Selain memenuhi pesanan lokal, alat musik buatan Kantun juga banyak dipesan dari luar daerah seperti Bali dan Yogyakarta . Wisatawan Australia , Jepang, Thailand, dan Eropa juga pernah memesan karya Kantun.
”Tapi untuk wisatawan, biasanya mereka pesan hanya satu alat musik. Misalnya Jepang dan Thailand lebih sering memesan gamelan bambu, sedangkan Eropa, dari Swedia sering memesan suling bambu, katanya seruling itu mirip dengan alat musik di Swedia,” katanya.
Bagi Kantun, alat musik, bukan benda mati semata. Ia adalah spirit yang juga punya jiwa. Karena itu, meski banyak pesanan, Kantun tidak gegabah memproduksi gendang beleq dalam jumlah besar sekaligus.
Itu juga yang membuat Kantun menolak tawaran pemerintah daerah untuk membantu pembiayaan produksinya. Ia tak ingin menjadikannya sebagai proyek semata.
”Gendang dan alat musik ini property, selain dipukul tabuh juga di-tari-kan ada gerakannya, ada jiwanya, ada soul-nya. Pernah ada Dinas Disperindag menawari dana pembinaan, tapi saya tolak. Lagipula saya tidak mau terikat dengan pemerintah, agar bisa berkreasi lebih bebas,” katanya.
Kantun yang sudah 15 tahun ini mengabdi sebagai pegawai di Taman Budaya NTB, memang seniman sejati. Selain mampu memroduksi alat musik tradisional, ia juga lihai memainkan alat musik itu. Kantun juga menciptakan sejumlah tarian untuk alat musik itu.
Pertengahan 2010, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB menggelar event festival Gendang Beleq diikuti ratusan kontestan. Kantun diminta menjadi anggota dewan juri, namun ia menolaknya.
”Saya merasa kurang enak. Hampir semua kontestan adalah kenalan saya dan alat musiknya saya yang buat. Kalau saya jadi juri, saya tentu sulit mau memenangkan sebagiannya...,” katanya.
Lagipula, ia kurang setuju bila festival seperti itu dianggap sebagai pelestarian budaya. Sebab pelestarian sesungguhnya adalah bagaimana Pemda secara kontinyu membina kelompok gendang beleq yang ada di setiap Kecamatan di NTB.
Perhatian pemerintah daerah terhadap seniman lokal, juga disoroti Kantun. Ia mencontohkan, Amaq Raye, seorang pencipta kreasi tari Sasak dari Lombok Timur. Kini Amaq Raye sudah tua berusia hampir 80 tahun, dan kerjanya mencetak batu bata.
”Padahal dia master pencipta tari di zamannya. Pernah saya ajak ngobrol, dia bilang kenapa hanya dikasih piagam-piagam saja, padahal ia butuh uang. Atau paling tidak pemerintah bisa menjadikannya guru luar biasa untuk pelajaran seni dan muatan lokal di sekolah-sekolah, ini lebih berharga dari pada piagam,” katanya.