"Katakanlah (Nabi Muhammad), "Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya.663) Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Departemen Agama RI, 2009: 464)
Ayat ini juga sering dijadikan landasan oleh Murjiah untuk menegaskan luasnya rahmat dan pengampunan Allah (Al-Qurtubi, 1964: 264-265). Mereka menginterpretasikan ayat ini sebagai bukti bahwa pintu tobat selalu terbuka dan pengampunan Allah meliputi segala dosa.
Kritik terhadap Murjiah
Pandangan Murjiah tidak luput dari kritik dari berbagai kalangan ulama dan aliran teologi lainnya:
1. Pemisahan iman dari amal dapat mendorong kelalaian dalam beribadah dan ketaatan kepada Allah. Al-Ghazali berpendapat bahwa pandangan ini dapat menyebabkan sikap acuh tak acuh terhadap kewajiban agama (Al-Ghazali, t.t: 110-111).
2. Pandangan Murjiah dianggap terlalu optimis dan dapat menyebabkan sikap meremehkan dosa. Beberapa ulama khawatir bahwa optimisme berlebihan dapat mengarah pada sikap permisif terhadap pelanggaran syariat.
3. Konsep iman Murjiah dianggap terlalu simplistis dan tidak mencerminkan kompleksitas ajaran Islam (Al-Shahrastani, 1993: 141-142). Dia berpendapat bahwa pemahaman iman perlu mencakup aspek keyakinan, perkataan, dan perbuatan secara integral.
Relevansi Murjiah dalam Konteks Kontemporer
Meskipun Murjiah sebagai aliran teologi klasik tidak lagi eksis dalam bentuknya yang original, beberapa aspek pemikirannya masih memiliki relevansi dalam konteks kontemporer:
Pertama, Toleransi dan Pluralisme: Sikap Murjiah yang menahan diri dari menghakimi status keimanan orang lain dapat menjadi pelajaran penting dalam konteks masyarakat yang plural (Madjid, 1992: 253-254). Dalam era globalisasi dan masyarakat multikultural, sikap ini dapat berkontribusi pada pembangunan hubungan antar-komunitas yang lebih harmonis.
Kedua, Optimisme Spiritual: Pandangan Murjiah tentang luasnya rahmat Allah dapat memberikan optimisme spiritual bagi umat Islam, terutama bagi mereka yang merasa berdosa dan ingin bertobat (Azra, 1994: 182-183). Dalam konteks modern di mana banyak orang mengalami krisis spiritual, perspektif ini dapat memberikan harapan dan dorongan untuk kembali ke jalan yang benar.