Mohon tunggu...
Panji Dafa
Panji Dafa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Perikanan UGM.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Industri 4.0 dan Jalan Riuh Diskursus Modernisasi

15 Februari 2019   20:26 Diperbarui: 16 Februari 2019   14:24 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tiap-tiap entitas masyarkat ada bentuk tersendiri untuk melaksanakan kepemimpinan dan juga ada cara-cara tersendiri untuk partisipasi dalam penentuan keputusan-keputusan untuk memberikan pertanggungjawaban oleh pimpinan.12 Pemimpin atau pimpinan dalam hal ini merujuk secara harfiah. Walaupun jika kita kontekskan dalam sebuah struktur masyarakat yang memiliki diferensiasi besar, maka eksistensi pimpinan akan menjadi bias.

Elit pun juga mengalami pembagian-pembagian. Dalam definisi yang telah saya sebutkan tadi, sudah dibedakan antara elit yang memiliki otoritas memegang pemerintah dengan yang tidak memegang pemerintahan. 

Perbedaan lain yang sering kita temui ialah perbedaan antara elit---yang menguasai lingkup---nasional maupun lokal. Dalam masyarakat yang sedang mengalami proses transformasi, perlu juga membedakan antara elit baru dengan elit lama. Ini penting, apabila yang memegang pimpinan itu jelas elit tipe lain, sedang elit lama belum kehilangan pengaruhnya.12

Kenapa perlu menjelaskan perbedaan ini? Tentu di setiap entitas elit memiliki corak khasnya masing-masing. Misal elit baru memiliki kecenderungan tidak dogmatis dan kebijaksanaannya lebih fleksibel, sedangkan elit lama memiliki gaya lama, di Indonesia elit lama terkesan feodalistik dan lekat dengan doktrin. Dan hal ini, berpengaruh pada proses modernisasi.

Seperti halnya teknologi yang memberikan banyak kemudahan dan berkontribusi atas melimpahnya produksi komoditas-komoditas, walau juga banyak mendatangkan keburukan seperti yang saya jelaskan diatas. Modernisasi dalam arti luas juga begitu. Seperti pisau bermata dua, ia bisa berperan dalam dua hal yang sangat kontras. Di tangan elit (politik) yang buruk, modernisasi bisa menjadi malapetaka.

Satu masalah yang menjadi sorotan utama; dikuasai dan dijalankan oleh segelintir orang. Contoh paling nyata terjadi di Indonesia ketika zaman Orde Baru berkuasa. Modernisasi dan kepungan 'barat' dilegitimasi oleh pemerintah dalam kedok idiom 'pembangunan'.

Oligarki pembangunan Orba berusaha menciptakan persatuan dan kemajuan yang lebih besar dengan mengadakan sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan pada kelompok yang berkuasa. Teknologi pun tidak didistribusikan secara merata, bahkan terkesan---yang lagi-lagi--dikuasai oleh keluarga elit yang berkuasa. Polanya pun satu arah top-down; masyarakat tidak dilibatkan dalam setiap proses-proses modernisasi. 

Pasca reformasi hingga saat ini pun masih menyisakan PR yang besar untuk mempersiapkan negara ini melangkah kedepan. Pemerintahan Jokowi pun tak luput dari kritik. Teknologi hingga saat ini dinilai belum mampu menjangkau pelosok-pelosok desa. Mungkin atas kenyataan bahwa Indonesia memiliki bentang wilayah yang luas, hal tersebut menjadi pemakluman.

Masalah lain yang tak kalah penting yaitu persiapan sumber daya manusia. Kita sebagai masyarakat selalu diminta untuk mempersiapkan diri dalam dunia Industri 4.0, tetapi pola pendidikan tingkat awal hingga akhir masih menggunakan cara-cara lama. Riset dan penelitian belum menjadi konsentrasi utama. Lebih dididik menjadi robot-robot perusahaan. 

Yang pada akhirnya perlahan mematikan inovasi-inovasi dari tiap sumber daya manusia. Kita tidak dilatih untuk memproduksi teknologi-teknologi, tetapi hanya menjadi konsumen atas teknologi tersebut dan diajarkan "bagaimana cara menggunakan teknologi". Kenyataan yang ironi, bukti ketidaksiapan kita menghadapi Industri 4.0 yang pada akhirnya menjerumuskan kita pada jurang ketergantungan 'barat'.

Dalam regulasi Perpres 20/2018 tentang perlindungan tenaga kerja pemerintah mulai mewajibkan untuk dilakukannya upskilling atau reskilling terhadap pekerja dengan kualifikasi rendah sebagai bentuk persiapan dalam kompetisi Industri 4.0. 13  Perpres ini juga tak lepas dari kritik dari kalangan intelektual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun