Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengunjungi Sesepuh, Menemu Air Mata dan Cerita yang Menyehatkan

6 Oktober 2024   23:38 Diperbarui: 19 Oktober 2024   23:42 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Berkunjung ke sahabat yang sudah sepuh, secara bersama. (Dokumentasi pribadi)

Sesepuh belum tentu berumur tua. Sesepuh yang sudah berumur tua, bahkan sangat tua, jelas memiliki perbedaan dengan sesepuh yang belum berusia tua.

Sesepuh yang berumur tua, bahkan sangat tua, sering merasa tak berguna. Merasa tak lagi diperhitungkan. Sebab, secara fisik dan psikis merasa sudah melemah.

Kondisi demikian sangat membatasi dirinya untuk beraktivitas. Lebih-lebih aktivitas yang membutuhkan banyak energi. Tak bakal dapat dilakukan sendiri.

Realitas ini akan membuat dirinya semakin merasa sendiri. Apalagi jika anak sudah tak lagi bersama karena anak sudah berkeluarga sendiri.

Pun demikian sanak saudara, yang mungkin sama-sama sudah tua. Atau, bahkan sudah ada yang meninggal. Sudah pasti ia merasa tak memiliki siapa-siapa lagi, bukan?

Dalam kondisi seperti ini, kedatangan teman-teman, baik yang muda maupun yang tua yang masih berenergi, menghadirkan suasana yang berbeda. Yaitu, suasana yang dapat menemu air mata dan cerita.

Betapa tidak, sesepuh yang selama ini tak pernah bertemu dengan teman-teman karena keberadaannya yang sangat terbatas, yang kemudian dapat bertemu dalam kebersamaan sudah pasti tersentuh lubuk hatinya (yang terdalam).

Ia yang merasa tak lagi diperhitungkan ternyata diperhitungkan. Diingat oleh sahabat-sahabat, ada yang seumuran dengannya, ada seumur anaknya, bahkan ada seumur cucunya. Ini suasana yang mengharukan baginya.

Maka, air mata kebahagiaan mulai terlihat menggenang di area mata. Bahagia yang datangnya tiba-tiba, tanpa diduga, memang dapat mengakibatkan air mata tak dapat dibendung. Seperti yang dialami oleh salah satu sesepuh kami ini.

Dan, realitas demikian dapat mengena terhadap siapa pun. Hal ini tak ada relasinya dengan jenis kelamin, tingkat usia, kelas ekonomi, kelompok suku, adat, dan agama. Tak ada hubungannya sama sekali.

Karenanya, barangkali hampir semua orang yang sudah memasuki pengalaman hidup yang panjang, sudah mengalami perihal demikian. Yaitu, menangis dalam kebahagiaan.

Dalam portal www.alodokter.com, menangis yang berhubungan dengan rasa sedih, ternyata memiliki manfaat untuk kesehatan. Setidaknya ada tujuh manfaat menangis untuk kesehatan, baik untuk fisik maupun mental.

Yaitu, 1) mengurangi stres, 2) meningkatkan mood, 3) melegakan perasaan, 4) membersihkan mata, 5) mengurangi nyeri, 6) mengontrol tekanan darah, dan 7) membuat tidur lebih nyenyak.

Jika menangis karena sedih saja memiliki manfaat seperti yang sudah disebut di atas, apalagi menangis karena bahagia. Tentu manfaatnya demi kesehatan, baik fisik maupun mental, lebih daripada yang sudah disebut di atas.

Jadi, saat melihat salah satu sesepuh yang kami kunjungi menangis dan kami menahan untuk tak memohonnya diam, secara tak kami mengerti, kami sudah turut menjaga kesehatannya.

Apalagi menangisnya karena bahagia. Sudah pasti secara psikis dan mental berefek sangat baik. Dan, fakta ini sesuai yang kami saksikan. Sebab, sesepuh kami yang sudah berusia 80 tahun ini, berkali-kali mengucapkan terima kasih dan bersyukur kepada Tuhan.

Mengucapkan terima kasih dan bersyukur kepada Tuhan merupakan tanda bahwa seseorang sedang mengalami kesukacitaan. Yaitu, mengungkapkan rasa bersukacita dan berbahagia karena ia sedang mengalami suasana yang berbeda dengan suasana sebelumnya.

Ya, dalam waktu yang relatif lama tak berjumpa dengan kami, sahabat-sahabatnya, lalu tanpa disangkanya, pada suatu senja kami datang berombongan ke kediamannya. Ibu-ibu membawa kudapan sesuai kesiapannya, untuk nanti bersama-sama disantap sembari berbincang-bincang santai.

Ada yang membawa pisang rebus, air mineral, arem-arem mi, buah jeruk, dan lemet. Sekadar berbagi tahu saja, di daerah kami, lemet adalah kudapan yang dibuat dari singkong yang dilembutkan, dibungkus daun pisang yang di tengahnya diberi gula merah lalu dikukus hingga matang. Di daerah Anda?

Kudapan ini juga yang membuat salah satu sesepuh kami yang tinggal sendirian di rumah, tapi masih dekat dengan rumah kedua keponakannya, tersebut bertambah menangis. Sebab, sudah didatangi secara berombongan, ditambah lagi ibu-ibu membawa kebutuhan untuk dapat dinikmati sembari ramah-tamah.

Tangis yang bahagia ini ternyata mampu mengefek kepada sesepuh kami yang lain, yang masih sehat dan segar. Ia berada dalam satu rombongan dengan kami, yang berkunjung. Mungkin ia lebih empati karena usianya hanya sedikit lebih muda, yaitu 72 tahun.

Sementara itu, kami yang lebih muda hanya menatap mereka dengan penuh hormat dan syahdu. Kami menjaga agar suasana tetap senyap. Sebab, sesepuh yang kami datangi mengungkapkan isi hati dan pikirannya.

Misalnya, kedatangan kami disebutnya sebagai wujud kasih kami kepadanya. Yaitu dengan cara, Tuhan mengirim orang-orang yang memiliki kesukaan membangun kebersamaan dan menghiburnya.

Sampai(-sampai) ia merasa tak nyaman karena merepotkan. Yang dimaksud adalah kedatangan kami dipandangnya kami yang repot. Padahal, tak demikian. Kami tak repot.

Kami justru merasa kurang nyaman karena kami lama tak berkunjung. Sekalipun di antara kami, barangkali, ada yang berkunjung secara perorangan.

Secara rombongan sebetulnya sudah pernah. Tapi, jaraknya dengan kunjungan kami yang sekarang sudah (sangat) lama. Maka, saat kunjungan ini terwujud seakan terbayar sudah rasa kurang nyaman kami.

Dan, kami bersyukur karena ternyata sesepuh kami ini memiliki banyak cerita (baca: kesaksian) yang dapat dibagikan kepada kami. Karena, dapat menginspirasi dan memotivasi kami.

Di antaranya adalah ia menyimpan kutipan sebuah ayat Alkitab yang tertulis di kertas ukuran kecil pemberian salah satu penderma di daerah kami bagi generasi sepuh. Kutipan ayat Alkitab ini diterimanya bersamaan dengan saat ia menerima bingkisan. Entah kapan, ia tak bercerita.

Tulisan ayat Alkitab di kertas kecil hanya sebelah halaman ini disimpannya di bawah bantal tidurnya. Katanya, agar ia ingat terus, terutama, saat menjelang tidur.

Sebab, lanjutnya, sebelum tidur selalu dibacanya. Dengan begitu, ia merasa nyaman, damai, dan sejahtera. Begini bunyi ayat termaksud, Sebab Aku ini, TUHAN, Allahmu, memegang tangan kananmu dan berkata kepadamu: "Janganlah takut, Akulah yang menolong Engkau." (Yesaya 41:13).

Kekuatannya berpegang pada ayat ini terlihat dari setiap kata yang diucapkan di hadapan kami, yang adalah sahabat-sahabatnya. Tak ada sedikit pun keraguan, kekhawatiran, dan ketakutan meskipun siang dan malam sendirian di rumah. Sebab diimaninya, Tuhan selalu memberi pertolongan.

Misalnya, ini yang menurut kami sangat berbahaya, yaitu saat ia hendak menyobek lembar kalender karena sudah waktunya berganti bulan dengan memanjat kursi. Ia terjatuh dan membentur meja, yang mengakibatkan kaca meja pecah. Tapi, diketahuinya (sendiri) setelah ia siuman, tak ada luka sedikit pun di bagian tubuhnya.

Tragedi seperti ini semoga tak terulang lagi. Sangat berbahaya menurut akal pikiran orang, termasuk pikiran kami. Betapa pun, orang seusianya tak seharusnya memanjat. Karena, kata banyak orang dan kami pun memercayai, dalam usia sebegitu, umumnya, keseimbangan sudah tak ada lagi.

Cerita ini yang kemudian mendorong di antara kami mengusulkan untuk menurunkan letak kalender hingga sampai dapat dijangkau tanpa harus memanjat kursi. Dengan cara ini, risiko bahaya (terjatuh) saat menyobek lembar kalender habis bulan akan terhindari.

Masih ada cerita yang lain. Olehnya disebutkan bahwa selama ini ia masih membangun komunikasi melalui gawai dengan salah seorang sahabat, yang saat kunjungan ini juga serombongan dengan kami.

Sahabat yang satu ini memang yang paling muda di antara kami. Yang, dikatakannya setiap saat dimintai bantuan untuk membeli ini atau itu di pasar.

Misalnya, membeli ikan, tahu, tempe, bumbu, dan sayur. Dan, selalu dapat terpenuhi. Puji Tuhan, ada sahabat muda yang selalu siap membantu yang sudah berusia sepuh.

Cerita yang sudah kami dengar ternyata juga berfungsi seperti berfungsinya menangis, apalagi menangis karena bahagia. Tak hanya menyehatkan bagi yang menangis, tapi juga menyehatkan bagi orang lain.

Dalam konteks yang kami alami, misalnya, kami turut merasakan efek kesehatan, setidak-tidaknya batin kami menjadi sehat.

Betapa tidak, saat sesepuh kami menangis, kami tak mengabaikan. Kami mampu mengontrol diri. Kami mengacuhkannya dengan bukti menyediakan ruang senyap agar kami pun dapat merasakan apa yang dirasakannya.

Selain itu, melatih melembutkan perasaan. Karena, di antara kami yang datang mengunjungi, sangat mungkin ada merenung-renung kelak seandainya memasuki usia sepuh seperti sahabat kami yang sepuh ini. Apa yang terjadi kelak? Bagaimana nanti? Apakah akan seperti yang dialami oleh sahabat yang sepuh ini?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menuntun diri untuk introspeksi dan refleksi. Dan, kondisi demikian, bukan mustahil akhirnya mengantar kami, khususnya yang lebih muda, mulai mau menata batin secara lebih terarah.

Kalau cerita? Tak jauh berbeda dengan fungsi menangis, seperti yang sudah disebutkan di atas. Cerita, seperti di atas disarankan dibaca "kesaksian", sudah pasti (sangat) menyehatkan. Sebab, dengan mendengarkan cerita, katakan cerita sesepuh kami ini, pikiran dan benak kami disegarkan.

Kami yang masih muda disadarkan untuk memikirkan orangtua. Memedulikan orangtua. Karena, mereka membutuhkan kehadiran orang-orang yang pernah dilahirkan, dirawat dengan cinta, dan dididik dengan kasih sayang, lebih-lebih ketika mereka sudah memasuki usia sepuh.

Cerita yang dibagikan oleh sesepuh kami, ternyata, juga mampu mengingatkan kami untuk terus dan semakin membangun kedekatan terhadap Tuhan. Pengalaman rohani bersama Tuhan dalam hidupnya sangat membekali kami untuk menjalani hidup lebih berarti.

Maka, silakan menangis dan setia mendengarkan cerita orang lain! Anda dijamin akan lebih bahagia dalam menjalani hidup karena sehat. Tak percaya? Coba saja!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun