[caption id="attachment_126087" align="aligncenter" width="640" caption="Komang Kantun dan gendang buatan tangannya."][/caption]
“Maka jangan salahkan kalau Malaysia mengambil budaya kita dan kesenian kita atas nama mereka, karena di negara sendiri seniman tidak dihargai,” (Kantun, seniman Gendang Beleq)
DENGAN tekad menekuni kesenian dan melestarikan budaya Lombok, selama lebih dari dua dekade, I Komang Kantun (55), tekun berkreasi memproduksi perangkat alat musik tradisional Lombok; Gendang Beleq.
Tanpa mengharap banyak promosi dari pemerintah daerah, hasil karyanya kini sudah berhasil memenuhi pesanan lokal, bahkan hingga ke mancanegara.
Seperti juga namanya, Gendang Beleq merupakan alat musik tradisional Lombok , yang berbentuk gendang besar. Alat musik tabuh ini sudah menjadi ikon budaya untuk pulau Lombok , Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak dulu.
Konon, di zaman kerajaan Pejanggik - kerajaan Sasak di pulau Lombok dahulu - alat musik tradisional ini, dijadikan sebagai penyemangat tentara kerajaan yang hendak ke medan laga.
Tapi, seiring perkembangan zaman, fungsi Gendang Beleq lebih menjadi pelengkap pengiring saat ada seremoni penerimaan tamu. Seiring perkembangan, saat ini Gendang beleq lebih dikenal sebagai musik pengiring nyongkolan, atau sorong serah, sebuah prosesi mengiring mempelai pengantin yang saat ini masih lestari di pulau Lombok .
I Komang Kantun tengah sibuk memperbaiki sebuah gendang berukuran sedang di halaman belakang, ketika saya mengunjungi rumahnya di Dusun Rendang Bajur, Desa Taman Sari, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat. Jaraknya sekitar 10 Km arah utara dari Kota Mataram.
”Ini (gendang) punya kelompok seni di Tanjung, kulitnya rusak dan saya perbaiki,” katanya.
Pekarangan rumah Kantun cukup luas. Di bagian belakang ada sebuah bangunan tanpa dinding, berukuran 6 kali 8 meter, tempat ia berkreasi selama ini. Ada setumpuk alat musik tradisional di sana, mulai gendang beleq hingga seruling.
Bagi sebagian besar kelompok seni Gendang Beleg di Lombok, nama Komang Kantun sudah tidak asing. Mulai dari kelompok musik Gendang Beleq yang ada di Lombok Barat, Kota Mataram, Lombok Tengah, dan Lombok Timur, memesan alat musik di sini.
”Kalau rusak, juga direparasi lagi di pak Kantun ini,” kata Artadi, ketua kelompok musik Gendang Beleq Desa Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, yang saat itu sedang mereparasi gendangnya.
Kantun bukan hanya bisa membuat alat musik itu, tapi juga sangat lihai memainkannya dan bahkan mengatur keselarasan iramanya atau menyetem. Dalam bahasa Sasak disebut “Paudan Nade” atau menyatukan irama.
Komang Kantun mulai tertarik menekuni alat musik tradisonal Lombok sejak tahun 1990-an.
Seingatnya, saat menjadi pegawai di Bidang Kesenian Departemen P dan K Provinsi NTB di tahun 1991, ada proyek subsidi gamelan di sanggar-sanggar seni. Saat itu ia ditugaskan untuk mencari perajin dan memesan gamelan itu.
”Tapi kok mahal?, dan pikiran perajin hanya uang semata. Saat itu ada yang uang sudah diambil tapi sampai berbulan-bulan pesanan tidak jadi. Janji 3 bulan sampai 6 bulan belum kelar. Saya lihat-lihat kenapa tidak bisa bikin sendiri, dia bisa kenapa saya tidak?, dan saya mulai coba berkreasi,” kata Kantun mengenang.
Saat itu Kantun sebagai pegawai Kesenian sudah mahir memainkan alat-alat musik tradisional Lombok . Tapi ia menjadi penasaran dan ingin membuat sendiri.
Terdorong keinginan untuk bisa membuat perangkat alat musik sendiri, Kantun mulai bereksperimen. Awalnya, untuk membuat gendang, ia kesulitan. Kulit rusak dan kayunya pecah, adalah kendala utama, atau malah gendang jadi tapi bunyinya tidak bagus.
”Enam bulan kemudian baru saya berhasil temukan rahasianya, gendang beleq harus pakai kulit Kambing warna putih, sebab warna hitam atau belang-belang akan cepat rusak,” katanya.
Berawal dari produksi kecil sejak 1992, pada tahun 2004 Kantun mulai kebanjiran pesanan.
Satu set Gendang Beleq saat itu dijual seharga Rp14 juta, terdiri dari sepasang gendang beleq, 9 buah reong atau gamelan kecil, dua buah gong, 20 unit ceng-ceng atau alat musik dari piringan logam bulat yang dibenturkan saat dimainkan, dan sebuah suling bambu.
Di Lombok, gendang beleq menjadi alat musik yang tak bisa lepas dari kehidupan budaya masyarakatnya. Apalagi untuk melengkapi prosesi perkawinan, belum lengkap bila acara nyongkolan atau sorong serah mempelai tidak diiringi dengan gendang beleq.
”Biasanya kalau musim panen dan musim tembakau akan ramai pesanan, sebab saat itu umumnya banyak acara perkawinan. Kalau dihitung-hitung, mungkin separuh gendang beleq yang ada di Lombok ini buatan saya,” katanya.
Selain memenuhi pesanan lokal, alat musik buatan Kantun juga banyak dipesan dari luar daerah seperti Bali dan Yogyakarta . Wisatawan Australia , Jepang, Thailand, dan Eropa juga pernah memesan karya Kantun.
”Tapi untuk wisatawan, biasanya mereka pesan hanya satu alat musik. Misalnya Jepang dan Thailand lebih sering memesan gamelan bambu, sedangkan Eropa, dari Swedia sering memesan suling bambu, katanya seruling itu mirip dengan alat musik di Swedia,” katanya.
Bagi Kantun, alat musik, bukan benda mati semata. Ia adalah spirit yang juga punya jiwa. Karena itu, meski banyak pesanan, Kantun tidak gegabah memproduksi gendang beleq dalam jumlah besar sekaligus.
Itu juga yang membuat Kantun menolak tawaran pemerintah daerah untuk membantu pembiayaan produksinya. Ia tak ingin menjadikannya sebagai proyek semata.
”Gendang dan alat musik ini property, selain dipukul tabuh juga di-tari-kan ada gerakannya, ada jiwanya, ada soul-nya. Pernah ada Dinas Disperindag menawari dana pembinaan, tapi saya tolak. Lagipula saya tidak mau terikat dengan pemerintah, agar bisa berkreasi lebih bebas,” katanya.
Kantun yang sudah 15 tahun ini mengabdi sebagai pegawai di Taman Budaya NTB, memang seniman sejati. Selain mampu memroduksi alat musik tradisional, ia juga lihai memainkan alat musik itu. Kantun juga menciptakan sejumlah tarian untuk alat musik itu.
Pertengahan 2010, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB menggelar event festival Gendang Beleq diikuti ratusan kontestan. Kantun diminta menjadi anggota dewan juri, namun ia menolaknya.
”Saya merasa kurang enak. Hampir semua kontestan adalah kenalan saya dan alat musiknya saya yang buat. Kalau saya jadi juri, saya tentu sulit mau memenangkan sebagiannya...,” katanya.
Lagipula, ia kurang setuju bila festival seperti itu dianggap sebagai pelestarian budaya. Sebab pelestarian sesungguhnya adalah bagaimana Pemda secara kontinyu membina kelompok gendang beleq yang ada di setiap Kecamatan di NTB.
Perhatian pemerintah daerah terhadap seniman lokal, juga disoroti Kantun. Ia mencontohkan, Amaq Raye, seorang pencipta kreasi tari Sasak dari Lombok Timur. Kini Amaq Raye sudah tua berusia hampir 80 tahun, dan kerjanya mencetak batu bata.
”Padahal dia master pencipta tari di zamannya. Pernah saya ajak ngobrol, dia bilang kenapa hanya dikasih piagam-piagam saja, padahal ia butuh uang. Atau paling tidak pemerintah bisa menjadikannya guru luar biasa untuk pelajaran seni dan muatan lokal di sekolah-sekolah, ini lebih berharga dari pada piagam,” katanya.
Kantun mencontohkan, kenalan senimannya yang lain, Amaq Darwilis. Perajin wayang kulit dari Lombok Barat itu juga mati suri dalam berkarya, lantaran pasar tidak ada.
Padahal, menurut Kantun, pemda bisa saja meminta semua jajaran Kecamatan untuk memasang wayang kulit sebagai hiasan dinding kantor Kecamatan. Selain untuk mempromosikan seni wayang kulit Lombok , hal itu juga akan membantu perajin wayang seperti Amaq Darwilis.
Ia juga meminta agar di sekolah di NTB harus sudah mulai ada muatan lokal, dan bila perlu kurikulium untuk kesenian ditambah jam belajarnya, untuk pelestarian.
”Di Lombok ini ada banyak seniman, tapi yang nampak ke permukaan hanya kritikus seni saja. Tampil di seminar-seminar saja. Justru yang benar-benar berkarya malah terlupakan,” katanya.
Perhatian pemerintah belakangan ini, dinilainya justru mundur. Menurutnya, dulu di Bidang Kesenian Depbudpar ada petugas penilik budaya di tingkat Kecamatan yang bisa menjadi ujung tombak yang memantau perkembangan budaya dan kesenian hingga tingkat Desa. Namun sekarang semua dihapuskan.
”Maka jangan salahkan kalau Malaysia mengambil budaya kita dan kesenian kita atas nama mereka, karena di negara sendiri seniman tidak dihargai,” katanya.
Komang Kantun memang berdarah seni. Kakeknya, I Komang Rauh (Alm) adalah seorang dalang Wayang Sasak di tahun 1940-an, sedangkan ayahnya, adalah pemain gamelan Lombok .
”Waktu muda dulu, saya juga pernah ikut menjadi pemain suling untuk wayang Sasak yang didalangi Lalu Nasip (Dalang terkenal di Lombok ),” katanya.
Kini, menjelang masa pensiunnya yang tinggal setahun lagi, Kantun makin memantapkan kreasinya untuk alat musik tradisional Lombok . Dengan sejumlah tenaga kerja lokal, ia terus memproduksi gendang beleq.
Seperangkat gendang beleq buatan Kantun kini dijual seharga Rp28 juta. Untuk sepasang gendang beleq saja, bisa berharga 4,5 juta, dan gendang sedang Rp2 juta.
”Bagi saya, ini bukan hanya sekadar alat musik, tapi ada filosofi yang dalam. Misalnya gending gamelan. Secara harafiah kata gending itu bisa berarti membicarakan orang, nah dalam gending gamelan ini kita diingatkan untuk introspeksi, membicarakan diri sendiri sebelum membicarakan kekurangan orang,” katanya.
Ayah tiga anak ini tercatat sebagai pencipta musik Cepung, Barong Girang, Rudat Mandalika, dan Perang Topat bersama seniman Ida Wayan Pase.
Kiprah Kantun juga menjadi bahan penelitian seorang peneliti budaya dari Amerika, David Haris, yang hingga kini masih sering mengunjungi Kantun di Lombok.*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI