Tetapi ternyata keganasan Bajul Mati pun enggan merenggut nyawanya. Pusaran ombak laut di Malang Selatan itu sepertinya hanya ingin menggantungnya dalam permainan..
Tiba-tiba lidah-lidah api di sekelilingnya bergerak merapatkan diri dan menyatu menjadi kobaran bara. Â Tiga detik kemudian, muncullah berpasang-pasang tangan melayang tanpa kepala, Â lengan, badan, juga kaki. Tangan-tangan itu kemudian mengacungkan telunjuk ke muka Kasman.
"Kalian mau apa? Kalian mau ambil nyawa saya? Monggo! Saya sudah siap. Dari tadi  saya siap," ucap Kasman memelas.
Tak ada yang menjawab. Sementara bara terus menyala-nyala dan tangan-tangan menunjuk-nunjuk seolah hendak menjadikan Kasman sosok yang harus dienyahkan.
"Ayo, apalagi yang kalian tunggu? Saya ndak akan lari. Monggo kalau mau ambil nyawa saya!" kata Kasman lagi tanpa upaya melakukan perlawanan.
Tangan-tangan itu terus menunjuk-nunjuk, kini ke arah dadanya. Hingga akhirnya bara api itu bersuara,"Kamu salah Kasman."
"Apa? Saya ini salah apa? Bukan saya yang melakukannya," tanya Kasman dengan roman muka kebingungan.
 "Kamu salah, Kasman. Kamu sudah kalah," itulah jawaban yang harus Kasman terima. Sebuah penjelasan yang tidak membuat semuanya semakin jelas.Â
Matanya nanar. Kasman mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Kasman sulit menerima kenyataan bahwa ia harus rela menerima nasibnya di ujung cerita. Dia harus salah dan kalah, mungkin seperti itulah yang tertulis di sana.
 "Karena lemah, jadi kamulah yang harus salah dan kalah," tegas si bara api seperti memahami kegundahan yang Kasman rasakan.
Kasman semakin terpukul. Dia tak menyangka, kemiskinan membuatnya lemah. Karena lemah, ia harus terima kalah dan mau disalahkan.