Teman guru menanyakan kepada siswa termaksud tentang dirinya yang tak mengenakan sepatu. Dijawabnya dengan suara agak tersendat, menandai bahwa si siswa ini takut.
Teman guru memainkan perannya yang terlihat marah, yang semakin menakutkannya. Hampir siswa ini menangis. Tetapi, klimaks "drama" harus tetap tercapai, sehingga siswa ini diminta maju, persis dekat dengan papan tulis, kesannya diberi hukuman.
Tetapi, tanpa ada aba-aba, dalam sekejap, teman-temannya langsung berdiri dari tempat mereka masing-masing, lalu berjalan ke arah papan tulis sembari bertepuk tangan. Aura kegembiraan dan kebahagiaan, kata teman guru, menguar di ruang kelas.
Dan, satu siswa membawa sepatu baru yang masih berada dalam kardus, kemudian menyerahkannya kepada satu teman mereka yang memang menerima perhatian secara khusus. Sembari menerima sepatu, matanya sembab oleh air mata bahagia.
Saya, mungkin juga Anda, kadang berpikir bahwa anak-anak tak sejauh ini bergerak untuk membangun sikap kesetiakawanan. Mereka harus diarahkan oleh orang yang lebih dewasa.
Dalam konteks ini, setidak-tidaknya, guru atau wali kelas, mengarahkan. Atau, memfasilitasi rencana baik mereka. Baru kemudian, benak mereka bergerak. Tetapi, tak seperti ini ternyata.
Sekalipun tanpa ada keterlibatan langsung orang yang lebih dewasa, mereka memiliki hati yang mau berbagi. Bahkan, mereka dapat menciptakan suasana dramatis yang dipastikan tak hanya mengesan, tetapi menggairahkan pembelajaran di kelas.
Sebab, satu rekan yang diberi perhatian sangat merasa dihargai dan diberi ruang tumbuh kembang bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H