Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Merawat Nilai Kebaikan dalam Diri Anak

19 Oktober 2024   14:05 Diperbarui: 21 Oktober 2024   14:32 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak bermain, yang menghidupi nilai kebaikan. (Shutterstock via Kompas.com)

Sejatinya anak-anak sejak kecil bersikap inklusif. Mereka dapat bergaul dengan teman-teman yang berasal dari berbagai latar belakang. Mereka bermain berbaur dengan teman-temannya dalam keseharian dan bergembira bersama.

Dalam relasi demikian ini, anak-anak mengalami tumbuh kembang secara menyeluruh. Baik fisik maupun psikis. Mereka dapat bekerja sama. Mereka saling menerima.

Kita dapat melihatnya dalam lingkup anak-anak yang masih mengenyam pendidikan di pendidikan anak usia dini (PAUD). Mereka tak memilih, tapi menerima semua teman.

Tak memedulikan laki-laki atau wanita. Tak memedulikan miskin atau kaya. Tak memedulikan Jawa atau Sunda. Tak memedulikan muslim atau nonmuslim. Mereka berkawan. Baik dan menyukacitakan.

Terbentuknya relasi yang baik ini dapat saja bersifat alami. Tanpa diajari oleh siapa pun. Oleh karena mereka berada dalam satu lingkungan, misalnya, dan tanpa disadarinya terbentuk relasi pertemanan.

Ini lebih banyak terjadi di lingkungan yang terbuka. Yang, antartetangga masih saling terhubung. Saat saya masih kanak-kanak, hidup di desa, hal anak-anak bermain saat sore hari selalu ada. Seperti sudah terjadwal.

Bermain kasti, bermain bentengan, bermain kelereng (bagi anak laki-laki), bermain pasaran (bagi anak wanita), dan bermain petak umpet mengakrabkan antaranak.

Pada masa kini, masih ada acara anak-anak bermain bersama. Tapi, memang sudah tak sebanyak seperti saat saya masih kanak-kanak. Di kampung tempat saya berdomisili, saat ini, masih dapat saya jumpai anak-anak bermain sepeda-sepedaan.

Hanya, bermainnya tak di lapangan. Tapi, di jalanan kampung. Mereka memutar-mutar di jalan kampung. Kadang mereka berhenti di bagian jalan tertentu.

Mereka berbincang-bincang dan bersenda gurau, lalu berkeliling lagi. Relasi mereka terlihat relatif akrab. Sekalipun selama sepeda-sepedaan, ada momen kejar-kejaran, tapi ini ekspresi kegembiraan mereka dalam kebersamaan.

Di jalan kampung menjadi area bermain anak-anak, seperti yang saya deskripsikan di atas, karena memang tak lagi mudah ditemukan tanah lapang, apalagi lapangan. Halaman rumah pun tak ada yang cukup bagi mereka untuk bermain. Maka, jalan kampung menjadi pilihan terbaik.

Kadang sih mengganggu pengendara kendaraan bermotor. Tapi, karena memang area untuk bermain tak tersedia, masyarakat menyadarinya. Sehingga, tak ada masyarakat atau pengendara motor yang memarahi mereka.

Pertemanan yang dibentuk oleh sistem juga ada, yaitu saat anak-anak berada di sekolah. Seperti yang di awal tulisan ini sudah disebut, yaitu di PAUD. Di SD, SMP, dan SMA/SMK juga terjadi hal yang sama.

Baik relasi anak-anak yang terjadi secara alami maupun sistem dalam lingkungan pendidikan, sebenarnya memuat nilai-nilai kehidupan yang perlu terus dirawat. Di antaranya adalah nilai kegotongroyongan, kepedulian, menghargai kebinekaan, kreativitas, permusyawaratan, dan ketuhanan.

Bukankah setiap orangtua dan guru selalu mengajarkan, misalnya, anak-anak untuk rajin beribadah, saling memaafkan, mau peduli sesama, dan saling menghargai?

Contoh nyata yang sering kita jumpai adalah saat orangtua bersama anak di persimpangan jalan berjumpa dengan pengemis. Pasti si anak yang diminta oleh orangtua untuk memberikan uang kepada pengemis.

Ini membuktikan bahwa orangtua mengajarkan sikap peduli anak terhadap orang lain. Orangtua mengajarkan hal ini dengan suka cita.

Dan, masih banyak sikap positif lainnya yang oleh orangtua diajarkan terhadap anaknya. Misalnya, saat anak habis bertengkar dengan temannya, lalu orangtua membimbing anak untuk meminta atau memberi maaf.

Bahkan, hal demikian sering tak hanya dilakukan oleh orangtua anak sendiri. Hampir dapat dipastikan semua orangtua, entah orangtua sendiri atau pun bukan, selalu memberi bimbingan yang positif terhadap anak yang dijumpainya perlu memperoleh bimbingan.

Tak akan punya kehendak untuk membiarkannya. Apalagi malah memperparah keadaan. Tak mungkin hal demikian dilakukan oleh orangtua. Orangtua akan melerai dan meminta mereka untuk saling maaf-memaafkan.

Entah disadari atau tidak, semua ini sebenarnya merupakan penerapan nilai-nilai kebaikan di dalam kehidupannya. Dan, hampir dapat dipastikan setiap orangtua sudah memulainya dari hal-hal yang dihadapi oleh anak-anak dalam hidup sehari-hari.

Ini artinya, pekerjaan baik sudah dilakukan oleh orangtua. Yaitu, membekali anak-anak untuk dapat menjalani hidup bersama dengan sesama, bahkan lingkungan, dalam relasi yang membawa kenyamanan bersama.

Maka, sudah seharusnya hal demikian dirawat dan dijaga secara kontinu. Untuk menghindari hal yang sudah terlihat baik, jangan hilang dari anak-anak. Caranya, semua orangtua harus menjadi teladan dalam hidup.

Karena, ada saja realitas yang lucu. Begini. Ternyata ada sikap anak yang perlu orang dewasa meneladaninya, lho. Yaitu, mudah memaafkan. Kita sering melihat anak-anak bertengkar, bahkan hingga menangis, tapi begitu mudahnya mereka rukun kembali.

Saat anak-anak sudah akur dan bermain bersama lagi, orangtua mereka malah masih ada yang sama-sama sakit hati. Jadinya, satu dengan yang lain belum dapat rujuk kembali. Ini fakta yang sering kita jumpai, bukan?

Padahal, kita mengetahui bahwa sikap seperti ini perlu segera ditinggalkan. Karena, tak membangun kebaikan. Jauh dari rasa kebersamaan, saling menghargai, dan kerendahan hati.

Tak tepat rasanya jika anak-anak bisa segera pulih dan dapat saling berteman lagi, sementara orangtua justru sebaliknya. Yakni, tak dapat segera pulih dan mencederai ikatan kebersamaan lagi.

Ini justru menjadi contoh yang kontraproduktif bagi anak jika anak mengetahuinya. Sebab, dalam hal ini berarti orangtua tak dapat merawat nilai kebaikan yang sudah dihayati oleh anak dalam hidupnya.

Dan, sedihnya, realitas yang demikian ini tak hanya dapat ditemukan dalam diri orangtua mereka. Tapi, dapat saja ditemukan dalam diri orang-orang lain yang dekat dengan mereka. Bahkan, bisa pula dari berbagai pengalaman, baik langsung maupun melalui media.

Sebab, di ruang publik dan media, baik media arus utama maupun media sosial (medsos) tak jarang terlihat perilaku-perilaku buruk yang dapat dilihat, didengar, dan diketahui oleh anak-anak.

Yang, bukan tak mungkin justru hal ini menggusur nilai-nilai kebaikan yang sudah dihayati oleh anak-anak dalam kehidupannya. Jika realitas ini yang terjadi, maka kita disebut tak dapat merawat nilai kebaikan dalam diri anak.

Yuk, kita lihat mereka saat ini! Memang masih ada anak-anak yang bertahan dalam nilai-nilai kebaikan dalam menjalani kehidupannya.

Tapi, harus disadari pula bahwa tak sedikit jumlah anak yang sudah kehilangan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupannya. Buktinya, dan ini diakui oleh banyak pihak, anak-anak abai sopan santun, kurang berani menghadapi tantangan, tak menghargai dan menghormati sesama.

Bahkan, masih kita jumpai adanya tawuran antarpelajar, perundungan antarteman, dan perilaku buruk yang lain.

Hanya, memang, kurang arif jika memandang realitas ini, orangtua lalu marah terhadap mereka. Tak demikian. Malah sudah semestinya orangtua marah terhadap dirinya sendiri.

Sebab, hal ini menunjukkan bahwa orangtua belum berhasil merawat nilai-nilai baik yang ada dalam diri anak. Agar berhasil, orangtua (baca: orang dewasa) perlu memproduksi sikap hidup yang memiliki efek positif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun