Misalnya, sebagian guru, hingga saat ini, cenderung mengutamakan gelar karya. Yang dipentingkan adalah  siswa dapat menghasilkan karya, yang  siap dipamerkan.
Misalnya, dipamerkan saat penerimaan rapor pada setiap akhir semester. Agar, orangtua mengunjungi dan membeli.
Dan, rerata guru dan siswa merasa bangga ketika hasil karya yang dipamerkan, dibeli oleh orangtua. Semakin banyak hasil karya yang terbeli dipahaminya pembelajaran P5 semakin berhasil.
Sementara, sebagian guru yang lain memahami bahwa proses pembelajaran P5 yang penting, yang diutamakan. Sebab, di dalam proses ini karakter siswa dibentuk. Toh pembelajaran P5 bertujuan untuk pembentukan karakter siswa.
Bukankah ini menunjukkan bahwa guru masih banyak yang bereksperimen berkenaan dengan pembelajaran P5?
Memang demikian umumnya terhadap sesuatu yang baru. Orang masih harus belajar. Pelatihan sudah ada. Banyak disediakan panduan. Banyak juga contoh. Semua dapat diakses secara online. Tapi, percaya diri masih harus terus ditumbuhkan.
Dalam pembelajaran intrakurikuler pun sebenarnya (telah) diselipkan pembentukan karakter siswa. Ini lebih terasa ketika diberlakukannya Kurikulum 2013. Hampir di setiap langkah pembelajaran dalam semua mapel diselipkan pembentukan karakter yang dimaksud.
Tapi, sejauh ini, masih saja terkonsentrasi ke ranah  kognitif. Sementara, ranah afektif tak kentara di dalam aktivitas intrakurikuler.
Tanggung jawab guru mapel akhirnya lebih mengarah ke pembentukan kognitif siswa dalam setiap mapel. Tak menyinggung perihal karakter.
Sekalipun, misalnya, siswa berdiskusi, presentasi, dan mengerjakan tugas, yang di dalamnya dapat dibentuk sikap percaya diri, kritis, komunikatif, tanggung jawab, dan menghargai orang lain, guru lebih sering menyoroti tentang penguasaan siswa terhadap materi daripada pembentukan karakter siswa.
Kini, di era Kurikulum Merdeka, formulasi pembelajaran intrakurikuler dan kokurikuler mendapat perhatian yang sama. Sudah seharusnya keduanya saling melengkapi.