''Potensi karir dan minatnya dibatasi hanya karena ia memiliki seorang bayi.'' (halaman 70)
''Sementara pria takut kehilangan sebagian kecil dari hak istimewa dalam pekerjaan mereka, wanita harus menanggung risiko seutuhnya bila mereka bekerja.'' (halaman 122)
Dunia perfilman semakin berani untuk mengangkat isu-isu yang cukup sensitif bila dibahas. Salah satu isu tersebut ialah feminisme.
Feminisme meninjau pola kehidupan sosial melalui perspektif wanita. Teori ini berfokus pada wanita sebagai subjek utama dalam masyarakat, serta fenomena dan pembelaan yang diperoleh oleh kaum wanita yang kerap mengalami kesulitan maupun tantangan derajat sosial.
Berbagai hal serta pengetahuan di dunia dianggap universal dan bersifat mutlak bila disampaikan kelompok yang memiliki kekuatan, yakni kaum pria (Aliyah, Komariah dan Chotim, 2018).Â
Karena kekuatan tersebut, pria dianggap lebih berkuasa dan memiliki sifat absolut dalam memberi maupun mengambil keputusan. Walau wanita juga memiliki peran penting, namun peran tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan. Hal ini menimbulkan ketidaksetaraan gender dan ditentang oleh kaum wanita.
Isu feminisme menentang adanya ketidaksetaraan gender serta perlakuan diskriminasi yang meminoritaskan wanita. Kaum wanita berupaya untuk menghapuskan ketidakadilan tersebut dengan melakukan berbagai aksi protes, termasuk dalam seni.
Film merupakan salah satu seni yang digunakan wanita untuk menegakkan kesetaraan gender. Salah satu film yang membahas terkait feminisme ialah 'Kim Ji Young: Born 1982' yang berasal dari negeri ginseng, Korea Selatan.Â
Ji Young : Patriarki Adalah Realita
Melalui adaptasi dari novel terlaris karya Cho Nam Joo yang terbit pada 14 Oktober 2016, film ini disutradarai oleh Kim Do Young dan diperankan oleh berbagai artis ternama seperti Jung Yumi sebagai Kim Ji Young, serta Gong Yoo sebagai Jung Daehyun atau suami Ji Young.Â
Kim Ji Young : Born 1982 mengisahkan tentang budaya patriarki yang menjadi diskriminasi gender pada perempuan di Korea Selatan. Perempuan memperoleh posisi di bawah laki-laki, karena dinilai tidak mampu bekerja atau memiliki kasta lebih tinggi dari pada laki-laki.Â
Ji Young merupakan seorang wanita yang sudah menikah dan harus keluar dari pekerjaannya karena memiliki aktivitas baru sebagai ibu rumah tangga, yakni mengurus anak dan keluarganya. Ia pun tidak dapat memperoleh promosi pekerjaan karena hal tersebut.Â
Perilaku yang didapatkan wanita yang sudah maupun belum menikah sangat berbeda di Korea Selatan. Hyesoo, salah seorang teman Ji Young, justru mendapat promosi yang seharusnya diperoleh Ji Young karena ia tidak menikah. Bahkan untuk memperoleh promosi tersebut, ia harus menunggu karyawan pria lainnya yang didahulukan perusahaan untuk memperoleh promosi jabatan.Â
Ketimpangan sosial yang dirasakan Ji Young, membuatnya menjadi pribadi yang berbeda dari sebelumnya. Bagaimana tidak, selain melakukan aktivitas ibu rumah tangga yang berat, ia harus meninggalkan pekerjaan yang dicintainya dan bertahan untuk putrinya.
Hal tersebut mempengaruhi kondisi mental Ji Young, dimana ia menjadi pribadi yang berubah 180 derajat akibat tekanan tersebut. Pengaruh patriarki yang dominan, serta lingkungan yang tidak mendukung menyebabkan ia merasa rapuh
Suaminya, Daehyun, merasa sedih dengan ketidakadilan yang dirasakan istrinya. Ia berusaha meringankan pekerjaan rumah tangga yang dilakukan istrinya. Namun melihat kondisi Ji Young yang rapuh, ia merasa tertekan sehingga meminta bantuan pada keluarga besarnya untuk mendukung Ji Young.
Realita film tersebut dirasa sesuai dengan kehidupan nyata, tak hanya di Korea Selatan saja, namun juga seluruh perempuan yang ada di dunia. Pengambilan gambar dilakukan secara detail dan menghadirkan suasana yang dekat pada masyarakat.
Namun, isu feminisme yang diangkat justru menimbulkan kontroversi di masyarakat Korea Selatan. Kaum pria menilai bahwa pria digambarkan sebagai kaum penindas wanita. Selain itu, film ini juga menggambarkan bahwa posisi kekuasaan pria adalah hal yang turun-temurun dan tidak menjamin kualitas hasil pekerjaan kaum laki-laki.Â
Film ini dinilai memiliki banyak adegan serta makna tersirat yang dirasa menyinggung berbagai pihak. Dialog yang diucapkan dirasa menggeneralisasikan sifat 'pria adalah penindas' bagi masyarakat.Â
Faktanya, Korea Selatan merupakan salah satu negara yang tinggi akan diskriminasi. Aksi feminisme yang dilakukan sebagai bentuk penegakkan keadilan juga dipandang sebagai hal yang tidak pantas di negara tersebut. Adanya film 'Kim Ji Young: Born 1982' merupakan aksi yang vokal dalam memberantas ketidakadilan tersebut.Â
Pendapat Masyarakat Lokal
Tak hanya di negara asalnya, 'Kim Ji Young: Born 1982' juga tayang di Indonesia pada November 2019. Meskipun termasuk dalam film kontroversial, namun film ini terjual laris dan mendatangkan berbagai opini terkait isu feminisme yang dibahas. Lebih dari tiga juta penonton dapat diraih dalam tiga minggu penanyangan, dan Evyta Fiorella, Dewi Fadianti serta Budi Siswanto adalah tiga orang dari jutaan penonton tersebut.
Penulis melakukan wawancara dengan ketiga narasumber. Evyta Fiorella merupakan mahasiswa asal Indonesia yang berusia 20 tahun, dan kini menempuh pendidikan di China, tepatnya di Kota Nanjing.
Narasumber berikutnya ialah Dewi Fadianti, karyawan administrasi pajak yang kini berusia 46 tahun. Selain menjadi karyawan, ia juga melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Yang terakhir ialah Budi Siswanto, pekerja kantoran yang kini berusia 52 tahun dan sudah menduduki
Menurut Evyta, film 'Kim Ji Young: Born 1982' merupakan film yang menyentuh hati. Ia kerap merasakan hal-hal yang dibahas dalam film tersebut dalam lingkungan sekitarnya. Di China, ia sering memperoleh diskriminasi dalam berbagai hal. Salah satunya dalam memperoleh pekerjaan.
Sebagai mahasiswa, Evyta ingin menjadi pekerja paruh-waktu di salah satu caf yang ada di Nanjing. Namun, beberapa pemilik caf hanya memilih pria sebagai karyawannya, sehingga wanita tidak mendapat kesempatan untuk bekerja sebesar pria.
Narasumber selanjutnya ialah Dewi Fadianti, yang merupakan ibu rumah tangga. Baginya, film tersebut menggambarkan kehidupan nyata yang dialaminya. Ia berkewajiban untuk mengurus pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan sebagainya. Di satu sisi, ia pun harus menjalankan pekerjaannya sebagai pegawai administrasi pajak.
Namun ia bersyukur bahwa ia tidak memperoleh diskriminasi di tempat ia bekerja. Karyawan pria dan wanita diperlakukan sama sebagaimana mestinya, dengan memperhatikan hal-hal tertentu seperti cuti menstruasi. Namun ia juga menyatakan bahwa ketidakadilan yang diterima oleh kaum wanita masih sangat tinggi hingga saat ini, seperti yang digambarkan dalam film.
Adapun narasumber terakhir ialah Budi Siswanto, seorang karyawan kantoran yang memiliki puluhan tahun pengalaman dalam dunia korporat. Sebagai seorang pria, ia tidak merasakan hal yang Kim Ji Young rasakan dalam film tersebut. Namun, ia melihat kondisi lingkungan sekitarnya yang digambarkan seperti film 'Kim Ji Young: Born 1982'.
Ia berpendapat bahwa film ini memuat perjuangan kesetaraan gender yang dikemas secara modern. Kim Ji Young: Born 1982' tak hanya sekedar membahas isu feminisme, namun bagaimana perjuangan penghapusan ketidakadilan dan penghilangan diskriminasi pada wanita yang harus ditegakkan.
"Kita semua tahu anak laki-laki tidak akan duduk diam selama sepuluh menit. Mereka pasti akan bermain sepak bola, bola basket, bisbol, atau melompat ke sana kemari. Bagaimana mungkin anak-anak seperti itu disuruh mengenakan kaus berkerah tinggi dan sepatu biasa (seperti wanita)?" (Kim Ji Young: Born 1982, halaman 53)
Film tersebut membuat masyarakat merasa bahwa sosial masyarakat tidak berpihak pada kebebasan dan penghapusan ketidakadilan wanita, sehingga gerakan feminisme muncul untuk mendukung emansipasi wanita dan melawan budaya patriarki.Â
Melalui 'Kim Ji Young: Born 1982', film tersebut memuat makna bahwa feminisme bukan hanya sekedar mementingkan kepentingan wanita. Feminisme bergerak untuk keadilan yang harus dirasakan seluruh masyarakat, tanpa terkecuali pria maupun wanita.Â
DAFTAR PUSTAKA
Aliyah, I.H, Komariah, S., dan Chotim, E.R. (2018). Feminisme Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Jurnal Pembangunan Sosial, 1(2), hal. 141-146.
Fa'izah, A. Z. (2019). 5 Fakta Kim Ji Young: Born 1982, Film Korea yang Tuai Kontroversi. Diakses pada 12 November 2022, dari https://www.merdeka.com/trending/5-fakta-kim-ji-young-born-1982-film-korea-yang-tuai-kontroversi.html
Aji, D.P. (2020). Sinopsis Film Kim Ji-young, Born 1982: Ungkap Kehidupan Menjadi Ibu. Diakses pada 12 November 2022, dari https://tirto.id/sinopsis-film-kim-ji-young-born-1982-ungkap-kehidupan-menjadi-ibu-f8qV
Ika, N. (2019). Kontroversi Kim Ji-young, Born 1982 & Kisah yang Harus Diceritakan. Diakses pada 12 November 2022, dari https://tirto.id/kontroversi-kim-ji-young-born-1982-kisah-yang-harus-diceritakan-ekwl
Folia, R. (2019). Kisah Kontroversial 'Kim Ji-Young, Born 1982' Adalah Realita Di Korsel. Diakses pada 13 November 2o22, dari https://www.idntimes.com/news/world/rosa-folia/kisah-kontroversial-kim-ji-young-born-1982-adalah-realita-di-korsel?page=allÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H