkan terkesan---yang lagi-lagi--dikuasai oleh keluarga elit yang berkuasa. Polanya pun satu arah top-down; masyarakat tidak dilibatkan dalam setiap proses-proses modernisasi. 

Pasca reformasi hingga saat ini pun masih menyisakan PR yang besar untuk mempersiapkan negara ini melangkah kedepan. Pemerintahan Jokowi pun tak luput dari kritik. Teknologi hingga saat ini dinilai belum mampu menjangkau pelosok-pelosok desa. Mungkin atas kenyataan bahwa Indonesia memiliki bentang wilayah yang luas, hal tersebut menjadi pemakluman.

Masalah lain yang tak kalah penting yaitu persiapan sumber daya manusia. Kita sebagai masyarakat selalu diminta untuk mempersiapkan diri dalam dunia Industri 4.0, tetapi pola pendidikan tingkat awal hingga akhir masih menggunakan cara-cara lama. Riset dan penelitian belum menjadi konsentrasi utama. Lebih dididik menjadi robot-robot perusahaan. 

Yang pada akhirnya perlahan mematikan inovasi-inovasi dari tiap sumber daya manusia. Kita tidak dilatih untuk memproduksi teknologi-teknologi, tetapi hanya menjadi konsumen atas teknologi tersebut dan diajarkan "bagaimana cara menggunakan teknologi". Kenyataan yang ironi, bukti ketidaksiapan kita menghadapi Industri 4.0 yang pada akhirnya menjerumuskan kita pada jurang ketergantungan 'barat'.

Dalam regulasi Perpres 20/2018 tentang perlindungan tenaga kerja pemerintah mulai mewajibkan untuk dilakukannya upskilling atau reskilling terhadap pekerja dengan kualifikasi rendah sebagai bentuk persiapan dalam kompetisi Industri 4.0. 13  Perpres ini juga tak lepas dari kritik dari kalangan intelektual.

Elit harus mampu menentukan bagaimanakah situasi itu sebenarnya dan ia harus dapat memberikan jawaban yang dituntut oleh situasi itu. Elit harus dapat melakukan itu semua sehingga menimbulkan kepercayaan di antara orang-orang yang dipimpinnya. Agenda modernisasi jika tidak dipersiapkan tanpa strategi dan perencaanaan yang matang maka apa yang dikemukakan Leopoldina Fortunati: 

"Robot mampu untuk membebaskan waktu kita dari kerja, namun, jika ternyata ketimbang memiliki waktu luang yang lebih banyak, kita malah menjadi penganggur atau menjadi lebih sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan tak berupah lainnya, maka tepat di situlah robot berbalik menyerang kita."14 akan benar-benar terjadi.

Catatan Kaki


[1] Modernisasi suatu masyarakat ialah satu proses transformasi, satu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Secara umum dapat  dirumuskan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas, semua bidang kehidupan, atau kepada semua aspek-aspek masyarakat. 

Hal ini menegasikan anggapan umum yang menyatakan bahwa semua perubahan identik dengan modernisasi, karena banyak perubahan tidak ada sangkut pautnya dengan penerapan tambahan pengetahuan. Manifestasi proses modernisasi pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 dalam yang disebut Revolusi Industri. Sejak itu gejala tersebut meluas ke semua penjuru dunia.

[2] McKinsey . 2017. "Jobs lost, Jobs gained: Workforce Transition In a Time of Automation." Web mckinsey.com/mgi. 15 Februari 2019
[3] Rhenald Kasali. 2017. " Inilah Pekerjaan Yang Akan Hilang Akibat Disruption." Web kompas.com 14 Februari 2019
[4] McKinsey. 2017. "Five Lessons From History On AI Automation and Employment" Web  mckinsey.com 
[5] Jawa Pos. 2018. "Birokrasi Di-Traning Revolusi Industri 4.0." Web pressreader.com/indonesia/jawa-pos 14 Februari 2019
[6] Miftah Ardhian. 2017. "Kemnaker Kembangkan Pelatihan di Bidang Teknologi Informasi" Web katadata.co.id 14 Februari 2019.
[7] Munafi, L.O.A., Tenri, A. 2016. Strategi Adaptasi Nelayan dan Perkembangan Modernisasi Perikanan di Kota Baubau. Dimensi. Vol 9 (2) : 73-78
[8] Hamzah, A. 2009. Respon Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan: Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. AGRISEP. 10 (1) : 1-11
[9] Giddens, A. 2004. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press Ltd.
[10] McNeill, W. H. 1963. The Rise of The West: A History of Human Community. Chicago : University of Chicago Press.
[11] Bremen, J. V., Shimizu, A. 1999. Anthropology and Colonialism in Asia and Oceania. Surrey: Curzon Press.
[12] Schoorl, J. W. 1982. Modernisasi. Jakarta: PT. Gramedia.
[13] Media Indonesia. 2018. "Perpres 20/2018 Lindungi Pekerja Indonesia". Web mediaindonesia.com 14 Februari 2019
[14] Leopoldina Fortunati, 2017. "Robotization and the domestic sphere," New Media & Society, OnlineFirst.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun