Tangannya menengadah, lemah. Dia diselimuti sunyi, tak terdengar suara selain nafas yang terhela sesekali. Batin Kasman meratap sementara bibirnya terus merapat. Dia tidak sedang meminta apapun kepada Sang Kuasa. Kasman hanya mengadukan kelelahannya, mengeluhkan suratan yang tak memihak kepadanya. Â
"Gusti Allah. Kula kesel (Gusti Allah. Saya lelah)."
Dia memang sedang sangat lelah. Hati, otak, mata, urat-urat wajah, dan hitam rambutnya pun ikut lelah hingga mulai berganti putih di beberapa helainya. Ada kepedihan yang terintih dari dalam dada Kasman.
Kelelahan itu seakan menjalar rata ke seluruh raga. Perut Kasman ikut lelah. Tidak ada lagi makanan yang bisa mengisi ruang kosong di lambungnya. Setiap sudut serasa sudah penuh sesak padahal sudah lebih dari 72.000 detik perut kerempeng itu berteriak. Kasman kenyang bukan karena makanan, melainkan disebabkan rasa lapar yang telah ia enyahkan.
Sekali lagi terdengar desahan dari kedua lobang hidung Kasman. Seakan-akan berusaha melepaskan gumpalan beban yang terperam. Namun mulut Kasman tetap terkatup. Sedangkan hatinya terus menggelegak..Â
Mata Kasman terpejam. Tak ada lagi harapan yang bisa ia dendangkan. Saat ini ia merasa terperangkap dalam ruang hampa asa, sebuah labirin yang tidak jelas dimana pintu keluarnya. Â Â
Terkadang Kasman ingin meluapkan amarah yang membuncah. Tetapi kepada siapa?.Kepada selembar nyawanya yang masih bersemayam? Atau kepada oksigen dan darah yang masih terus mengaliri paru-paru dan nadinya? Haruskah jeruji, dinding-dinding dan langit-langit kusam harus ia jadikan sasaran? Perlukah pula ia sesali bumi yang masih berotasi?
Sekujur raganya memanas. Ada erupsi kata-kata yang ingin terlontar dari mulut Kasman. Kepalanya mendongak saat akhirnya ia berteriak, "Aaahhh...!"
Namun cepat-cepat ia rapatkan gerahamnya. Kasman merasa malu pada semesta jika harus ikut mendengar luapan amarahnya. Hingga ia hanya bisa menyauarakan geraman seorang pesakitan. Â
Kepalanya pening. Kedua kelopak matanya mengatup menciptakan hening. Sukmanya serasa berjalan menyusuri alam imajinasi.
Suara dari tuts-tuts piano terdengar memainkan nada-nada bertempo adagio. Ia pun tak lagi melangkah dan mencoba menikmati alunan irama kepedihan. Hingga akhirnya suara itu tak lagi terdengar.
Kini hanya senyap dan gelap yang mendekap. Itupun tak terlalu lama karena sepuluh menit berikutnya dari berbagai arah muncul pendar-pendar cahaya yang bergerak mendekat, terus dan  semakin dekat. Seolah tak ingin memberi kesempatan Kasman menafsir, cahaya-cahaya itu berubah wujud menjelma menjadi lidah-lidah api.  Â
"Duh Gusti Allah. Cobaan nopo malih niki?" (Duh Gusti Allah. Cobaan apalagi ini?)
Kasman nekad menyeruak kepungan lidah-lidah api. Ia berlari tanpa tahu harus kemana. Namun mereka pun tak tinggal diam dan mengejar laksana pasukan jaguar yang tak rela kehilangan mangsa.
Mendadak terdengar deburan ombak menghantam karang. Beruntung karena langit malam masih berhias sedikit taburan bintang yang membantunya mengenali bentangan laut di hadapan.
"Bajul Mati?"
Sejenak ingatannya berkelebat memutar ulang jejak peristiwa yang pernah terjadi lima tahun silam. Ada sebuah kenangan yang tertinggal di sana. Sayang ia kini tak punya persediaan cukup banyak waktu untuk mengingat semuanya karena lidah-lidah api yang memburunya sudah berjarak tiga batang tombak.
Kasman sudah bersiap-siap menemui ajalnya. Ia terjepit antara api dan kegarangan ombak laut selatan. Kasman pasrah karena sadar Bajul Mati tidak mungkin terbelah seperti Laut Merah."
Namun ternyata api-api itu hanya ingin mengepung tanpa menyentuh sedikitpun. Mungkin  mereka hendak memberikan Kasman satu kesempatan lagi untuk menghirup udara terakhirnya hingga fajar mengganti malam. Â
Debur ombak tak membuat jantung Kasman berdebar. Justru sekarang ia tak lagi merasa adanya tanda kehidupan pada dirinya sendiri. Bukan berarti mati. Kenyataannya ia masih sanggup berdiri.
 "Gusti Allah. Kula sampun siap. Monggo menawi kula badhe dipun pundut." (Gusti Allah. Saya sudah siap. Silakan kalau saya mau diambil).
Tetapi ternyata keganasan Bajul Mati pun enggan merenggut nyawanya. Pusaran ombak laut di Malang Selatan itu sepertinya hanya ingin menggantungnya dalam permainan..
Tiba-tiba lidah-lidah api di sekelilingnya bergerak merapatkan diri dan menyatu menjadi kobaran bara. Â Tiga detik kemudian, muncullah berpasang-pasang tangan melayang tanpa kepala, Â lengan, badan, juga kaki. Tangan-tangan itu kemudian mengacungkan telunjuk ke muka Kasman.
"Kalian mau apa? Kalian mau ambil nyawa saya? Monggo! Saya sudah siap. Dari tadi  saya siap," ucap Kasman memelas.
Tak ada yang menjawab. Sementara bara terus menyala-nyala dan tangan-tangan menunjuk-nunjuk seolah hendak menjadikan Kasman sosok yang harus dienyahkan.
"Ayo, apalagi yang kalian tunggu? Saya ndak akan lari. Monggo kalau mau ambil nyawa saya!" kata Kasman lagi tanpa upaya melakukan perlawanan.
Tangan-tangan itu terus menunjuk-nunjuk, kini ke arah dadanya. Hingga akhirnya bara api itu bersuara,"Kamu salah Kasman."
"Apa? Saya ini salah apa? Bukan saya yang melakukannya," tanya Kasman dengan roman muka kebingungan.
 "Kamu salah, Kasman. Kamu sudah kalah," itulah jawaban yang harus Kasman terima. Sebuah penjelasan yang tidak membuat semuanya semakin jelas.Â
Matanya nanar. Kasman mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Kasman sulit menerima kenyataan bahwa ia harus rela menerima nasibnya di ujung cerita. Dia harus salah dan kalah, mungkin seperti itulah yang tertulis di sana.
 "Karena lemah, jadi kamulah yang harus salah dan kalah," tegas si bara api seperti memahami kegundahan yang Kasman rasakan.
Kasman semakin terpukul. Dia tak menyangka, kemiskinan membuatnya lemah. Karena lemah, ia harus terima kalah dan mau disalahkan.
"Apa saya ndak berhak dapat keadilan?" keluh Kasman.
 "Kamu bicara keadilan? Kamu pikir kamu itu siapa Kasman? Disini, keadilan dan kebenaran adalah milik orang yang sanggup membelinya. Berapa keping uang yang kamu sisakan untuk sebuah keadilan? " teriak bara api tak kalah lantang.
Kasman terdiam. Hanya sebuah gelengan lemah sebagai jawabannya. Jangankan untuk mempengaruhi sebuah keputusan, untuk menyewa pengacara pun dia tak bisa.
"Berarti kamu harus salah dan kalah. Itu aturan mainnya," jawab si bara api.
"Kok gitu to? Apa karena mentang-mentang saya ini wong cilik, jadi boleh diliciki?"
"Kamu tidak terima? Silakan. Kamu mau apa?" bara api itu menantang.
Kasman tidak segera menjawab. Sampai akhirnya kembali terdengar terdengar tarikan nafas panjang yang dilanjut dengan keluh kesahnya, "Oalah. Nasib nasib. Kalau saja saya ini punya ilmu kesaktian. Aku pasti akan seperti Gusti  Ronggolawe yang berani melawan ketidakadilan Prabu Wijaya."
"Buat apa? Buat dicatat sejarah sebagai pemberontak? Makin tegaslah kesalahanmu," serang si bara api lagi.
"Yo wislah. Kalau begitu biar saya mati saja disini. Saya mau nyemplung ke Bajul mati wae," kata Kasman tanpa berpikir panjang.
"Silakan. Jangan membayangkan akan ada yang menangisi kematianmu," jawab si bara api memperingatkan.
Kasman mendengus keras. Matanya yang semula lemah mendadak memancarkan warna merah saga. "Jahanam! Jadi apapun yang saya lakukan itu salah?"
"Ya," jawab si bara api.
Mendapati kenyataan yang sama sekali tak berpihak padanya itu, Kasman yang terus disudutkan berteriak sejadi-jadinya. Saat mulutnya menganga lebar itulah, bara api berkelebat masuk ke dalamnya hingga leburlah lidah dan pita suara Kasman.
"Bertahanlah dengan diam. Kalaupun diammu juga salah, apapun bicaramu lebih salah. Terimalah jalan hidupmu sebagai pemakan bara, penelan panasnya penghakiman. Sampai kamu bisa membeli keadilan," itulah pesan terakhir si bara api.
Setelahnya lenyaplah bara api dan berpasang-pasang tangan bersamaan dengan kembalinya sukma Kasman dari alam imajinasi. Namun ia enggan membuka kedua matanya. Sepertinya Kasman  justru menyesali pertemuannya dengan fajar baru. Baginya fajar baru tidak menjanjikan kecerahan. Pagi dan malam akan sama gelapnya. Pergantian masa tidak akan mengubah jalan ceritanya sebagai pemakan bara yang akan terlontar dari mulut-mulut panas. Menyesakkan karena ia tak mempunyai pilihan selain bertahan dengan diam. Lenyap sudah harapan akan datangnya setetes keadilan.
Kasman berdiri dan berjalan gontai. Dicengkeramnya pintu bui yang melenyapkan kemerdekaannya. Hingga terbayanglah wajah-wajah dingin memandangnya dengan tatapan tajam sebulan silam. Tangan-tangan mereka menuding ke arahnya seiring terdengar tiga kali ketukan palu di meja sidang. Dari mulut mereka terlontar bara api. Itulah bara penghakiman yang harus ditelannya hingga Kasman meringkuk dalam suramnya penjara tanpa pembela.
Dengan tatapan kosong Kasman bergumam, "Sopo to yo yang tega meracuni soto jualanku? Sampai ada yang mati. Oalah, jualan baru setahun, mulai laku, sekarang malah masuk penjara."
Sayangnya Kasman hanya bisa bertanya tanpa pernah bisa menemukan jawabannya. Dia tidak punya daya selain menunggu hingga akhir masa hukumannya tiba. Dia harus rela karena tidak lagi dikenal sebagai Kasman bakul soto. Sekarang orang mengenalnya sebagai pembunuh.
Tanpa pernah ia ketahui, jauh di luar sana, ada yang menggelar pesta sehari sesudah dijebloskannya Kasman ke dalam bui. Mereka bersulang menikmati kemenangan di sebuah rumah makan yang berjarak setengah kilometer dari warung soto Kasman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H