Mohon tunggu...
Desa PagitaSinach
Desa PagitaSinach Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa_UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

HUKUM KELUARGA ISLAM

Selanjutnya

Tutup

Book

Pelaksanaan Hadhanah bagi Istri yang Keluar dari Agama Islam

7 Maret 2023   21:05 Diperbarui: 7 Maret 2023   21:27 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Nama               : DESA PAGITA SINACH

Kelas               : HKI 4B

Nim                 : 212121058

REVIEW BUKU

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK ASUH ANAK (HADHANAH) terhadap istri yang keluar dari Agama Islam

IDENTITAS BUKU

Judul                 : PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK ASUH ANAK (HADHANAH) terhadap istri yang keluar dari Agama Islam.

Penulis             : Zulfan Efendi,S.Ag.M.Pd.I

Tahun terbit   : 2019

Penerbit           : STAIN Sultan Abdurrahman Press

Cetakan           : Cetakan pertama, Desember 2019

RESENSI

Buku tulisan karya Zulfan Efendi,S.Ag.M.Pd.I ini, membahas mengenai "PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK ASUH ANAK (HADHANAH) terhadap istri yang keluar dari Agama Islam " buku ini memang sangat amat bermanfaat, apabila terdapat kasus kasus seperti ini dikemudian hari, mengenai kasus seperti tidah hanya dilihat dari kacamata Hukum saja,akan tetapi dari segi Agama bahkan psikologi anak tersebut.

Dalam buku ini pada awal mulanya menjelaskan mengenai pengertian hadhanah, jadi hadhanah berasal dari bahasa arab "hidnan" (lambung), hadhanah artinya merawat dan mendidik atau mengasuh bayi/anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri sendiri. 

Hak hadhanah ini tidak berlaku untuk orang dewasa yang sudah baligh dan berakal, mengenai orang dewasa mempunyai sebuah kebebasan untuk memilih tinggal dengan siapa saja. Hadhanah ini mencakup 3 aspek yaitu, pendidikan, pencukupan kebutuhan dan juga usia (mengenai ini ada batas ketentuan). Mengenai hadhanah juga telas dijelaskan pada Undang Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pada pasal 45.

Lantas bagaimana hukum Hadhanah ini menurut Agama Islam dan Hukum positif di Indonesia? Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana Islam memandang hadhanah, menurut kesepakatan ulama bahwa menetapkan pemeliharaan itu hukumnya wajib ya, sebagaimana memelihara selama berada dalam ikatan perkawinan. Nah, dasar hukumnya terdapat pada Al Qur'an Al Baqarah ayat 233 dan dilanjutkan apabila terjadi sebuah peceraian yautu pada Al Qur'an At Tahrim ayat 6 dan ditegaskan lagi dengan sebuah periwayatan salah satu hadis Nabi.

Sedangkan Hukum hadhanah dalam Hukum positif mencakup, jadi sebuah Kewajiban orangtua itu berlaku hingga anaknya sudah kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu terus berlaku meskipun perkawinan kedua orang tua bercerai. 

Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri/bisa dikatan dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tidak cacat fisik/mental dan belum kawin. Jika terjadi sebuah perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum 12 tahun) adalah hak ibunya, setelah mumayyiz diserahkan pada anak untuk memilih untuk tinggal dengan ayah atau ingin menetap dengan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Hal ini juga telah diatur dalam UU Pasal 26 mengenai perlindungan anak.

Ternyata untuk pemegang Hak hadhanah itu memiliki beberpa persyaratan lho, dibuku tersebut juga telas dijelaskan, terdapat 6 syarat yaitu:

  • Baligh.
  • Berakal, jadi pemegang hak asuh harus berakal ya, jika tidak berakal maka disebut kurang mampu untuk menempurnakan hak hadhanah.
  • Mampu merawat, mampu merawat disini tidak melulu mengenai uang ataupun nafkah, akan tetapi mengenai orang yang uzur, sakit bahkan kesibukan dalam pekerjaan dapat membuat kehilangan suatu hak hadhanah.
  • Akhlak terpecaya.
  • Islam.
  • Merdeka. 

Ada juga nih, persyaratan terkkhusus bagi kalangan perempuan, yaitu:

  • Tidak menikah dengan orang lain, namun beberapa ulama berpendapat bahawa wanita yang menikah tidak menggugurkan haknya.
  • Si wanita terdapat pertalinan darah dengan si anak.
  • Si wanita tidak menolah hadhanah meskipun tidak diupah, sementara bapaknya tidak mampu memberikan upah.
  • Rumah tempat hadhanah bukan tempat yang tidak disenangi anak, karena untuk menjaga kondisi psikis anak.

Sedangkan untuk syarat khusus bagi laki laki yaitu:

  • Mahram bagi si anak.

Pemegang hadhanah.

Sedangkan didalam fikih hal ini juga dibahas di buku tersebut,  menurut fikih para ulama sepakat bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari pada kerabat ayah. Lantas bagaimana jika anak kecil tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali? maka hakim akan menunjuk pengasuh wanita yang akan mendidiknya.

Bahwa para ulama sepakat, kalangan perempuan lebih berhak menjalankannya ketimbang kalangan laki-laki, karena mereka lebih dalam hal belas kasih, ketelatenan merawat, kesabaran dan lebih intens menjaganya, hanya saja masing masing ulama berbeda dalam menentukan urutan-urutan siapa yang lebih utama.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah dijelaskan mengenai putusnya perkawinan. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf (a) anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia.

Hak Hadhanah Isteri Non-Muslim, bagaiaman ulama memandang permasalahan tersebut? Pasti tentunya terdapat perbedaan pendapat dari ulama satu dengan yang lain. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mensyaratkan wanita pelaksana hadhanah harus Islam, tiada hak dan kewenangan wanita kafir. Akariya al-Anshary, hadhanah ibu yang kafir diterimakarena hak hadhanah itu memang miliknya. Menurut Abu Said al-Istakhri, boleh diserahkan ke orang kafir. Menurut Muhyiddin al-Nawawi, hadhanah tidak boleh diserahkan ke orang kafir karena tidak akan wujud kesejahteraan anak, ia akan merusak agamanya dan itu mudharat yang paling besar.

Menurut Islam biaya hidup anak merupakan tanggungjawab bapaknya, baik selama perkawinan berlangsung maupun setelah perceraian, pemberian upah (nafkah) ini wajib dilakukan baik diminta maupun tampa diminta. Upah ini ditanggung oleh bapak untuk anaknya, berapa besarannya? Besarnya upah dapat disesuaikan dengan kemampuan si bapak.

Namun apabila terdapat kasus bapaknya tidak mampu memberikan upah, Akan tetapi jika bapak tidak mampu, karena ia orang susah, dan ber-penghasilan rendah serta anak itu tidak mempunyai harta, sedangkan si ibu menolak untuk mengasuhnya kecuali dengan upah dan tiada seorang pun diantara kamu kerabat yang mau mengasuhnya secara mutlak. Dan biaya pemeliharaan atau rawatan itu tetap menjadi hutang suami yang tidak gugur, kecuali dengan di tunaikan.

Kalau semisal terdapat permasalahan bahwa sibapak mampu akan tetapi tidak memberikan upahnya, maka hal tersebut termasuk kedalam dosa besar. Kecuali anak laki laki tersebut telah bekerja dan berdiri sendiri sedangkan untuk anak perempuan sudah kawin.

Mengenai batas hadhanah (pengasuhan) anak berakhir ketika anak  laki-laki ataupun perempuan, tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita dewasa, mencapai tamyiz dan sudah bisa mandiri, yakni diperhitungkan dapat mengerjakan sendiri kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti makan, berpakaian, dan membersihkan diri (mandi dan lainnya). Hal ini tidak dapat nih diukur dalam hitungan angka atau umur melainkan sudah atau belum anak tersebut lepas dari keterdantungan.

Pastinya para ulama berbeda pendapat nih megenai batasan dari hadhanah antara lain:

  • Menurut mazhab Hanafi, hadhanah anak laki laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari dan bagi anak perempuan berakhir apabila, telah datang masa haid pertamanya.
  • Menurut Imam Malik, laki laki berakhir dengan ihtilam, sedangkan perempuan akan berakhir apabila anak perempuan tersebut melangsungkan pernikahan.
  • Menurut madzhab Imam Syafii, batasanya pada usia ke 7 tahun atau mungkin 8 tahun, karena dianggap sudah berakal dan bisa memilih untuk tinggal dengan siapa.
  • Menurut mazhab imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan hadhanah anak itu berakhir sampai anak itu berakhir, sampai anak tersebut berumur 7 (tujuh) tahun.

Ternyata pelaksanaan hadhanah tidak hanya ada di Indonesia saja, melainkan dibeberapa Negara Islam seperti, Mesir, Yordania, Syiria, Kuwait dan Tunisia. Mengenai orang murtad dalam pelaksanaan hadhanah, karena murtad bisa jadi salah satu alasan putusnya hubungan pernikahan. 

Mengenai status Hukum Perkawinan Orang Murtad telah diataur dalam Undang-Undang, hal tersebut diatur hanya mengenai spesifik pada perkara murtad yang bisa menjadi alasan perceraian sesuai dengan Pasal 75 KHI (Kompilasi Hukum Islam). Putusnya Perkawinan dkarenakan murtadnya seorang istri mempunyai hak iddah selama 3 bulan dan dapat dilaksanakan pembagian harta bersama, dan hak asuh anak (hadhanah).

Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan juga mengenai akibat putusnya perceraian Jika salah satu dari suami ataupun istri murtad maka pernikahan keduanya secara otomatis fasakh, tanpa membutuhkan Putusan Majelis Hakim.

Lantas bagaimana pelaksanaan esekusi hak anak istri murtad ?

Dalam buku ini dijelaskan duduk perkara, mulai dari surat gugatan bahkan putusan Pengadilan Agama mengenai kasus tersebut. Di buku ini dicontohkan sebuah kasus yang berada di Pekanbaru. Dalam Putusan Perkara Nomor. 398/Pdt.G/2013PA.Pbr di Pengadilan Agama Pekanbaru Tentang Hak Asuh Anak (hadhanah) Antara Jonel Amran Bin Amran (sebagai PENGGUGAT) dan Ita Asnita Binti Abd Majid (sebagai TERGUGAT).

Dengan fakta fakta dan dalil dalil yang telah disampaikan PENGGUGAT, dan juga berdasarkan pertimbangan hukum yang berlaku di Indonesia, bahwa jika salah satu syarat pemegang hak asuh anak (hadhanah) yang tidak terpenuhi oleh salah satu pihak, maka gugurlah hak asuh anak (hadhanah) tersebut. Jadi berdasarkan dalil yang menyatakan bahwa si mantan istri telah keluar dari Agama Islam (murtad). 

Dapat dianalisa bahwa Panitera Jurusita Pengadilan Agama Pekanbaru dengan dihadiri oleh 2 orang saksi, Aparat Keamanan (Polisi), Penggugat/Pemohon, Tergugat/ Termohon, sudah melaksanakan proses pelaksanaan eksekusi atas perintah putusan perkara tersebut, namun dikarenakan beberapa faktor antara lain; para pihak anak ketika dimintai keterangan tetap kekeh memilih untuk bersama ibunya dan juga kedekatan psikologis anak dengan ibunya, walaupun ibunya telah berpindah agama (murtad).

Mengenai kasus ini memang sangat sulit untuk dipahami, menurut Penulis buku ini untuk menyatakan, walaupun Negara kita merupakan Negara Hukum, namun harus juga memperhatikan dampak psikoligis bagi anak tersebut, jika terus dipaksakan bisa berakibat fatal pada mental si anak.

Maka jalan satu-satunya dengan menunggu dan meluangkan waktu agar anak tersebut bisa mengerti agama, dan mana yang terbaik untuk ia memilih apakah mengikuti ayah maupun mengikuti ibu. Dengan demikian, penyelesaikan akhir perkara dalam kasus tersebut ditunda sampai setelah anak tersebut mumayyiz dan diserahkan pada anak untuk memilih ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuhnya, sesuai ketentuan Pasal 26 UU. Perlindungan Anak adalah untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindunginya. 

Demi kepastian hukum, persoalan ini perlu ada kejelasan hukumnya dengan merevisi dan melengkapi pasal dan aturan yang lengkap dan jelas dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Mengenai pelaksanaan eksekusi hak asuh anak (hadhanah) terhadap istri yang keluar dari agama islam (murtad) menjadi dasar hukum tertentu.

Hukum positif yang berlaku di Pengadilan Agama yang kebanyakan berasal dari hukum material Islam, dan jika tidak ditemukan pengaturannya maka hakim berwenang melakukan pencarian dan penggalian hukum sesuai dengan kaidah penggalian hukum yang berasal dari nilai-nilai dan norma-norma hukum nasional, hukum adat, ilmu pengetahuan dan sumber-sumber hukum agama Islam yang berasal dari kitab-kitab fiqh hukum Islam.

Non-Muslim tidak berhak menjalankan hadhanah Syafiiyah dan Hanabilah mensyaratkan yang menjalankan hadhanah harus beragama Islam, Muhyiddin al-Nawawi, hadhanah orang kafir tidak dapat mewujudkan kesejahteraan. Ibnu Taimiyah semangat syarak berkehendak menjaga kemaslahatan anak sehingga putusan hukum pun adalah untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.

KESIMPULAN

Jadi kesimpulan yang dapat saya ambil dari buku ini adalah bahawa hak asuh anak atau hadhanah merupakan merawat dan mendidik atau mengasuh bayi/anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri sendiri. Jadi hadhanah ini hukumnya wajib bagi pasangan yang telah bercerai karena masih termasuk kedalam tanggungjawab sebagai orang tua. Pemenuhan hak anak pasca orang tua bercerai tidak hanya sebagai dalam pemenuhan kasih sayang akan tetapi pemenuhan nafkah untuk kebutuhan anak, nafkah ini diberikan oleh pihak ayah sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan kedua belah pihak.

Didalam Islam juga telah diatur mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan hak asuh anak, yang kesepakatan ulama bahwa ibu lebih berhak mendapatkan hak asuh anak kecuali ketika anak tersebut telah mumayiz (bisa memilih untuk mengikuti ayah atau ibunya). Keluarga ibu nya juga lebih berhak daripada keluarga si ayah, namun apabila memang anak tersebut tidak ada yang merawat bahkan dari keluarga ayah maupun ibu maka hakim memilih orang yang dapat diberikan tanggungjawab untuk merawat anak tersebut.

Mengenai syarat hadhanah juga telas dijelaskan, namun apabila terdapat sebuah kasus mengenai hak asuh anak yang jatuh di tangan ibu yang telah murtad, sebenarnya permasalahan ini menjadi kontroversial dikalangan ulama, ada yang berpendapat bahwa wanita yang telah keluar dari agama islam tidak berhak menerima hak asuh anak dan ada yang berpendapat bahwa hal tersebut berhak karena sejatinya dia adalah ibu dari anak tersebut.

Dalam putusan perkara yang berada di Pengadilan Agama Pekanbaru mengenai esekusi putusan hakim atas gugatan hak asuh anak yang istrinya keluar dari agama islam. Pada awal mulanya duduk perkara ini disetujui oleh ketua pengadilan namun, pada saat esekusi para anak tersebut tatap kekeh memilih tinggal dengan sang ibu. Jadi hakim tersebut memutuskan dengan pertimbangan dampak psikologi sang anak, maka pemegang hak tersebut tetap berada tangan sang ibu sampai anak tersebut mumayiz.

Pendapat dari penulis buku juga menyatakan bahwa ada beberapa pasal mengenai permasalahan tersebut yang harus digali ulang atau bahkan dikaji ulang agar mendapat suatu kepastian Hukum.

KEUNGGULAN BUKU

Menurut saya keunggulan dari buku mengenai "PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK ASUH ANAK (HADHANAH) terhadap istri yang keluar dari Agama Islam" yang pertama, buku ini sudah menjelaskan dengan sangat jelas. Apalagi dengan menjelaskan secara merinci, dimulai dari pengertian Hak Asuh (Hadhanah), dasar Hukum hingga pelaksanan hadhanah diberbagai Negara Islam.

Keunggulan lainya yaitu yang kedua, penyampaian dan penulisan mengenai topik permasalahan sendiri, dibuktikan dengan kasus yang nyata dan pernah terjadi, pada buku ini diambil kasus pada Pengadilan Agama Pekanbaru. Detail mengenai surat kuasa hingga isi gugatan pun dijelaskan sangat dengan sangat merinci.

Yang ketiga yaitu, proses pelaksanan esekusi mengenai Hak Asuh Anak (hadhanah) dalam buku ini juga telah dijelaskan, dari awal mula pemanggilan pihak tergugat dan pengugat hingga pelasksanan jatuhnya keputusan. Dijelaskan juga mengapa pada kasus itu diambil keputusan seperti itu. Ini jiga bisa menjadi pembelajaran dan juga pengetahuan apabila ada kasus kasus seperti ini lagi, jadi orang lain sudah bisa terbayang akan proses yang dijalani mengenai Hak Asuh (hadhanah). Yang keempat yaitu, mengenai penulisan sumber Al Quran dan Hadits dituliskan dengan jelas dan juga mengenai dasar dasar Hukum yang dipakai dalam perkara Hak asuh anak.

KELEMAHAN BUKU

Walaupun sebenarnya buku ini mudah untuk dipahami dengan bahasa yang mudah, namun ada beberapa bab yang sedikit kurang bisa dipahami karena memang penulis menjelaskan secara detail namun poinya tidak tersampaikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun