Ingat! Semua catatan di atas semata-mata menokohkan guru dalam hubungannya dengan pendidikan siswa. Jadi, ada kesan bahwa keberhasilan dan kekurangberhasilan siswa dalam mengenyam pendidikan hanya berada di pundak guru, tak (juga) berada di pundak yang lain.
Orangtua juga
Bukankah semangat ing ngarsa sung tuladha; ing madya mangun karsa; tut wuri handayani selama ini -seperti yang sudah disebut di atas- hanya dikenakan terhadap guru? Entah mengapa belum ada pemikiran, apalagi tindakan, semangat itu dikenakan (juga) terhadap orangtua? Bukankah orangtua sebenarnya adalah guru juga?
Sebab, konsep pendidikan sesuai dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara, terdiri atas tiga pusat pendidikan. Yaitu, di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Jadi, katakanlah misalnya, keluarga yang adalah juga lembaga pendidikan tentu di dalamnya ada peran guru. Dalam konteks ini, orangtua yang berperan sebagai guru.
Dan sudah seharusnya, semboyan pendidikan ing ngarsa sung tuladha; ing madya mangun karsa; tut wuri handayani dikenakan juga terhadap orangtua. Sebab, orangtua sebagai sosok guru bagi anak(-anaknya) ketika mereka berada di rumah.
Siapa lagi yang menjadi gurunya kalau tak orangtua sendiri? Toh, ketika anak-anak berada di rumah memang berkumpul dengan orangtua. Beraktivitas bersama orangtua. Maka, tak dapat diabaikan bahwa sebetulnya sebagian (besar) orangtua sudah melaksanakan peran tersebut, yaitu menjadi guru bagi anaknya.
Dalam kerangka berpikir seperti itu, guru sebetulnya sudah dapat menandai bahwa orangtua mana yang sudah memerankan diri sebagai guru bagi anaknya dan mana yang belum. Misalnya, dari perilaku, tutur kata, dan sikap siswa, guru dapat menyimpulkan bahwa orangtua mereka sudah atau belum memerankan guru di dalam keluarga.
Sekalipun dalam kasus tertentu tak demikian. Sebab, ada juga siswa dari keluarga yang orangtuanya tak dapat menjadi guru bagi anaknya dalam keluarga, tapi anaknya tergolong "terpuji" dalam berperilaku, bertutur kata, dan bersikap, bahkan dalam potensi akademik. Saya menemukan siswa yang demikian di sekolah tempat saya mengajar.
Tapi, memang, jumlahnya sangat sedikit. Artinya, jumlah anak yang (maaf!) kurang "terpuji" perilaku, tutur kata, dan sikapnya yang berasal dari keluarga dalam kategori yang sama dengan yang barusan disebut di atas lebih banyak.
Karenanya pengenaan semboyan pendidikan yang selama ini hanya diarahkan kepada guru, sudah semestinya dikenakan juga kepada orangtua. Orangtua tak sekadar mengetahui ada semboyan pendidikan tersebut. Tapi, orangtua turut menghayati dan mendalaminya.
Dengan begitu, peran orangtua di rumah, yang notabene sebagai guru dari anak(-anaknya), dapat terwujud. Orangtua dapat mengaplikasikan ing ngarsa sung tuladha; ing madya mangun karsa; tut wuri handayani di tengah-tengah keluarga. Agar anak(-anaknya) berada dalam proses tumbuh kembang secara benar dan optimal.