Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Adanya Perundungan Antarsiswa, Bukti Keterbatasan Sekolah

26 Februari 2024   15:32 Diperbarui: 27 Februari 2024   17:21 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Perundungan masih terjadi di sekolah. Sumber: PEXELS/KEIRA BURTON

Sekolah tak mungkin mampu menyikapi sendirian. Apalagi sekolah harus berbagi konsentrasi terhadap perkembangan siswa. Sekalipun ada tiga dimensi yang menjadi topik konsentrasi, yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif, hanya sedikit yang menyentuh pembangunan karakter, yang seperti sudah disebutkan di atas, tak terasa efeknya.

Sekolah (baca: guru) juga tak akan mampu membersamai siswanya dalam sepanjang waktu mereka berada di sekolah. Sebab, gerak guru terbatas; pandang mata guru terbatas; waktu guru terbatas; komunikasi guru terbatas.

CCTV yang kini dimanfaatkan oleh banyak sekolah pun daya jangkau rekamnya terbatas. Apalagi pemasangan CCTV di beberapa titik di lingkungan sekolah sebenarnya (sama sekali) tak menyentuh pendidikan karakter siswa. Hanya lebih ke tindakan mengawasi siswa, yang mengesankan bahwa siswa cenderung negatif.

Memang CCTV tak semata-mata mengena kepada siswa. Tapi, mengena juga kepada guru. Misalnya, ada guru yang tak mengajar, segera dapat terpantau. Dengan begitu, segera pula ada perhatian terhadap siswa. Selain itu, adanya CCTV juga untuk mengontrol keamanan sekolah.

Toh begitu, rasa aman di sekolah tak selalu dapat terwujud. Karena memang rasa aman dan sekaligus nyaman sebuah proses pembelajaran di sekolah hanya dapat diciptakan secara bersama oleh beberapa pihak terkait, satu dengan yang lain saling mendukung.

Hal ini sesuai dengan bunyi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perundungan, khususnya Pasal 54, yang terdiri atas dua ayat.

Yaitu, (1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Karenanya, sangat mustahil ada keinginan besar untuk mewujudkan rasa aman dan nyaman bagi anak (baca: siswa) berproses dalam pembelajaran di sekolah hanya bergantung kepada guru, atau lebih lengkapnya kepada guru dan tenaga kependidikan (GTK). Tak mungkin ini!

Keterlibatan langsung secara berkelanjutan orangtua, bahkan masyarakat tempat anak tumbuh dan berkembang, sangat memiliki peran penting. Sebab, lingkungan keluarga dan masyarakat justru sebagai lingkungan awal pembentuk karakter anak secara kultural.

Maksudnya, nilai-nilai budaya, seperti keramahan, unggah-ungguh, toleransi, gotong-royong, silaturahmi, saling berkunjung antarsesama, dan sejenisnya lebih mungkin dapat dilakukan dan dialami anak di lingkungan keluarga dan masyarakat ketimbang di lingkungan sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun