Dulu, entah sejak kapan (saya lupa persisnya), sekolah menyediakan kotak saran. Selain dimanfaatkan untuk menampung saran, kotak saran juga untuk menampung kritikan, baik dari siswa, orangtua, maupun masyarakat.
Seingat saya, kotak saran dibuat dari kayu. Dipasang di salah satu tempat di lingkungan sekolah. Umumnya, dipasang di depan, dekat dengan pintu masuk gedung sekolah.
Supaya orang dapat memasukkan kritikan dan saran yang ditulis di kertas, di bagian atas kotak saran dibuatkan mulut atau lubang agar bisa dimasuki amplop surat yang di dalamnya berisi lipatan kertas berisi kritikan dan saran tersebut.
Mengingat itu, saya merasa tertarik menulisnya. Begini, waktu saya masih sekolah dasar (SD), kotak saran di tempat saya sekolah itu memang tak ada. Entah mengapa, saya tak mengetahui alasannya.
Tapi, saat merenungkannya tiba-tiba ada yang terbersit di kepala saya. Mungkin waktu itu kotak saran di sekolah sudah pernah ada, lalu lambat laun rusak, dan tak ada upaya memperbaruinya.
Atau memang sejak semula belum pernah ada kotak saran. Karena sekolah (baca: kepala sekolah dan guru) belum melihat ada manfaat kotak saran bagi sekolah.
Toh, kalau ada orangtua mau memberikan kritikan atau saran kepada sekolah, bisa melakukannya secara langsung. Itu kalau ada.Â
Hanya, saat ini ketika saya merenungkan hal itu, rasanya tak pernah ada kritikan atau saran kepada sekolah dari siswa, orangtua, atau masyarakat.
Sebab, khususnya orangtua dan masyarakat dengan sekolah seolah sudah sepaham dalam proses pendidikan anak kala itu.Â
Contohnya, kalau ada anak yang dipukul dengan penggaris oleh guru, entah karena kesalahan anak atau kekhilafan guru dan orangtua mengetahui, entah dari laporan orang lain atau anaknya sendiri, orangtua justru "memberatkan" anaknya.
Tak mungkin orangtua membela anaknya sekalipun itu kekhilafan guru, apalagi kalau tindakan guru itu karena kesalahan anak. Anak pasti mendapat tambahan pukulan dan marah orangtua.Â
Apa pun alasan terjadinya pemukulan terhadap siswa (baca: anak), orangtua pasti "menyalahkan" anak. Saya pernah mengalami hal seperti itu.
Mungkin saja, generasi seperti saya, yaitu generasi baby boomers, mengalami sendiri. Atau, setidaknya pernah melihat temannya yang mengalami peristiwa seperti yang saya alami waktu itu. Orangtua mengetahui anaknya dijewer guru, di rumah ditambahi dijewer.
Maka, rasanya tak ada anak-anak yang berani melapor kepada orangtua ketika mereka dimarahi guru. Mereka akan menutup hal tersebut bagi orangtua.
Mereka pun tak menyukai kalau ada temannya yang menakut-takuti perihal peristiwa yang dialaminya itu diberitahukan kepada orangtua. Sebab, dipastikan mereka sesampai di rumah kena marah.
Berangkat dari realitas seperti itu mungkin ada benarnya kalau kala itu tak ada kotak saran yang dibuat dan diletakkan di salah satu tempat di lingkungan sekolah. Sebab, tak ada gunanya. Guru seakan sosok "super" yang selalu benar, sehingga tak perlu dikritik atau diberi saran.
Bahkan, akhirnya ada sebutan juga bagi guru sebagai sosok yang "digugu" dan "ditiru" (dipercaya dan diteladani). Sebutan seperti itu bertahan sangat lama di masyarakat. Bahkan, hingga kini, masih terdengar sedikit-sedikit.
Sumber berbenah
Seiring dengan perkembangan zaman, kotak saran di sekolah mulai diadakan. Seperti telah disinggung di awal tulisan ini, kotak saran ditempatkan di dekat pintu masuk gedung sekolah.Â
Pengadaannya bisa dipastikan menandakan bahwa ada pemikiran baru tentang sekolah (baca: kepala sekolah dan guru).
Sekolah yang dikelola oleh kepala sekolah, guru, dan karyawan, tak selamanya berjalan sempurna dalam memfasilitasi siswa belajar. Ada kalanya ditemukan kekurangan. Oleh karena itu, sekolah memerlukan kritikan atau saran.
Umumnya hanya pihak "dari luar" yang mau memberikan kritikan atau saran. Setidaknya siswa, orangtua siswa, dan masyarakat.Â
Kepala sekolah, guru, dan karyawan sebagai pengelola (pihak "dari dalam"), rasanya tak mungkin mau membuat kritikan atau saran untuk diri sendiri.
Malah mereka boleh jadi menganggap semua yang dikelolanya betul, baik, dan sempurna, tak ada cacatnya, seperti yang banyak orang melakukannya.Â
Sikap seperti itu yang bisa mengakibatkan ada gap. Dalam konteks tulisan ini, gap antara sekolah dan siswa, orangtua, masyarakat.
Itu sebabnya, ketika ada pihak mau menyampaikan kritik atau saran kepada pihak lain, sangat berhati-hati. Sebab kritikan atau saran sangat mungkin dapat menyinggung perasaan pihak yang dikritik atau yang diberi saran.
Kadang karena mempertimbangkan risiko seperti itu, orang tak jadi menyampaikan kritik atau saran. Seperti itu juga yang mungkin dilakukan oleh siswa, orangtua, dan masyarakat karena mereka membayangkan ada risiko saat menyampaikan kritikan atau saran kepada sekolah.
Padahal kritikan atau saran diyakini oleh sebagian besar orang bermanfaat untuk perbaikan. Karena adanya kritikan dan saran, sebenarnya, bisa mendorong tindakan introspeksi diri. Tindakan introspeksi diri ini membangun kesadaran untuk perbaikan.
Karena memandang kritikan dan saran memiliki manfaat seperti itu dan sekaligus mendorong adanya budaya kritik dan saran (demokratisasi), kotak saran akhirnya dimasyarakatkan. Dan, sekolah pun ikut merespon dengan baik. Di semua sekolah kala itu menyediakan kotak saran.
Siswa, orangtua, dan masyarakat yang mengkritik atau memberi saran tinggal memasukkan kritikan atau sarannya ke dalam kotak saran. Tanpa harus bertatap muka dengan pihak yang dikritik atau diberi saran.
Maka, saya berpikir bahwa pada masa-masa awal kotak saran dimasyarakatkan, banyak pihak yang mulai memanfaatkannya.Â
Orang atau pihak tertentu membuat kritikan atau saran yang ditujukan kepada pihak yang lain karena ada sesuatu yang perlu dibenahi.
Kritikan atau saran yang ditujukan kepada sekolah (baca: kepala sekolah dan guru) tentu bermula dari ada bagian dalam persekolahan yang perlu dibenahi.
Saya masih ingat pada tahun pertama saya menjadi seorang guru. Di SD, tempat saya mengajar, juga disediakan kotak saran. Beberapa kali ada yang memanfaatkan kotak saran tersebut.
Surat yang dimasukkan ke dalam kotak saran ada yang beridentitas jelas. Tapi, ada juga yang tak beridentitas jelas, bahkan ada yang tanpa identitas pengirim.
Surat tersebut ada yang bermuatan kritik; ada juga yang bermuatan saran. Isi surat yang bermuatan kritik ada yang tak beridentitas, yang biasa kita menyebutnya surat kaleng.
Tapi, ada juga yang sekalipun bermuatan kritik tetap mencantumkan identitas pengirim. Umumnya, surat bermuatan kritik yang demikian yang direspon, sementara surat bermuatan kritik yang tak jelas pengirimnya tak direspon.
Sebenarnya adanya kotak saran kala itu baik-baik saja. Artinya, semua surat yang masuk ke dalam kotak saran, baik yang beridentitas jelas maupun tak beridentitas jelas, memiliki manfaat. Sebab, melalui surat tersebut, pihak yang dikritik atau diberi saran, dalam hal ini sekolah (akhirnya) bisa berbenah.
Selain itu, dengan adanya kotak saran, disadari atau tidak, membuat siswa, lebih-lebih orangtua dan masyarakat memiliki keberanian bersuara ketika menemukan sesuatu yang tak membuatnya nyaman di lingkungan sekolah. Misalnya, toilet kotor dan berbau, meja dan kursi rusak, guru kurang ramah saat mengajar, dan sejenisnya.
Hal serupa tentu dilakukan juga oleh banyak orang di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan fasilitas publik. Misalnya, ketika mereka berada di rumah sakit, pasar, terminal, stasiun, dan instansi pelayanan publik yang lain. Karena umumnya di tempat-tempat itu disediakan kotak saran.
Terabaikan
Namun, pada perkembangannya kemudian, kotak saran seakan terabaikan keberadaannya. Pada awal 2000-an, sepertinya sudah tak menjadi perhatian penting dari sekolah.
Sebab kotak saran di SMP (karena kemudian saya mengajar di SMP hingga kini), tempat saya mengajar, misalnya, yang pada tahun-tahun sebelumnya masih terpasang di salah satu bagian dinding masuk pintu gedung sekolah, sudah tak terpasang lagi.
Keadaan kotak saran di beberapa sekolah yang pernah saya kunjungi pada masa-masa itu relatif sama dengan kotak saran di sekolah, tempat saya mengabdi. Meskipun di sebagian sekolah yang pernah saya kunjungi masih memasang kotak saran, tapi keberadaannya memprihatinkan. Penuh dengan debu atau dalam keadaan rusak.
Semua itu menjadi pertanda bahwa kotak saran tersebut tak dimanfaatkan lagi. Tapi, melihatnya dalam keadaan penuh dengan debu dan rusak seperti itu, dapat dipastikan bahwa pada waktu-waktu sebelumnya, kotak saran tersebut dimanfaatkan.
Kalau kemudian tak dimanfaatkan berarti ada penyebabnya. Mungkin kotak saran dipandang tak efektif lagi. Toh kala itu orang sudah dapat berkomunikasi dengan handphone, memanfaatkan pesan singkat. Dan, kala itu pesan singkat sangat populer.
Maka, ketika siswa, orangtua, atau masyarakat mau menyampaikan kritik atau saran kepada sekolah, langsung memanfaatkan handphone melalui pesan singkat.Â
Kritik atau saran justru dapat disampaikan langsung kepada yang bersangkutan, yaitu guru atau karyawan tertentu atau kepala sekolah.
Selain itu, kritik atau saran terkirim secara cepat, yang tak mungkin terpenuhi kalau menggunakan kotak saran. Dengan begitu, sekolah dapat segera mengambil sikap, entah berbenah atau meningkatkan kualitas pelayanan kepada siswa, orangtua, atau masyarakat.
Dalam pesan singkat atau Short Message Service (SMS), siswa, orangtua, atau masyarakat memang tak dapat menulis dalam ukuran yang panjang karena sistem. Yang, sangat berbeda dengan ketika mengirim kritik atau saran dengan tulisan di kertas. Ukurannya bisa sampai sangat panjang.
Tapi, seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, kini, pesan (baca: kritikan atau saran) dapat dikirim dalam ukuran yang lebih panjang --seperti ukuran panjang tulisan secara manual di kertas-- dan dalam tempo yang sangat cepat. Perubahan ini jelas menuju ke keefektifan berkomunikasi.
Komunikasi yang semakin efektif tersebut menggeser cara-cara komunikasi secara konvensional, yang tentu saja termasuk menggeser komunikasi melalui kotak saran. Hanya, jika kita mau mengulik, ternyata hingga kini "kotak saran" masih digunakan sekalipun dalam bentuk digital berupa aplikasi.
Bahkan, boleh jadi kotak saran digital yang digunakan di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi, kini, sudah sangat beragam dan canggih. Hanya, di SMP, tempat saya mengajar belum memiliki kotak saran digital.
Ketika ada kritik atau saran yang ditujukan kepada sekolah (baca: kepala sekolah, guru, atau karyawan) baru sejauh dikirim melalui WhatsApp (WA). Yang teranyar, misalnya, baru beberapa minggu yang lalu, ada orang yang mengaku siswa mengirim kritik atau saran (baca: sikap) lewat WA kepala sekolah.
Isinya mengenai rasa tak nyaman karena ada salah satu guru mata pelajaran jarang menerangkan beberapa materi yang seharusnya diterangkan.
Pengirim yang mengaku salah seorang siswa tersebut mengatasnamakan dirinya untuk semua siswa setingkatnya.
Sayang, dalam tulisan yang dikirim melalui WA itu tak jelas betul identitas siswa yang mengaku menulis. Sehingga, kami akhirnya berpikir bahwa tulisan yang mencerminkan "sikap" itu menyerupai surat kaleng.
Toh begitu, sekolah (dalam hal ini kepala sekolah) tetap menindaklanjuti. Bukan melacak siswa yang mengaku menulis. Tapi, mencari informasi lebih banyak terkait dengan "sikap" siswa tersebut dari beberapa guru dan siswa.
Ketiadaan
Adanya siswa (atau yang mengaku siswa) mengirimkan "sikap" mereka kepada sekolah di sekolah tempat kami berkarya tersebut merupakan peristiwa yang langka. Sebab, sudah sangat lama, peristiwa seperti itu tak pernah ada.
Sekalipun mungkin ada siswa, orangtua, atau masyarakat yang menyampaikan hal serupa itu secara langsung. Tapi, saya yakin, ini hanya terkait dengan hal-hal yang bersifat biasa, tidak mengandung risiko.
Sejauh saya tahu, dalam satu dekade terakhir ini kritik atau saran yang ditujukan kepada sekolah memang tak sebanding dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu pesat.
Malah, nyaris tak ada kritik atau saran terhadap sekolah. Walaupun ada banyak media berbasis internet, seperti sebagian sudah disebut di atas, yang bisa digunakan untuk menyampaikan kritik atau saran.
Padahal sebaik apa pun, kelangsungan pendidikan di sekolah tetap ada buruknya. Mungkin kapasitas beberapa guru dalam pembelajaran yang rendah, mungkin keamanan di sekolah belum terwujud secara baik, mungkin lingkungan sekolah kurang bersih, dan lain-lain.
Ketiadaan kritik atau saran dari siswa, orangtua, atau masyarakat boleh jadi karena persoalan-persoalan yang timbul di dalam kelangsungan pendidikan mungkin masih mereka anggap sebagai persoalan yang biasa. Tak perlu ada penanganan secara khusus. Sehingga, dibiarkan begitu saja, berlalu.
Atau sekalipun ada persoalan, termasuk persoalan yang berisiko, mereka membiarkan saja. Karena kalau mereka menyampaikan kritik atau saran terkait persoalan tersebut, mereka malah terkena akibatnya.
Setidaknya mereka (baca: orangtua atau masyarakat) takut kalau-kalau akibat yang mengenainya itu berdampak kepada anak. Misalnya, anak yang orangtuanya menyampaikan kritik atau saran diintimidasi guru atau diberi nilai rendah.
Memang saya pernah mendengarkan pernyataan-pernyataan semacam itu dari siswa dan orangtua. "Tak perlu mempersoalkannya, kalau ujung-ujungnya nanti anak yang kena," begitu umumnya mereka berkata-kata.
Jujur, sebagai guru, saya menampik kata-kata seperti itu. Sebab, kalau siswa, orangtua, atau masyarakat mengatakan secara jujur dan dapat mempertanggungjawabkan perkataannya, sekolah malah sangat beruntung.
Karena sekolah menemukan sumber yang tepat untuk berbenah diri. Sumber yang tepat umumnya memang berasal dari pihak lain. Karena mereka melihat secara objektif. Sementara diri sendiri (baca: sekolah) Â melihat secara subjektif.
Maka bukan mustahil kalau kemudian sekolah justru menganggap orangtua dan masyarakat menjadi pahlawan. Jadi, tak hanya dianggap sebagai mitra sekolah untuk menyiapkan anak menyongsong kehidupan ke depan yang penuh tantangan.
Hidupkan kembali
Budaya berani memberi kritik atau saran sudah seharusnya dihidupkan kembali, termasuk di lingkungan sekolah. Sebab persoalan semakin kompleks, yang sangat membutuhkan peran banyak pihak.
Tak mungkin sekolah, yang di dalamnya hanya ada pengelola terbatas, yakni kepala sekolah, guru, dan karyawan, mampu menghadapi persoalan persekolahan yang kini semakin kompleks tersebut.Â
Sekolah sangat membutuhkan mitra yang sekaligus memberi masukan, baik kritikan maupun saran demi kemajuan. Apalagi seiring dengan perkembangan teknologi, komunikasi, dan informasi yang semakin lama semakin canggih.Â
Orang tak perlu lagi harus bertatap muka ketika membangun komunikasi atau mengamati. Orang juga tak perlu membutuhkan waktu lama untuk melakukannya. Kotak saran digital atau apalah istilahnya dapat menjadi media efektif dan praktis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI