Suara dari tuts-tuts piano terdengar memainkan nada-nada bertempo adagio. Ia pun tak lagi melangkah dan mencoba menikmati alunan irama kepedihan. Hingga akhirnya suara itu tak lagi terdengar.
Kini hanya senyap dan gelap yang mendekap. Itupun tak terlalu lama karena sepuluh menit berikutnya dari berbagai arah muncul pendar-pendar cahaya yang bergerak mendekat, terus dan  semakin dekat. Seolah tak ingin memberi kesempatan Kasman menafsir, cahaya-cahaya itu berubah wujud menjelma menjadi lidah-lidah api.  Â
"Duh Gusti Allah. Cobaan nopo malih niki?" (Duh Gusti Allah. Cobaan apalagi ini?)
Kasman nekad menyeruak kepungan lidah-lidah api. Ia berlari tanpa tahu harus kemana. Namun mereka pun tak tinggal diam dan mengejar laksana pasukan jaguar yang tak rela kehilangan mangsa.
Mendadak terdengar deburan ombak menghantam karang. Beruntung karena langit malam masih berhias sedikit taburan bintang yang membantunya mengenali bentangan laut di hadapan.
"Bajul Mati?"
Sejenak ingatannya berkelebat memutar ulang jejak peristiwa yang pernah terjadi lima tahun silam. Ada sebuah kenangan yang tertinggal di sana. Sayang ia kini tak punya persediaan cukup banyak waktu untuk mengingat semuanya karena lidah-lidah api yang memburunya sudah berjarak tiga batang tombak.
Kasman sudah bersiap-siap menemui ajalnya. Ia terjepit antara api dan kegarangan ombak laut selatan. Kasman pasrah karena sadar Bajul Mati tidak mungkin terbelah seperti Laut Merah."
Namun ternyata api-api itu hanya ingin mengepung tanpa menyentuh sedikitpun. Mungkin  mereka hendak memberikan Kasman satu kesempatan lagi untuk menghirup udara terakhirnya hingga fajar mengganti malam. Â
Debur ombak tak membuat jantung Kasman berdebar. Justru sekarang ia tak lagi merasa adanya tanda kehidupan pada dirinya sendiri. Bukan berarti mati. Kenyataannya ia masih sanggup berdiri.
 "Gusti Allah. Kula sampun siap. Monggo menawi kula badhe dipun pundut." (Gusti Allah. Saya sudah siap. Silakan kalau saya mau diambil).