Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ini Kecerdasan Sosial Siswa yang Harus Dihargai

9 November 2024   10:04 Diperbarui: 12 November 2024   12:51 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Aura kebahagian dan kegembiraan tersebab kecerdasan sosial mereka terekspresikan. (Dokumentasi pribadi) 

Saya kaget saat ada teman guru bercerita sehabis mengajar di salah satu kelas. Sebab, tak bercerita tentang kondisi kelas yang ramai, siswa yang usil, atau daya pengetahuan siswa yang lemah, seperti biasanya.

Tetapi, teman guru ini bercerita tentang perbuatan baik siswa di sebuah kelas terhadap salah satu rekan di kelas mereka.

Perbuatan mereka menyentuh kebutuhan temannya, yaitu kebutuhan anak seusia mereka, yang kurang terpenuhi. Yang, kalau dibiarkan akan menghambat tumbuh kembangnya, baik sisi sosial, personal, maupun kepribadian.

Salah satu rekan mereka ini anak yang dibesarkan dalam keluarga ekonomi kurang mampu. Peralatan kebutuhan untuk sekolah, ada dalam ukuran yang minimal.

Karenanya, satu bulan yang lalu, sekolah melalui Kesiswaan memberikan beberapa buku tulis dalam jumlah yang cukup. Yang, sekurang-kurangnya dapat memenuhi kebutuhan buku dalam satu semester.

Dengan begitu, dalam satu semester yang berjalan tak perlu memikirkan kebutuhan buku. Sekalipun sangat mungkin masih memikirkan kebutuhan lain untuk sekolah.

Namun, ada hal yang mengejutkan kami, terutama saya. Yaitu, saat teman-teman satu kelasnya mengadakan "gerakan" sosial yang sangat bermakna baginya. Yang, tanpa setahunya, teman-temannya berinisiatif membelikan sepatu baru.

Sebab, sepatu yang dimilikinya tak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam tata tertib sekolah. Sepatu harus hitam polos, miliknya hitam bersol putih. Ketentuan ini sudah berlaku bertahun-tahun dan baik-baik saja, tak ada resistensi.

Terkait dengan sepatu siswa ini, sekolah melalui Kesiswaan, sebetulnya sudah bermaksud menghitamkan sol sepatunya dengan pilox. Tetapi, belum terealisasi.

Bentuk perhatian sekolah dengan cara seperti ini sudah diberlakukan sejak lama di sekolah tempat saya mengajar. Tetapi, tak banyak siswa yang (harus) memperoleh perhatian seperti ini. Sebab, umumnya orangtua sudah mengetahui bahwa sepatu anaknya harus hitam polos.

Pengetahuan ini dimiliki oleh orangtua sejak mereka mendaftarkan anaknya sebagai siswa di sekolah. Sebab, sejak mendaftar, sekolah sudah memberi tahunya. Tetapi, kalau ternyata masih ada satu-dua orangtua yang belum mengetahuinya, ini hal yang wajar.

Namun, tata tertib sekolah harus tetap berlaku. Sehingga, sekolah selalu mengambil sikap secara tegas. Yaitu, memastikan bahwa tak ada siswa yang mengabaikan tata tertib. Jika ada siswa yang mengabaikannya, sekolah memberikan perhatian.

Seperti temuan yang sudah disebutkan di atas, yaitu perhatian sekolah adalah memilok hitam sol sepatu siswa yang berwarna putih. Sehingga, harapannya, sepatu ini masih dapat dikenakan oleh siswa. Jika Pilox terkelupas oleh karena waktu dan kondisi alam, sekolah memberi perhatian lagi, yaitu memiloxnya lagi.

Hanya, karena teman-teman sekelasnya lebih bergerak dulu, yang saya bilang mereka memiliki kecerdasan sosial yang istimewa, sudah membangun kebersamaan antarteman memberi perhatian. Yaitu, seperti sudah disebut di atas, membelikan sepatu hitam polos.

Caranya, ini saya mengetahuinya setelah saya mewawancarai salah satu siswa dalam satu kelasnya. Siswa ini, oleh teman guru yang bercerita kepada saya mengenai hal ini, sebagai siswa yang kali pertama mencetuskan gerakan sosial ini.

Kata siswa yang saya tanya, berawal dari ia berbicara kepada ketua kelas tentang keinginannya membantu satu temannya yang sepatunya bersol putih.

Dari keinginan ini lantas timbul inisiatif untuk mengajak teman-teman di kelasnya. Akhirnya, dibuatlah grup WA baru, dengan meninggalkan satu teman yang hendak diberi perhatian.

Komunikasi dan diskusi berlangsung di grup WA baru. Tanpa ada guru atau wali kelas di dalam grup WA baru ini. Entah mengapa, saya tak mengetahui. Mungkin mereka ingin merdeka saja. Mereka berkomunikasi dan berdiskusi dalam mengelola kehendak mereka sendiri.

Awalnya, ada sebagian kecil siswa kurang setuju. Tetapi, ketika mengetahui ada satu siswa yang memberi bantuan sebesar Rp50.000,00, siswa yang lain menyusul. Termasuk sebagian kecil siswa yang kurang setuju, akhirnya ambil bagian.

Dari 30 siswa karena minus satu siswa yang diberi perhatian, terkumpul Rp310.000,00. Rincian uangnya, ada yang lembar dua ribuan, lembar lima ribuan, ada yang lembar sepuluh ribuan, ada lembar dua puluh ribuan, dan ada yang lembar lima puluh ribuan.

Beberapa siswa yang saya tanya, mengatakan bahwa adanya gerakan kesetiakawanan ini sebagian orangtua mereka mengetahui. Ada yang secara suka hati menyambut rencana baik ini. Sehingga, disebutkan oleh mereka, ada orangtua yang menitipkan uang kepada anaknya memberi dukungan sebesar Rp50.000,00.

Jadi, ada anak yang orangtuanya langsung memberi dukungan. Tetapi, ada juga anak yang memberi dukungan langsung, tanpa memberi tahu orangtua. Katanya, mereka menyisihkan uang sakunya untuk gerakan ini.

Oleh lima anak, yang mewakili teman-teman yang lain, uang yang sudah terkumpul digunakan untuk membeli sepatu hitam polos. Mereka bersepeda.

Toko sepatu yang dituju adalah toko sepatu, yang setiap tahun pelajaran baru menjadi tujuan masyarakat ketika membeli sepatu buat anak. Tokonya berada di pusat kota daerah saya bersama keluarga tinggal.

Lokasinya kira-kira 5 kilometer dari lokasi sekolah kami. Jarak seperti ini tak jauh ditempuh oleh siswa dengan menaiki sepeda. Juga tak melelahkan. Sebab, jalan rata dan beraspal dalam kondisi yang masih baik.

Sepatu yang dibeli seharga Rp110.000,00. Masih ada kelebihan uang. Kelebihannya dibelikan alat-alat tulis, yaitu buku dan pelengkap lainnya. Dan, masih ada kelebihannya. Kelebihan ini diberikan berupa uang kepada siswa yang termaksud.

Siswa zaman sekarang memberikan sesuatu kepada temannya saja dengan cara yang tak umum. Karena, mereka melibatkan guru yang mengajar di kelas pada jam yang mereka kehendaki. Guru ini dimintai tolong untuk "marah" terhadap siswa, yaitu temannya yang diberi perhatian ini.

Ide ini boleh jadi terinspirasi dari pengalaman orang lain. Baik yang dilihatnya secara langsung maupun dilihatnya melalui media. Atau, bahkan, di antara mereka pernah mengalaminya sendiri.

Dan, agaknya gayung bersambut. Sebab, pada hari yang direncanakan, siswa yang diberi perhatian tak memakai sepatu saat berada di dalam kelas. Sepatunya dimasukkan ke laci meja. Dalam maksud disembunyikan.

Sebab, sepatu ini ternyata tak ada talinya. Baru diketahui kemudian oleh teman guru bahwa sepatu ini adalah sepatunya saat SD. Kalau dipakai sangat mungkin ia malu karena tak bertali, sekaligus takut jika ketahuan oleh guru.

Sebuah "drama" dimulai. Teman guru bergerak dari satu siswa ke siswa yang lain untuk melihat proses siswa mengerjakan tugas. Semua aktif mengerjakan tugas yang diberikan.

Ketika tiba di meja siswa yang ditentukan, yaitu siswa yang diberi perhatian oleh teman-temannya, teman guru ini langsung memainkan peran yang sebenarnya seperti arahan dalam "drama".

Teman guru menanyakan kepada siswa termaksud tentang dirinya yang tak mengenakan sepatu. Dijawabnya dengan suara agak tersendat, menandai bahwa si siswa ini takut.

Teman guru memainkan perannya yang terlihat marah, yang semakin menakutkannya. Hampir siswa ini menangis. Tetapi, klimaks "drama" harus tetap tercapai, sehingga siswa ini diminta maju, persis dekat dengan papan tulis, kesannya diberi hukuman.

Tetapi, tanpa ada aba-aba, dalam sekejap, teman-temannya langsung berdiri dari tempat mereka masing-masing, lalu berjalan ke arah papan tulis sembari bertepuk tangan. Aura kegembiraan dan kebahagiaan, kata teman guru, menguar di ruang kelas.

Dan, satu siswa membawa sepatu baru yang masih berada dalam kardus, kemudian menyerahkannya kepada satu teman mereka yang memang menerima perhatian secara khusus. Sembari menerima sepatu, matanya sembab oleh air mata bahagia.

Saya, mungkin juga Anda, kadang berpikir bahwa anak-anak tak sejauh ini bergerak untuk membangun sikap kesetiakawanan. Mereka harus diarahkan oleh orang yang lebih dewasa.

Dalam konteks ini, setidak-tidaknya, guru atau wali kelas, mengarahkan. Atau, memfasilitasi rencana baik mereka. Baru kemudian, benak mereka bergerak. Tetapi, tak seperti ini ternyata.

Sekalipun tanpa ada keterlibatan langsung orang yang lebih dewasa, mereka memiliki hati yang mau berbagi. Bahkan, mereka dapat menciptakan suasana dramatis yang dipastikan tak hanya mengesan, tetapi menggairahkan pembelajaran di kelas.

Sebab, satu rekan yang diberi perhatian sangat merasa dihargai dan diberi ruang tumbuh kembang bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun