Mohon tunggu...
Panca Nugraha
Panca Nugraha Mohon Tunggu... profesional -

Saya seorang wartawan, penulis. Bekerja sebagai koresponden harian The Jakarta Post untuk wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kantun: Dua Dekade Menekuni “Gendang Beleq”

31 Juli 2011   08:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:13 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1312104895454330335

Kantun bukan hanya bisa membuat alat musik itu, tapi juga sangat lihai memainkannya dan bahkan mengatur keselarasan iramanya atau menyetem. Dalam bahasa Sasak disebut “Paudan Nade” atau menyatukan irama.

Komang Kantun mulai tertarik menekuni alat musik tradisonal Lombok sejak tahun 1990-an.

Seingatnya, saat menjadi pegawai di Bidang Kesenian Departemen P dan K Provinsi NTB di tahun 1991, ada proyek subsidi gamelan di sanggar-sanggar seni. Saat itu ia ditugaskan untuk mencari perajin dan memesan gamelan itu.

”Tapi kok mahal?, dan pikiran perajin hanya uang semata. Saat itu ada yang uang sudah diambil tapi sampai berbulan-bulan pesanan tidak jadi. Janji 3 bulan sampai 6 bulan belum kelar. Saya lihat-lihat kenapa tidak bisa bikin sendiri, dia bisa kenapa saya tidak?, dan saya mulai coba berkreasi,” kata Kantun mengenang.

Saat itu Kantun sebagai pegawai Kesenian sudah mahir memainkan alat-alat musik tradisional Lombok . Tapi ia menjadi penasaran dan ingin membuat sendiri.

Terdorong keinginan untuk bisa membuat perangkat alat musik sendiri, Kantun mulai bereksperimen. Awalnya, untuk membuat gendang, ia kesulitan. Kulit rusak dan kayunya pecah, adalah kendala utama, atau malah gendang jadi tapi bunyinya tidak bagus.

”Enam bulan kemudian baru saya berhasil temukan rahasianya, gendang beleq harus pakai kulit Kambing warna putih, sebab warna hitam atau belang-belang akan cepat rusak,” katanya.

Berawal dari produksi kecil sejak 1992, pada tahun 2004 Kantun mulai kebanjiran pesanan.

Satu set Gendang Beleq saat itu dijual seharga Rp14 juta, terdiri dari sepasang gendang beleq, 9 buah reong atau gamelan kecil, dua buah gong, 20 unit ceng-ceng atau alat musik dari piringan logam bulat yang dibenturkan saat dimainkan, dan sebuah suling bambu.

Di Lombok, gendang beleq menjadi alat musik yang tak bisa lepas dari kehidupan budaya masyarakatnya. Apalagi untuk melengkapi prosesi perkawinan, belum lengkap bila acara nyongkolan atau sorong serah mempelai tidak diiringi dengan gendang beleq.

”Biasanya kalau musim panen dan musim tembakau akan ramai pesanan, sebab saat itu umumnya banyak acara perkawinan. Kalau dihitung-hitung, mungkin separuh gendang beleq yang ada di Lombok ini buatan saya,” katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun