Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Intrakurikuler dan Kokurikuler, Pembelajaran yang Saling Melengkapi

13 Agustus 2024   15:17 Diperbarui: 13 Agustus 2024   20:02 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Guru sedang memfasilitasi siswa dalam pembelajaran intrakurikuler di salah satu kelas SMP 1 Jati, Kudus, Jawa Tengah. (Dokumentasi pribadi)

Pembelajaran intrakurikuler ada sejak sekolah ada. Wujudnya adalah mata pelajaran (mapel). Penamaan mapel tertentu berubah dari waktu ke waktu. Saat ini, di antaranya, ada mapel Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila, Bahasa Indonesia, IPS, dan IPA.

Jenis mapel disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Yang saya sebutkan di atas adalah sebagian mapel di tingkat SMP.

Di tingkat SD ada yang berbeda dengan yang di tingkat SMP. Misalnya, di SD ada IPAS; di SMP ada IPA dan IPS.

Di tingkat SMA/SMK, berbeda lagi. Sudah lebih spesifik, yaitu misalnya Fisika, Kimia, Biologi, Sejarah, dan Ekonomi.

Semua yang sudah disebutkan di atas, seperti yang sudah ditulis di awal catatan ini, merupakan materi pembelajaran intrakurikuler. Pembelajaran jenis ini identik dengan sekolah.

Artinya, pembelajaran intrakurikuler selalu dikaitkan dengan keberadaan sekolah, yang dilaksanakan sejak pagi hingga siang, bahkan sore. Pola pikir demikian sudah lama terbentuk dalam masyarakat.

Bahkan, bukan mustahil di kalangan sebagian penggerak pendidikan, termasuk guru, memiliki pola pikir yang demikian. Ini tak salah. Sebab, memang demikian realitasnya.

Pembelajaran intrakurikuler memang program utama sekolah. Sejak lama pembelajaran jenis ini sudah ada, yang seperti di bagian awal tulisan ini telah disebut, yaitu sejak sekolah ada.

Tapi, jika kemudian paradigma ini menutup terhadap pembelajaran yang lain, yang memang harus ada dan dilakukan di sekolah, tentu kurang benar.

Sebab, perkembangan zaman sering membawa perubahan. Seperti  adanya Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini membawa sebuah perubahan. Yaitu, adanya pembelajaran kokurikuler. Yang, diformulasikan dalam proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5).

Karenanya, pembelajaran P5 sudah diimplementasikan bersamaan dengan berlakunya  Kurikulum Merdeka. Tapi, berdasarkan pengalaman yang dapat dilihat di sekolah --boleh jadi ini subyektif--  pembelajaran P5 kurang segreget pembelajaran intrakurikuler.

Pembelajaran intrakurikuler rerata diikuti secara serius oleh siswa. Baik saat mereka mengikuti penyampaian materi, diskusi, maupun penugasan, semua diikuti dengan baik.

Pun demikian guru yang mengampu, rerata melakukannya dengan penuh semangat. Terkait dengan penyampaian materi, diskusi, dan penugasan, misalnya, semua terkawal dengan spirit yang konsisten.

Alasannya sangat masuk akal. Sebab, guru (mapel)  yang memiliki tanggung jawab terhadap mapel intrakurikuler yang diampunya. Tak termasuk guru yang lain. Sekalipun sama-sama guru satu mapel.

Pembelajaran intrakurikuler memang dibawakan oleh guru sesuai dengan bagiannya masing-masing. Tugas dan fungsi mengajar dilakukan secara pribadi. Sehingga, baik atau buruknya pembelajaran yang dibawakan menjadi tanggung jawab pribadi.

Guru mapel pun sudah sangat menguasai materi yang diajarkan. Sebab, materi ini sudah dipelajari sejak kuliah. Pun demikian selama mengajar. Guru bergumul dengan materi yang serupa. Sehingga, guru semakin menguasai.

Kondisi ini yang membedakan dengan pembelajaran P5. Sebab, pembelajaran P5 dilakukan secara tim. Riilnya, semua guru mapel, apa pun mapelnya, memiliki peran yang sama dalam pembelajaran P5.

Contoh, yang ada di sekolah tempat saya mengajar, pembelajaran P5 Kelas VII, tema "Kearifan Lokal" dalam topik "Ampyang, Tradisi yang Menghidupi" dibawakan oleh tim, yang terdiri atas semua guru Kelas VII.

Jadi, guru melaksanakan pembelajaran P5 sesuai dengan jadwal mapelnya. Misalnya, pada jam ke-1 dan ke-2 terjadwal mapel Matematika, guru termaksud tak mengajarkan Matematika, tapi mengajarkan P5. Pun demikian diberlakukan bagi guru mapel yang lain.

Jadi, sangat mungkin guru kurang memerankan profesinya secara utuh seperti ketika ia memerankan profesinya dalam mengajarkan mapelnya.

Hal ini disebabkan oleh, di antaranya, pembelajaran P5 masih relatif baru. Sehingga belum semua guru menguasainya. Mereka masih banyak yang eksperimen.

Misalnya, sebagian guru, hingga saat ini, cenderung mengutamakan gelar karya. Yang dipentingkan adalah  siswa dapat menghasilkan karya, yang  siap dipamerkan.

Misalnya, dipamerkan saat penerimaan rapor pada setiap akhir semester. Agar, orangtua mengunjungi dan membeli.

Dan, rerata guru dan siswa merasa bangga ketika hasil karya yang dipamerkan, dibeli oleh orangtua. Semakin banyak hasil karya yang terbeli dipahaminya pembelajaran P5 semakin berhasil.

Sementara, sebagian guru yang lain memahami bahwa proses pembelajaran P5 yang penting, yang diutamakan. Sebab, di dalam proses ini karakter siswa dibentuk. Toh pembelajaran P5 bertujuan untuk pembentukan karakter siswa.

Bukankah ini menunjukkan bahwa guru masih banyak yang bereksperimen berkenaan dengan pembelajaran P5?

Memang demikian umumnya terhadap sesuatu yang baru. Orang masih harus belajar. Pelatihan sudah ada. Banyak disediakan panduan. Banyak juga contoh. Semua dapat diakses secara online. Tapi, percaya diri masih harus terus ditumbuhkan.

Dalam pembelajaran intrakurikuler pun sebenarnya (telah) diselipkan pembentukan karakter siswa. Ini lebih terasa ketika diberlakukannya Kurikulum 2013. Hampir di setiap langkah pembelajaran dalam semua mapel diselipkan pembentukan karakter yang dimaksud.

Tapi, sejauh ini, masih saja terkonsentrasi ke ranah  kognitif. Sementara, ranah afektif tak kentara di dalam aktivitas intrakurikuler.

Tanggung jawab guru mapel akhirnya lebih mengarah ke pembentukan kognitif siswa dalam setiap mapel. Tak menyinggung perihal karakter.

Sekalipun, misalnya, siswa berdiskusi, presentasi, dan mengerjakan tugas, yang di dalamnya dapat dibentuk sikap percaya diri, kritis, komunikatif, tanggung jawab, dan menghargai orang lain, guru lebih sering menyoroti tentang penguasaan siswa terhadap materi daripada pembentukan karakter siswa.

Kini, di era Kurikulum Merdeka, formulasi pembelajaran intrakurikuler dan kokurikuler mendapat perhatian yang sama. Sudah seharusnya keduanya saling melengkapi.

Intrakurikuler membangun pengetahuan siswa; kokurikuler membangun karakter siswa. Jadi, keduanya memperoleh penekanan yang berbeda. Sehingga, keduanya membentuk profil pelajar yang utuh. Selain cerdas, pelajar juga berkarakter.

Maka, jika dalam pembelajaran intrakurikuler, guru membersamai siswa dalam mendalami ilmu pengetahuan; dalam pembelajaran kokurikuler, guru membersamai siswa dalam menghayati karakter.

Itu sebabnya dalam pembelajaran P5, enam dimensi profil pelajar Pancasila, yang terdiri atas 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif, harus ditanamkan dalam diri siswa.

Keenam dimensi profil pelajar Pancasila ini akan bernasib buruk jika di setiap proses pembelajaran kokurikuler --melalui pembelajaran P5-- kurang mendapat perhatian yang serius.

Sebab, dalam pandangan umum, karakter siswa akan terbentuk melalui setiap proses pembelajaran, bukan hasil yang digelar.

Sekalipun guru mapel, satu dengan yang lain berbeda latar ilmu, yang membersamai siswa dalam pembelajaran P5, jika bersinergi dalam setiap proses pembelajaran niscaya akan memberi kontribusi yang maksimal.

Mengingat dalam pembelajaran P5 dilakukan oleh tim yang mengajarkan satu topik dalam satu tema, maka sudah seharusnya setiap anggota tim mengetahui dan menguasai secara mendalam proses  pembelajaran.

Saat satu guru dengan guru yang lain berganti dalam mengajar, misalnya, semestinya  diupayakan tak ada sedikit pun proses yang terlewati. Itu sebabnya, komunikasi dan diskusi antarguru dalam tim selalu perlu dibangun.

Menurut saya, yang selama ini berlangsung, guru masih dalam taraf belajar bersama saat   pembelajaran P5 sebagai kerja tim . Sebab, guru sudah terbiasa membersamai siswa dalam kapasitas sebagai guru mapel yang bersifat pribadi.

Tak mudah memang mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging. Dari peran secara pribadi ke peran secara tim, apalagi tim dengan jumlah anggota yang banyak, seperti dalam pembelajaran kokurikuler (masih) perlu terus dikerjakan dan diperjuangkan.

Setidaknya, spirit guru mapel yang sudah teruji puluhan tahun dalam menjalankan peran secara pribadi dalam memfasilitasi siswa dalam belajar, memberi efek positif terhadap guru tim dalam pembelajaran P5.

Dengan begitu, didapatkan proses yang saling melengkapi antara pembelajaran intrakurikuler dan pembelajaran kokurikuler.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun