Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Agar Kebijakan 7 Habitus Anak Tak Sia-sia, Perlu Kesiapan Keluarga

2 Januari 2025   11:53 Diperbarui: 2 Januari 2025   18:00 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Siswa di salah satu ruang kelas SMP 1 Jati, Kudus, Jawa Tengah, sedang mengikuti pembelajaran. (Dokumentasi pribadi)

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) meluncurkan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat. Tujuh habitus ini adalah bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat.

Ini diluncurkan untuk mendukung pembangunan sumber daya manusia (SDM) unggul. SDM unggul setidaknya memiliki delapan karakter, yaitu religius, bermoral, sehat, cerdas dan kreatif, kerja keras, disiplin dan tertib, mandiri, serta bermanfaat.

Karena terkait dengan pembangunan karakter, habitus atau kebiasaan ini diterapkan terhadap anak. Sebab, pembangunan karakter membutuhkan waktu yang relatif lama. Yaitu, dengan dimulai dari pembiasaan sehari-hari secara berkelanjutan.

Pembiasaan yang berkelanjutan termaksud melibatkan banyak pihak. Tetapi, harus diakui bahwa keluarga memiliki peran besar ketimbang sekolah dan masyarakat.

Sebab, anak mengenal didikan pertama dalam lingkup keluarga oleh orangtua atau orang yang lebih dewasa yang berada dalam keluarga tersebut.

Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat yang diluncurkan memang diarahkan bagi siswa sekolah menengah pertama (SMP). Tetapi, kebiasaan ini sudah dapat mulai dibiasakan di dalam keluarga sejak kanak-kanak.

Dalam keluarga tertentu bahkan sudah diterapkan. Dan, efeknya telah dapat dipetik oleh keluarga bersangkutan. Malahan dapat dirasakan juga oleh pihak lain. Sekurang-kurangnya oleh pihak sekolah.

Buktinya, sekolah sudah dapat menandai bahwa anak-anak yang tumbuh kembang dalam keluarga yang seperti ini memiliki karakter yang beda. Mereka dapat menjadi teladan bagi siswa yang lain.

Sekolah harus jujur mengatakan bahwa yang membangun karakter anak secara mendasar adalah keluarga. Sekolah sekadar menambahkan ranah pengetahuan dan keterampilan ke dalam diri anak, yang notabene siswa.

Kalau pun karakter tertambahkan sudah pasti persentasenya sangat sedikit. Sebab, sekolah memang lebih mengarah ke bagian pengelolaan ranah pengetahuan dan keterampilan.

Tetapi, hal ini tak mengartikan bahwa sekolah tak membangun karakter siswanya. Sekolah tetap memiliki tanggung jawab dalam membangun karakter siswa.

Tetapi, sekali lagi, bagian ini hanya sedikit yang dapat terinternalisasi ke dalam diri siswa. Sebab, pendidikan karakter bagi siswa sejak dahulu disisipkan ke dalam setiap mata pelajaran (mapel), bukan yang utama.

Sejak diberlakukan Kurikulum Merdeka, melalui pembelajaran proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), pendidikan karakter dimantapkan. Itu pun belum memenuhi harapan dalam segi membangun karakter siswa. Sebab, selama ini, yang menjadi fokus dalam pembelajaran P5 adalah gelar karya.

Artinya, ketika gelar karya (produk) berhasil dianggaplah pembelajaran P5 berhasil. Padahal, sejatinya, bagian yang sangat penting dalam pembelajaran P5 adalah pencapaian karakter yang diharapkan sesuai dengan profil pelajar Pancasila.

Ada enam dimensi profil pelajar Pancasila, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; mandiri; bergotong-royong; berkebinekaan global; bernalar kritis; kreatif.

Keenam dimensi profil pelajar Pancasila ini sebetulnya serupa dengan gambaran yang harus dimiliki oleh SDM unggul. Seperti, yang ingin dicapai melalui Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat yang barusan diluncurkan oleh Kemendikdasmen.

Jadi, karena memandang ketujuh habitus ini lebih banyak berada di dalam lingkup keluarga, maka sudah sepatutnya kesiapan keluarga menjadi bagian yang sangat penting. Artinya, keluarga perlu dipersiapkan terlebih dahulu sebelum dilakukan penerapan tujuh kebiasaan positif bagi anak ini.

Jangan sampai kebijakan yang baik demi tumbuh kembang karakter anak tak dapat berjalan (baik) karena keluarga belum siap. Kebelumsiapan keluarga mengakibatkan penerapannya akan sia-sia saja.

Dan, agaknya kemiskinan (dalam keluarga) dapat dipandang sebagai salah satu faktor yang memiliki pengaruh dalam pembangunan karakter anak. Fakta dari akibat faktor seperti ini dapat dijumpai di sekolah.

Maka, membaca data mengenai kemiskinan di Indonesia per Maret 2024, yang ternyata ada 25, 22 juta orang (setkab.go.id) sangatlah penting.

Kepentingannya adalah memberi gambaran jelas terkait dengan sebuah pemikiran bahwa keluarga menjadi basis pertama dalam penerapan tujuh kebiasaan positif bagi anak. Yang, sudah digagas dan diluncurkan oleh Kemendikdasmen.

Sebab, betapa pun, kemiskinan yang dialami oleh keluarga, misalnya, berpengaruh terhadap pola hidup di dalam keluarga termaksud.

Bagaimana mungkin dalam keadaan kekurangan, orangtua atau orang dewasa yang berada di dalam keluarga ini memiliki waktu dan kemampuan cukup untuk kebutuhan anak? Rasanya sulit dilogika.

Kompas.com saja memiliki catatan dampak dari kemiskinan. Yaitu, meningkatnya angka pengangguran, banyaknya kasus putus sekolah, muncul berbagai masalah kesehatan di masyarakat, meningkatnya aksi kriminalitas, angka kematian meningkat, dan konflik di masyarakat akan bermunculan.

Dua catatan dampak kemiskinan yang disebut di atas, yakni banyaknya kasus putus sekolah dan muncul berbagai masalah kesehatan di masyarakat, terhubung langsung dengan kebutuhan anak. 

Artinya, anak, yang notabene siswa, dapat saja putus sekolah dan kekurangan gizi oleh karena keluarganya dalam keadaan yang miskin.

Dan, keadaan yang seperti ini pun kurang memberi kontribusi terhadap anak dapat bangun pagi, beribadah, berolahraga, gemar belajar, dan tidur cepat. Semua kebiasaan positif yang, sekali lagi, sudah digagas dan diluncurkan oleh Kemendikdasmen sulit terwujud.

Berdasarkan pengalaman saya sebagai guru, rerata siswa yang berlatar belakang dari keluarga yang secara ekonomi membutuhkan perhatian, menghadapi problem. Problemnya beragam.

Ada yang mudah terbawa pergaulan yang sulit dikontrol. Ada yang kurang semangat sekolah. Ada yang kehilangan semangat. Ada yang kurang percaya diri. Ada yang sering terlambat masuk sekolah. Dan, beberapa problem lain yang tak konstruktif.

Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa anak yang berlatar belakang dari keluarga yang secara ekonomi baik, pasti tak mengalami problem di sekolah. Ada juga. Sebab, sejatinya yang namanya "miskin" tak hanya terhubung dengan perihal ekonomi.

Keluarga yang secara ekonomi baik, dapat saja hubungan yang hangat antaranggota keluarga kurang. Karena, satu dengan yang lain hanyut dalam kesibukan, kepentingan, dan kesukaan masing-masing.

Sehingga, satu terhadap yang lain kurang care. Ini yang namanya miskin kepedulian, perhatian, dan kasih sayang. Akibatnya, ada juga anak yang berasal dari keluarga yang seperti ini mengalami problem. Dan, acapkali problem yang dialaminya di dalam keluarga terbawa oleh anak hingga ke sekolah.

Dalam semua ini menjelaskan bahwa karena kemiskinan, baik kemiskinan secara ekonomi maupun simpati bahkan empati, dapat saja mengakibatkan anak, yang notabene siswa, mengalami problem yang menghambat pendidikannya.

Itu sebabnya, untuk mewujudkan tujuh kebiasaan positif bagi siswa agar terbangun karakter SDM unggul harus diawali dari keluarga dahulu. Keluarga harus disiapkan.

Tentu, yang harus dipersiapkan adalah baik keluarga yang ekonominya lemah maupun keluarga yang empati dan simpatinya lemah. Sebab, sekali lagi, keluarga merupakan ruang awal dan utama untuk meletakkan fondasi pembangunan karakter anak.

Sekolah dan masyarakat lebih sebagai ruang bagi anak untuk mengasah karakternya yang sudah mulai dibangun dari keluarga.

Sebab, riilnya, anak di sekolah dan di masyarakat (akan) menghadapi banyak orang dengan beragam persoalan. Ini yang justru akan semakin menguatkan karakter mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun