"Apa saya ndak berhak dapat keadilan?" keluh Kasman.
 "Kamu bicara keadilan? Kamu pikir kamu itu siapa Kasman? Disini, keadilan dan kebenaran adalah milik orang yang sanggup membelinya. Berapa keping uang yang kamu sisakan untuk sebuah keadilan? " teriak bara api tak kalah lantang.
Kasman terdiam. Hanya sebuah gelengan lemah sebagai jawabannya. Jangankan untuk mempengaruhi sebuah keputusan, untuk menyewa pengacara pun dia tak bisa.
"Berarti kamu harus salah dan kalah. Itu aturan mainnya," jawab si bara api.
"Kok gitu to? Apa karena mentang-mentang saya ini wong cilik, jadi boleh diliciki?"
"Kamu tidak terima? Silakan. Kamu mau apa?" bara api itu menantang.
Kasman tidak segera menjawab. Sampai akhirnya kembali terdengar terdengar tarikan nafas panjang yang dilanjut dengan keluh kesahnya, "Oalah. Nasib nasib. Kalau saja saya ini punya ilmu kesaktian. Aku pasti akan seperti Gusti  Ronggolawe yang berani melawan ketidakadilan Prabu Wijaya."
"Buat apa? Buat dicatat sejarah sebagai pemberontak? Makin tegaslah kesalahanmu," serang si bara api lagi.
"Yo wislah. Kalau begitu biar saya mati saja disini. Saya mau nyemplung ke Bajul mati wae," kata Kasman tanpa berpikir panjang.
"Silakan. Jangan membayangkan akan ada yang menangisi kematianmu," jawab si bara api memperingatkan.
Kasman mendengus keras. Matanya yang semula lemah mendadak memancarkan warna merah saga. "Jahanam! Jadi apapun yang saya lakukan itu salah?"