Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Adanya Perundungan Antarsiswa, Bukti Keterbatasan Sekolah

26 Februari 2024   15:32 Diperbarui: 27 Februari 2024   17:21 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Perundungan masih terjadi di sekolah. Sumber: PEXELS/KEIRA BURTON

Sekolah, sejak dulu, memang tempat konsentrasi anak. Karena, di sekolah, mereka mengenyam pendidikan. Sekalipun, pendidikan anak tak hanya bisa didapat di sekolah. Ada tempat lain anak bisa mendapatkan pendidikan, yaitu di dalam keluarga dan masyarakat.

Tapi, tingkat konsentrasi anak di kedua tempat yang disebutkan terakhir tak seperti yang ada di sekolah. Di sekolah, anak dari berbagai latar belakang berkumpul. Pun banyak jumlahnya.

Di sekolah-sekolah milik pemerintah, sekolah negeri, rerata jumlah siswanya banyak. Sebab, sebagian besar masyarakat dari dulu hingga saat ini masih memfavoritkan sekolah negeri.

Tentu alasan yang paling utama adalah dari sisi legalitasnya, kecuali sisi yang lain, yaitu sekolah negeri gratis. Legalitas dan gratis (inilah) yang merupakan faktor pendorong masyarakat berkompetisi bagi sang anak di sekolah negeri.

Selain itu, kualitas sekolah negeri juga menjadi magnet yang kuat menyedot masyarakat. Sebab, fasilitas sekolah negeri dan guru disediakan oleh pemerintah.

Apalagi, akhir-akhir ini, guru negeri yang diperbantukan di sekolah swasta ditarik ke sekolah negeri. Ini menjadikan kesenjangan yang semakin mencolok.

Praktis sekolah swasta kehabisan guru negeri. Sekolah-sekolah swasta yang tergolong kecil, pasti merasa keberatan. Tapi, apa boleh buat, jika sudah menjadi kebijakan.

Hal berbeda bagi sekolah-sekolah swasta yang tergolong besar. Sekolah ini memiliki guru yang cukup karena sekolah (dalam hal ini yayasan) dapat menggaji guru dengan nilai yang terbilang tinggi. Bahkan, bukan mustahil gajinya malah melebihi gaji guru negeri.

Baik guru negeri maupun swasta memiliki tugas yang sama, yaitu membersamai siswa belajar di sekolah. Hanya, karena jumlah siswa di sekolah relatif banyak dan berasal dari latar belakang yang berbeda --terutama di sekolah negeri dan swasta yang tergolong besar-- sering guru (baca: sekolah) kurang memiliki daya jangkau membersamai siswa.

Dalam kondisi demikian, selalu ada celah yang memungkinkan siswa membentuk kelompok, grup, atau geng. Tentu terbentuknya karena siswa memiliki spirit, motif, dan latar belakang yang sama.

Ini titik awal yang kemudian antarsiswa dapat (saja) melakukan perundungan. Karena perbedaan, seperti yang sudah disebutkan di atas, dapat menjadi pemantiknya.

Hal ini menyebar di sekolah mana pun. Baik di negeri maupun swasta. Artinya, di sekolah negeri dapat saja terjadi perundungan. Pun demikian di sekolah swasta.

Tercatat perundungan pada 2023 ada 30 kasus, yang mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Yaitu, naik sembilan kasus. Dan, merata di semua jenjang, mulai SD, SMP, hingga SMA dan SMK (Kompas.id, 1/1/2024).

Yang barusan terjadi dan kini masih dalam proses penanganan kepolisian adalah perundungan yang terjadi di SMA Binus School Serpong, Tangerang Selatan.

Kita mafhum sekolah ini tergolong sekolah swasta besar, yang fasilitas dan pengelolaan pendidikannya tergolong canggih. Tapi, di sana pun masih terjadi perundungan antarsiswa.

Hal ini menandakan bahwa sekolah sangat membutuhkan dukungan berbagai pihak dalam mencegah terjadinya perundungan antarsiswa. Sekolah sangat terbatas perannya dalam problem ini.

Adanya peraturan, pendidikan karakter, pembiasaan senyum-salam-sapa-sopan-santun (5S), pengembangan literasi, deklarasi sekolah ramah anak, dan yang teranyar proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) dalam Kurikulum Merdeka, ternyata belum memberi efek yang signifikan.

Karenanya, orangtua dan (pada umumnya) masyarakat perlu menghapus pemikiran bahwa ketika anak sudah berada di sekolah, sepenuhnya menjadi tanggung jawab sekolah. Baik-buruknya anak (baca: siswa) di sekolah tak boleh hanya dipandang bergantung sekolah.

Juga kurang arif jika orangtua berpandangan bahwa karena merasa sudah membayar (umumnya yang di sekolah swasta), maka sepenuhnya anak diserahkan kepada sekolah. Pasrah seutuhnya kepada sekolah, tanpa ada kehendak terlibat dalam dinamika proses pendidikan anak.

Sekarang justru keterlibatan langsung orangtua dalam dinamika pendidikan anak sangat dibutuhkan. Kolaborasi antara orangtua dan sekolah tak boleh diabaikan. Sebab, tantangan dalam membersamai anak dalam mengenyam pendidikan pada masa kini tak semakin ringan.

Karena, seiring dengan perkembangan zaman banyak pengaruh terhadap anak dari berbagai arah. Baik dari relasi langsung antaranak maupun melalui perangkat canggih, yang kini hampir setiap anak memiliki. Justru yang disebutkan terakhir ini yang sering terjadi dan cepat menyergap anak.

Sekolah tak mungkin mampu menyikapi sendirian. Apalagi sekolah harus berbagi konsentrasi terhadap perkembangan siswa. Sekalipun ada tiga dimensi yang menjadi topik konsentrasi, yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif, hanya sedikit yang menyentuh pembangunan karakter, yang seperti sudah disebutkan di atas, tak terasa efeknya.

Sekolah (baca: guru) juga tak akan mampu membersamai siswanya dalam sepanjang waktu mereka berada di sekolah. Sebab, gerak guru terbatas; pandang mata guru terbatas; waktu guru terbatas; komunikasi guru terbatas.

CCTV yang kini dimanfaatkan oleh banyak sekolah pun daya jangkau rekamnya terbatas. Apalagi pemasangan CCTV di beberapa titik di lingkungan sekolah sebenarnya (sama sekali) tak menyentuh pendidikan karakter siswa. Hanya lebih ke tindakan mengawasi siswa, yang mengesankan bahwa siswa cenderung negatif.

Memang CCTV tak semata-mata mengena kepada siswa. Tapi, mengena juga kepada guru. Misalnya, ada guru yang tak mengajar, segera dapat terpantau. Dengan begitu, segera pula ada perhatian terhadap siswa. Selain itu, adanya CCTV juga untuk mengontrol keamanan sekolah.

Toh begitu, rasa aman di sekolah tak selalu dapat terwujud. Karena memang rasa aman dan sekaligus nyaman sebuah proses pembelajaran di sekolah hanya dapat diciptakan secara bersama oleh beberapa pihak terkait, satu dengan yang lain saling mendukung.

Hal ini sesuai dengan bunyi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perundungan, khususnya Pasal 54, yang terdiri atas dua ayat.

Yaitu, (1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Karenanya, sangat mustahil ada keinginan besar untuk mewujudkan rasa aman dan nyaman bagi anak (baca: siswa) berproses dalam pembelajaran di sekolah hanya bergantung kepada guru, atau lebih lengkapnya kepada guru dan tenaga kependidikan (GTK). Tak mungkin ini!

Keterlibatan langsung secara berkelanjutan orangtua, bahkan masyarakat tempat anak tumbuh dan berkembang, sangat memiliki peran penting. Sebab, lingkungan keluarga dan masyarakat justru sebagai lingkungan awal pembentuk karakter anak secara kultural.

Maksudnya, nilai-nilai budaya, seperti keramahan, unggah-ungguh, toleransi, gotong-royong, silaturahmi, saling berkunjung antarsesama, dan sejenisnya lebih mungkin dapat dilakukan dan dialami anak di lingkungan keluarga dan masyarakat ketimbang di lingkungan sekolah.

Apalagi budaya seperti itu bersifat turun-temurun dari para leluhur. Sehingga, mudah dipraktikkan di masyarakat oleh masing-masing keluarga. Dalam konteks ini, ikatan budaya pun akan menjadi pendorong yang efektif.

Saya menyatakan hal ini bukan karena saya guru, yang seolah melempar tanggung jawab pendidikan karakter siswa kepada orangtua dan masyarakat. Tak begitu. Tapi, memang, tanpa peran serta yang serius orangtua dan masyarakat bergandeng tangan membersamai tumbuh kembang anak, GTK (baca: sekolah) tak akan mampu.

Artinya, ada atau tak ada perundungan antarsiswa, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, menjadi tanggung jawab bersama.

Tak serta merta menyalahkan siswa (baca: anak) jika dijumpai perundungan di antara mereka. Tapi, kita perlu introspeksi diri dan segera menyadari bahwa semangat kebersamaan membersamai anak harus dimaksimalkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun