Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[FFK] Aku, diantara Karma dan Sesal

18 Maret 2011   15:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13004462841305141834

[caption id="attachment_95191" align="alignleft" width="300" caption="Hasil oprekan dari : butt3rfly.wordpress.com"][/caption]

"Berapa untuk satu kepala?" Tanya orang itu tegas tanpa penekanan berlebih pada tiap katanya.

"Seratus," jawabku singkat.

"Aku beri dua ratus untuk kepala orang ini,"

"Deal!"

Aku tertumbuk di kursi teras kontrakan yang telah kutempati tiga tahun yang lalu. Bukan sebuah rumah yang kumuh meski tak bisa disebut mewah. Hanya sebuah rumah mungil yang cukup asri di ujung gang. Di tanganku tergenggam selembar surat dari Tina, adikku.

" Bang, ibu butuh donor segera." Begitu tulisnya. Ibu memang sudah lama sakit. Ginjalnya rusak. Cuci darah setiap dua hari sekali adalah kegiatan rutinnya. Sebenarnya, aku ataupun Tina bersedia mendonorkan ginjal kami, tapi tak satupun dari ginjal kami yang cocok untuk ibu. Mencari pendonor yang lain adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Dan aku sudah menemukan seseorang yang bersedia untuk itu. Sayangnya, dia meminta bayaran yang sangat tinggi.

Aku menarik nafas panjang, oksigen perlahan masuk memenuhi rongga paruku. Namun bukan kelegaan yang kurasa, yang hadir justru sebuah perih yang menyayat. Kuhitung semua harta yang kumiliki. Sejumlah tabungan, satu motor sport, dan beberapa alat elektronik yang bila kujual semua pun tak kan cukup untuk menjamin kesembuhan ibu. Hatiku sakit. Tak ada jalan lain lagi. Aku harus kembali bergelut di jalan itu.

Aku bangkit dari tempat dudukku, mataku memandang lurus kedepan. Sepucuk baretta telah kukantongi. Bulat sudah tekadku. Ibu harus segera diselamatkan.

Namanya Widyatmoko, targetku kali ini. Sepertinya aku sering mendengar nama itu. Sudah satu minggu ini aku mengawasi setiap gerak-gerik dan kebiasaannya dari hari ke hari. Tempat kerjanya, kegiatan rutinnya, denah rumahnya, hingga jalur-jalur yang biasa dia lewati setiap harinya, semua telah kuhapal di luar kepala.

Widyatmoko, pria berperawakan sedang dengan raut tegas namun terlihat ramah. Senyum hangat selalu melengkung di bibirnya. Sepertinya pria ini orang baik, tak seperti target-tergetku sebelumnya. Aku tak tahu, kenapa orang itu menginginkan kematian Widyatmoko. Ah, mana aku perduli! Yang penting orang itu berani membayar dengan harga tinggi untuk kepala Widyatmoko. Ibu, bersabarlah! Sebentar lagi ginjal untukmu segera kudapatkan.

Aku harus bisa menghabisi Widyatmoko dalam tiga hari kalau tak ingin dua ratus juta berpindah tangan pada orang lain. Jujur saja, hati kecilku masih berontak. Kenapa harus orang ini? Sungguh, aku tak habis pikir.

Teringat sehari lalu saat kami bertabrak bahu, yang tentu saja sudah kurencanakan dari awal. Berlembar kertas penting miliknya berhamburan, terserak begitu saja. Tak kubantu dia memungutu kertas itu.

" maaf." Ujarku pendek.

Dia tak menjawab, hanya tersenyum dan menepuk pundakku. Ya Tuhan, baru kali ini aku merasa berat untuk membunuh target. Tunggu! Merasa berat? Bukan cuma itu, aku merasakan sesuatu yang menjalar di otak, lalu seperti ada aliran panas dalam darah, melolosi persendianku. Untuk berdiri saja aku gemetar. Apa ini?

" Bagaimana? Kapan kau selesaikan kerjamu?" Suara lewat tepon selulerku terdengar agak serak. Pertanyaan yang menuntut penyelesaian secepatnya.

" Sabarlah. Aku belom lagi dapat celah. Jangan khawatir, empat hari ini sudah beres " Klik. Sumber suara terputus.

Empat hari lagi! Sehari lalu juga kujanjikan begitu, padahal sampai sekarang aku masih belum  melakukan apa-apa selain membaca kertas yang kucoret-coret semalaman.

Nama, Widyatmoko. Usia, awal empat puluh.

Ini hari pertama aku membuntuti kegiatan Widyatmoko sehari penuh. Berharap ada celah untuk mencelakainya. Tak seperti perkiraanku sebelumnya, membunuh lelaki satu ini tak semudah yang kubayangkan.

Seperti sekarang, aku duduk di sebelah lelaki ini, kutawarkan rokok

"Saya ndak merokok, mas. Terima kasih." Santun sekali penolakan itu, sedikit pun aku tak tersinggung.

"Anak saya suka protes sama asap rokok. Bau katanya." Kali ini dia tergelak kecil.

Tawa lelaki ini mengingatkanku pada ayah. Tawa bersahabat yang tak dibuat-buat, tawa yang tulus. Lelaki ini menggiring ingatanku tentang ayah berlompatan keluar. Satu persatu membentuk slide yang nyata sekali.

" Nak bujang, kalo dah besar nanti, ayah ingin betul kau jadi orang hebat. Kau mestilah bersekolah tinggi." Berdua aku dan ayah duduk di batu, mengumpan ikan agar tersangkut di joran. Kecipak air sungai beriak kecil-kecil, mata kail kulempar sembarang tempat.

"Kalo ayah nanti sudah tak ada, kau harus tetap jadi nak bujang yang kuat. Jaga ibu ngan adikmu ya. Engkau harapan ayah, nak. Kau tak usah takot, ayah kan tengok kau dari atas sana." Aku terisak, ibu menangis memeluk Tina. Umurku belum genap tujuh tahun waktu itu. Usapan ayah terasa hangat pada kepalaku.

Aku masih memercayai ucapan ayah yang terakhir itu. Karena aku selalu merasakan kehadirannya di tiap saat dan tempat, sampai semua berakhir pada sebuah senja ketika sebutir peluru melesak dari revolverku dan bersarang  pada jidat seorang peselingkuh. Dia mati seketika. Kasusnya tak pernah terungkap sampai sekarang.

Sejak itu ayah menghilang. Kukutuki menghilangnya ayah pada kepala-kepala yang terjerembab berdarah tiga tahun lalu. Mereka orang-orang kotor dan pantas mati. Sudah kulantangkan pada malam tempat bersetubuhnya segala pengakuan dan dosa, bahwa aku sekadar menukar kehidupan orang-orang bejat itu pada orang-orang yang lebih layak mendapatkannya, ibu dan adikku. Tapi ayah sepertinya tak ikut mendengar, aku tak pernah merasakan kembali kehadirannya. Pilihan sulit, ayah harus terbunuh malam itu. Tak ada jalan lain.

***

"Hanya tinggal besok, Bung! Laksanakan atau kau akan menyesal!"

Begitu saja pesan singkat dari nomor yang sama pada handphoneku. Entah penyesalan macam apa yang mereka ancamkan itu, aku toh sudah memiliki beban tersendiri jika pekerjaan ini tak kulakukan. Kemarin Tina sudah mengabarkan persiapan operasi ginjal ibu. Seorang donor yang sesuai sudah didapatkan. Tinggal menunggu persetujuanku soal kepastian biayanya. Ini tidak boleh gagal. Sudah cukup aku kehilangan kehadiran ayah, tak perlu ditambah lagi dengan ibu.

"Sepertinya lagi resah?"

Aku tersenyum. Widyatmoko, kini tengah duduk di jok belakang sebuah taxi. Aku menjadi supirnya,yang tentu hanya sebuah penyamaran. Beruntung saja dia tak terlalu mengenaliku sejak pertemuan kami sebelumnya.

"Ah, maaf! Saya cuma ingin sedikit melepaskan lelah dengan berbincang-bincang." Lihat saja! Tutur kata seperti ini tak pernah hadir pada semua calon-calon targetku sebelumnya. Sopan dan simpatik.

Empat hari membututinya tak kutemukan juga sisi buruk dari Widyamoko. Tapi pasti ada! Dan aku selalu membayangkan dia punya sebuah dosa teramat besar yang cukup pantas dibayarnya dengan sebuah kematian. Karena itu alasan terkuat agar aku cukup tega menghabisinya. Hingga tak perlu beralih menjadi sebuah penyesalan yang mengejar-ngejar.

"Tak apa jika Bapak keberatan...," sergahnya kemudian dipenuhi senyum.

Sial! Jangan lagi tersenyum seperti itu. Sungguh, senyum yang seperti itu cuma milik ayah. Jangan sampai aku batal membunuhmu hanya karena kudapati senyum ayah pada kepalamu. "Ah, ya! Setelah dari gedung KPK tolong antarkan saya ke Lab terdekat, saya mesti check-up."

Aku memang mengantarnya, tapi tak sampai ke kedua tempat itu. Perjalanannya kubelokkan pada jalan yang sepi dan terpencil. Semua sudah sesuai rencana.

****

"Bang...!" Suara Tina tampak gusar terdengar dari ujung telepon.

"Kenapa, Tin? Sudah abang transfer uangnya semua, nanti malam akan abang ke rumah sakit."

"Bukan itu, Bang!"

"Apa lagi?"

"Itu...calon pendonor ginjal buat ibu katanya mati terbunuh di dalam taxi...!"

Serr..! Bandanku lungai. Tiba-tiba semua jadi hening. Semua jadi gelap. Hanya tertinggal samar rupa senyum ayah dan ucapannya yang lemah.

" Masih ada waktu, nak bujang! Masih ada waktu..."

______

Kolaborasi   : Ramdhani Nur + Herlya Annisa + Santy Novaria (No 068. trio beda etnis)

Note : UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA FFK YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI BLOG Kampung Fiksi sbb: KampungFiksi@Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun