Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

UN Sejatinya Menyiapkan Siswa Memasuki Kehidupan Nyata

4 Januari 2025   10:01 Diperbarui: 4 Januari 2025   10:01 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Siswa sedang mengikuti ujian nasional (UN), diambil dari kompas.com

Ujian Nasional (UN) dihapus karena disebut di antaranya membuat siswa merasa tertekan. Bahkan, juga stres, yang tak hanya dialami oleh siswa, yang notabene anak, tetapi juga oleh orangtua/wali siswa.

Dan, hingga saat ini, UN menjadi topik pembicaraan banyak pihak. Lebih-lebih saat pemerintah hendak memberlakukan UN pada 2026. Sekalipun disebutkan ada perbedaannya dengan UN yang sudah-sudah.

Termasuk Kompasiana.com pun mengangkatnya menjadi topik pilihan. Yang, kemudian, menarik banyak orang. Sekurang-kurangnya Kompasianer, untuk turut membicarakannya.

Mungkin ada Kompasianer yang menyoroti dari sisi siswa, orangtua, masyarakat awam, ahli pendidikan, guru, atau yang lainnya.

Saya, sebagai guru, menyorotinya berdasarkan pengalaman saya selama membersamai siswa. Saya dan banyak guru yang lain, setidak-tidaknya yang seumuran dengan saya, merasakan dan mengalami membersamai siswa, baik siswa yang pernah mengikuti UN maupun siswa yang tak mengikuti UN karena sudah dihapus.

Ada perbedaan atas keduanya. Di antanya adalah siswa yang mengikuti atau menghadapi UN memiliki semangat belajar yang tinggi. Sementara itu, siswa yang tak mengikuti atau menghadapi UN, semangat belajarnya rendah.

Selain itu, siswa yang mengikuti UN merasa memiliki beban. Saat mereka ditanya mengenai UN rerata jawabannya tak senang karena ada UN.

Sementara itu, siswa yang tak mengikuti atau menghadapi UN merasa santai. Saat mereka ditanya mengenai UN rerata jawabannya senang karena tak ada UN.

Tentu masih ada rasa dan sikap yang lain. Yang, cenderung bertolak belakang atas keduanya. Hanya, tinggal seperti apa kita menyikapinya.

Sebagai seorang guru, saya, jelas memilih ada UN. Sebab, dengan adanya UN, siswa lebih mudah dimotivasi untuk belajar ini-itu, mengerjakan tugas itu-ini, melakukan aktivitas begini-begitu, dan aktivitas lain yang sejenis.

Jika melihat bahwa dengan dilaksanakannya UN ada beban, ada kekhawatiran, ada kecemasan, dan ada ketakutan adalah sebagai keadaan yang wajar. Sebab, toh dalam hidup selanjutnya, kondisi-kondisi semacam ini pasti akan dihadapi setiap orang.

Sebaliknya, tak mungkin ada orang yang selama menjalani kehidupan berada dalam kondisi yang senantiasa baik-baik saja.

Itu sebabnya, siswa yang tak mengikuti atau menghadapi UN justru tak kita dukung menyiapkan diri menghadapi kenyataan yang pasti kelak dihadapinya.

Bagaimana mungkin mereka menjadi generasi yang tangguh dalam menghadapi kenyataan hidup --yang sudah pasti banyak dan beragam tantangan dan problem-- jika di masa sekolahnya santai-santai saja? Jelas tak mungkin bisa.

UN justru dapat menjadi ruang mengasah diri siswa menghadapi tantangan dan problem dalam kehidupan. Tatkala mereka sudah terlatih menghadapi tantangan dan problem sejak sekolah, dipastikan kelak menjadi generasi yang survive.

Apalagi jika mau memandang secara sadar bahwa pada akhir mengenyam pendidikan ada UN --berdasarkan pengalaman saya selama menjadi guru-- siswa dalam mengikuti proses pembelajaran tumbuh semangat belajar. Selalu berusaha untuk memiliki potensi dalam pengetahuan dan keterampilan.

Sehingga, adanya pendekatan beragam pembelajaran, misalnya, pendekatan berbasis proyek, pendekatan problem based learning (PBL), pendekatan discovery learning, dan pendekatan saintifik sudah pasti diikuti oleh siswa dengan sungguh-sungguh.

Karena, di dalam prosesnya, mereka akan mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna. Pengetahuan dan keterampilan dapat dikuasai dengan lebih mudah. Yang, sangat dibutuhkan untuk menghadapi UN.

Kalau sebagian orang mengatakan bahwa UN hanya mengukur ranah pengetahuan, bukankah pengetahuan tak lebih mudah dipahami saat siswa mengikuti proses pembelajaran dengan pendekatan-pendekatan yang barusan disebut di atas?

Sekalipun melalui pendekatan-pendekatan ini, pembelajaran menjadi lebih penuh tantangan dan problem, tetapi siswa tak akan pernah merasa bosan mengikutinya.

Sebab, melalui proses ini mereka menyadari bahwa mereka akan memperoleh pengertian-pengertian, pengetahuan-pengetahuan, dan keterampilan, bahkan sikap yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi UN.

Berbeda dengan ketika siswa tak menghadapi UN. Adanya pendekatan pembelajaran yang semacam di atas, tak akan diikutinya secara sungguh-sungguh.

Mungkin mereka mengikutinya hanya bersifat formalitas saja. Sebab, tak ada target yang harus dihadapi di ujung pendidikannya. Tak ada tantangan yang harus ditaklukkan.

Jadi, buat apa bersusah-susah mengikuti proses pembelajaran dengan pendekatan yang penuh dengan tantangan dan persoalan. Rileks sajalah karena tak terlalu berdampak terhadap akhir pendidikan.

Hal seperti ini yang justru jauh dari mendidik siswa menjadi pribadi yang kuat, berani menghadapi tantangan, dan selalu ingin tahu. Tetapi, membuat siswa menjadi malas, pasif, dan mudah menyerah.

UN yang selalu berkorelasi dengan bekerja keras, berjuang, tak mengenal lelah, berpikir kritis, dan mengelola psikis, dengan demikian, memiliki efek yang positif dan konstruktif dalam dinamika kehidupan.

Maka, siswa, yang notabene anak, yang saat mengenyam pendidikan menghadapi adanya UN, kelak ketika dewasa, mereka sudah siap menghadapi berbagai persoalan yang senantiasa ada.

Sebab, kalau kita mau memandang secara positif proses pendidikan yang diakhiri dengan adanya UN, ujian, penilaian, asesmen, atau apalah istilahnya sejatinya, menyiapkan siswa memasuki kehidupan nyata.

Maka, tindakan yang perlu adalah menjaga UN bersih. Tak dicemari oleh keinginan-keinginan yang dapat merusak cita-cita pendidikan. Biarkan siswa tumbuh kembang sesuai dengan potensi yang sudah dianugerahkan Tuhan.

Belajar, berproses secara wajar, hingga sampai pada saat UN dihadapinya. Sekolah pun harus menjaga diri tetap bersih.

Tak berkeinginan yang lebih dari yang sudah dimiliki siswa. Sekolah harus memegang integritas, pendidikan pasti membawa siswa ke cita-cita yang autentik dan alami.

Pun demikian pihak-pihak yang berwenang dalam pengelolaan pendidikan, baik dari tingkat daerah hingga pusat. Harus menjaga juga marwah UN.

Tak memuatinya dengan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Memastikan bahwa UN untuk bersama, yaitu untuk bangsa dan negara. Sehingga, semua fokus untuk masa depan anak, masa depan bangsa.

Saya dan orang-orang yang seumuran dengan saya sangat ingat bahwa pada zaman masih sekolah, yang namanya ujian, atau saat itu disebut dengan istilah Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang diinisiasi oleh pemerintah pusat dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) yang diinisiasi oleh pemerintah daerah tak pernah menimbulkan rasa takut dan khawatir, baik terhadap siswa maupun orangtua.

Sebab, saat itu orientasi pendidikan tak mengarah ke perihal nilai. Nilai tak dijadikan serupa panglima, seperti pendidikan pada masa kini. Sehingga, siswa mendapat nilai berapa pun tak terlalu menjadi beban.

Sebab, nilai disadarinya sebagai gambaran potensi siswa secara autentik. Dan, memang demikianlah seharusnya. Karena, sekali lagi, ujian dalam hal ini UN sejatinya menyiapkan siswa memasuki kehidupan nyata, tak sekadar meraih nilai dalam lembaran kertas yang berhologram .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun