Berbeda dengan ketika siswa tak menghadapi UN. Adanya pendekatan pembelajaran yang semacam di atas, tak akan diikutinya secara sungguh-sungguh.
Mungkin mereka mengikutinya hanya bersifat formalitas saja. Sebab, tak ada target yang harus dihadapi di ujung pendidikannya. Tak ada tantangan yang harus ditaklukkan.
Jadi, buat apa bersusah-susah mengikuti proses pembelajaran dengan pendekatan yang penuh dengan tantangan dan persoalan. Rileks sajalah karena tak terlalu berdampak terhadap akhir pendidikan.
Hal seperti ini yang justru jauh dari mendidik siswa menjadi pribadi yang kuat, berani menghadapi tantangan, dan selalu ingin tahu. Tetapi, membuat siswa menjadi malas, pasif, dan mudah menyerah.
UN yang selalu berkorelasi dengan bekerja keras, berjuang, tak mengenal lelah, berpikir kritis, dan mengelola psikis, dengan demikian, memiliki efek yang positif dan konstruktif dalam dinamika kehidupan.
Maka, siswa, yang notabene anak, yang saat mengenyam pendidikan menghadapi adanya UN, kelak ketika dewasa, mereka sudah siap menghadapi berbagai persoalan yang senantiasa ada.
Sebab, kalau kita mau memandang secara positif proses pendidikan yang diakhiri dengan adanya UN, ujian, penilaian, asesmen, atau apalah istilahnya sejatinya, menyiapkan siswa memasuki kehidupan nyata.
Maka, tindakan yang perlu adalah menjaga UN bersih. Tak dicemari oleh keinginan-keinginan yang dapat merusak cita-cita pendidikan. Biarkan siswa tumbuh kembang sesuai dengan potensi yang sudah dianugerahkan Tuhan.
Belajar, berproses secara wajar, hingga sampai pada saat UN dihadapinya. Sekolah pun harus menjaga diri tetap bersih.
Tak berkeinginan yang lebih dari yang sudah dimiliki siswa. Sekolah harus memegang integritas, pendidikan pasti membawa siswa ke cita-cita yang autentik dan alami.
Pun demikian pihak-pihak yang berwenang dalam pengelolaan pendidikan, baik dari tingkat daerah hingga pusat. Harus menjaga juga marwah UN.