"Ah, maaf! Saya cuma ingin sedikit melepaskan lelah dengan berbincang-bincang." Lihat saja! Tutur kata seperti ini tak pernah hadir pada semua calon-calon targetku sebelumnya. Sopan dan simpatik.
Empat hari membututinya tak kutemukan juga sisi buruk dari Widyamoko. Tapi pasti ada! Dan aku selalu membayangkan dia punya sebuah dosa teramat besar yang cukup pantas dibayarnya dengan sebuah kematian. Karena itu alasan terkuat agar aku cukup tega menghabisinya. Hingga tak perlu beralih menjadi sebuah penyesalan yang mengejar-ngejar.
"Tak apa jika Bapak keberatan...," sergahnya kemudian dipenuhi senyum.
Sial! Jangan lagi tersenyum seperti itu. Sungguh, senyum yang seperti itu cuma milik ayah. Jangan sampai aku batal membunuhmu hanya karena kudapati senyum ayah pada kepalamu. "Ah, ya! Setelah dari gedung KPK tolong antarkan saya ke Lab terdekat, saya mesti check-up."
Aku memang mengantarnya, tapi tak sampai ke kedua tempat itu. Perjalanannya kubelokkan pada jalan yang sepi dan terpencil. Semua sudah sesuai rencana.
****
"Bang...!" Suara Tina tampak gusar terdengar dari ujung telepon.
"Kenapa, Tin? Sudah abang transfer uangnya semua, nanti malam akan abang ke rumah sakit."
"Bukan itu, Bang!"
"Apa lagi?"
"Itu...calon pendonor ginjal buat ibu katanya mati terbunuh di dalam taxi...!"