Karenanya, barangkali hampir semua orang yang sudah memasuki pengalaman hidup yang panjang, sudah mengalami perihal demikian. Yaitu, menangis dalam kebahagiaan.
Dalam portal www.alodokter.com, menangis yang berhubungan dengan rasa sedih, ternyata memiliki manfaat untuk kesehatan. Setidaknya ada tujuh manfaat menangis untuk kesehatan, baik untuk fisik maupun mental.
Yaitu, 1) mengurangi stres, 2) meningkatkan mood, 3) melegakan perasaan, 4) membersihkan mata, 5) mengurangi nyeri, 6) mengontrol tekanan darah, dan 7) membuat tidur lebih nyenyak.
Jika menangis karena sedih saja memiliki manfaat seperti yang sudah disebut di atas, apalagi menangis karena bahagia. Tentu manfaatnya demi kesehatan, baik fisik maupun mental, lebih daripada yang sudah disebut di atas.
Jadi, saat melihat salah satu sesepuh yang kami kunjungi menangis dan kami menahan untuk tak memohonnya diam, secara tak kami mengerti, kami sudah turut menjaga kesehatannya.
Apalagi menangisnya karena bahagia. Sudah pasti secara psikis dan mental berefek sangat baik. Dan, fakta ini sesuai yang kami saksikan. Sebab, sesepuh kami yang sudah berusia 80 tahun ini, berkali-kali mengucapkan terima kasih dan bersyukur kepada Tuhan.
Mengucapkan terima kasih dan bersyukur kepada Tuhan merupakan tanda bahwa seseorang sedang mengalami kesukacitaan. Yaitu, mengungkapkan rasa bersukacita dan berbahagia karena ia sedang mengalami suasana yang berbeda dengan suasana sebelumnya.
Ya, dalam waktu yang relatif lama tak berjumpa dengan kami, sahabat-sahabatnya, lalu tanpa disangkanya, pada suatu senja kami datang berombongan ke kediamannya. Ibu-ibu membawa kudapan sesuai kesiapannya, untuk nanti bersama-sama disantap sembari berbincang-bincang santai.
Ada yang membawa pisang rebus, air mineral, arem-arem mi, buah jeruk, dan lemet. Sekadar berbagi tahu saja, di daerah kami, lemet adalah kudapan yang dibuat dari singkong yang dilembutkan, dibungkus daun pisang yang di tengahnya diberi gula merah lalu dikukus hingga matang. Di daerah Anda?
Kudapan ini juga yang membuat salah satu sesepuh kami yang tinggal sendirian di rumah, tapi masih dekat dengan rumah kedua keponakannya, tersebut bertambah menangis. Sebab, sudah didatangi secara berombongan, ditambah lagi ibu-ibu membawa kebutuhan untuk dapat dinikmati sembari ramah-tamah.
Tangis yang bahagia ini ternyata mampu mengefek kepada sesepuh kami yang lain, yang masih sehat dan segar. Ia berada dalam satu rombongan dengan kami, yang berkunjung. Mungkin ia lebih empati karena usianya hanya sedikit lebih muda, yaitu 72 tahun.