"Anak saya suka protes sama asap rokok. Bau katanya." Kali ini dia tergelak kecil.
Tawa lelaki ini mengingatkanku pada ayah. Tawa bersahabat yang tak dibuat-buat, tawa yang tulus. Lelaki ini menggiring ingatanku tentang ayah berlompatan keluar. Satu persatu membentuk slide yang nyata sekali.
" Nak bujang, kalo dah besar nanti, ayah ingin betul kau jadi orang hebat. Kau mestilah bersekolah tinggi." Berdua aku dan ayah duduk di batu, mengumpan ikan agar tersangkut di joran. Kecipak air sungai beriak kecil-kecil, mata kail kulempar sembarang tempat.
"Kalo ayah nanti sudah tak ada, kau harus tetap jadi nak bujang yang kuat. Jaga ibu ngan adikmu ya. Engkau harapan ayah, nak. Kau tak usah takot, ayah kan tengok kau dari atas sana." Aku terisak, ibu menangis memeluk Tina. Umurku belum genap tujuh tahun waktu itu. Usapan ayah terasa hangat pada kepalaku.
Aku masih memercayai ucapan ayah yang terakhir itu. Karena aku selalu merasakan kehadirannya di tiap saat dan tempat, sampai semua berakhir pada sebuah senja ketika sebutir peluru melesak dari revolverku dan bersarang  pada jidat seorang peselingkuh. Dia mati seketika. Kasusnya tak pernah terungkap sampai sekarang.
Sejak itu ayah menghilang. Kukutuki menghilangnya ayah pada kepala-kepala yang terjerembab berdarah tiga tahun lalu. Mereka orang-orang kotor dan pantas mati. Sudah kulantangkan pada malam tempat bersetubuhnya segala pengakuan dan dosa, bahwa aku sekadar menukar kehidupan orang-orang bejat itu pada orang-orang yang lebih layak mendapatkannya, ibu dan adikku. Tapi ayah sepertinya tak ikut mendengar, aku tak pernah merasakan kembali kehadirannya. Pilihan sulit, ayah harus terbunuh malam itu. Tak ada jalan lain.
***
"Hanya tinggal besok, Bung! Laksanakan atau kau akan menyesal!"
Begitu saja pesan singkat dari nomor yang sama pada handphoneku. Entah penyesalan macam apa yang mereka ancamkan itu, aku toh sudah memiliki beban tersendiri jika pekerjaan ini tak kulakukan. Kemarin Tina sudah mengabarkan persiapan operasi ginjal ibu. Seorang donor yang sesuai sudah didapatkan. Tinggal menunggu persetujuanku soal kepastian biayanya. Ini tidak boleh gagal. Sudah cukup aku kehilangan kehadiran ayah, tak perlu ditambah lagi dengan ibu.
"Sepertinya lagi resah?"
Aku tersenyum. Widyatmoko, kini tengah duduk di jok belakang sebuah taxi. Aku menjadi supirnya,yang tentu hanya sebuah penyamaran. Beruntung saja dia tak terlalu mengenaliku sejak pertemuan kami sebelumnya.