Sedangkan didalam fikih hal ini juga dibahas di buku tersebut, Â menurut fikih para ulama sepakat bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari pada kerabat ayah. Lantas bagaimana jika anak kecil tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali? maka hakim akan menunjuk pengasuh wanita yang akan mendidiknya.
Bahwa para ulama sepakat, kalangan perempuan lebih berhak menjalankannya ketimbang kalangan laki-laki, karena mereka lebih dalam hal belas kasih, ketelatenan merawat, kesabaran dan lebih intens menjaganya, hanya saja masing masing ulama berbeda dalam menentukan urutan-urutan siapa yang lebih utama.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah dijelaskan mengenai putusnya perkawinan. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf (a) anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia.
Hak Hadhanah Isteri Non-Muslim, bagaiaman ulama memandang permasalahan tersebut? Pasti tentunya terdapat perbedaan pendapat dari ulama satu dengan yang lain. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mensyaratkan wanita pelaksana hadhanah harus Islam, tiada hak dan kewenangan wanita kafir. Akariya al-Anshary, hadhanah ibu yang kafir diterimakarena hak hadhanah itu memang miliknya. Menurut Abu Said al-Istakhri, boleh diserahkan ke orang kafir. Menurut Muhyiddin al-Nawawi, hadhanah tidak boleh diserahkan ke orang kafir karena tidak akan wujud kesejahteraan anak, ia akan merusak agamanya dan itu mudharat yang paling besar.
Menurut Islam biaya hidup anak merupakan tanggungjawab bapaknya, baik selama perkawinan berlangsung maupun setelah perceraian, pemberian upah (nafkah) ini wajib dilakukan baik diminta maupun tampa diminta. Upah ini ditanggung oleh bapak untuk anaknya, berapa besarannya? Besarnya upah dapat disesuaikan dengan kemampuan si bapak.
Namun apabila terdapat kasus bapaknya tidak mampu memberikan upah, Akan tetapi jika bapak tidak mampu, karena ia orang susah, dan ber-penghasilan rendah serta anak itu tidak mempunyai harta, sedangkan si ibu menolak untuk mengasuhnya kecuali dengan upah dan tiada seorang pun diantara kamu kerabat yang mau mengasuhnya secara mutlak. Dan biaya pemeliharaan atau rawatan itu tetap menjadi hutang suami yang tidak gugur, kecuali dengan di tunaikan.
Kalau semisal terdapat permasalahan bahwa sibapak mampu akan tetapi tidak memberikan upahnya, maka hal tersebut termasuk kedalam dosa besar. Kecuali anak laki laki tersebut telah bekerja dan berdiri sendiri sedangkan untuk anak perempuan sudah kawin.
Mengenai batas hadhanah (pengasuhan) anak berakhir ketika anak  laki-laki ataupun perempuan, tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita dewasa, mencapai tamyiz dan sudah bisa mandiri, yakni diperhitungkan dapat mengerjakan sendiri kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti makan, berpakaian, dan membersihkan diri (mandi dan lainnya). Hal ini tidak dapat nih diukur dalam hitungan angka atau umur melainkan sudah atau belum anak tersebut lepas dari keterdantungan.
Pastinya para ulama berbeda pendapat nih megenai batasan dari hadhanah antara lain:
- Menurut mazhab Hanafi, hadhanah anak laki laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari dan bagi anak perempuan berakhir apabila, telah datang masa haid pertamanya.
- Menurut Imam Malik, laki laki berakhir dengan ihtilam, sedangkan perempuan akan berakhir apabila anak perempuan tersebut melangsungkan pernikahan.
- Menurut madzhab Imam Syafii, batasanya pada usia ke 7 tahun atau mungkin 8 tahun, karena dianggap sudah berakal dan bisa memilih untuk tinggal dengan siapa.
- Menurut mazhab imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan hadhanah anak itu berakhir sampai anak itu berakhir, sampai anak tersebut berumur 7 (tujuh) tahun.
Ternyata pelaksanaan hadhanah tidak hanya ada di Indonesia saja, melainkan dibeberapa Negara Islam seperti, Mesir, Yordania, Syiria, Kuwait dan Tunisia. Mengenai orang murtad dalam pelaksanaan hadhanah, karena murtad bisa jadi salah satu alasan putusnya hubungan pernikahan.Â
Mengenai status Hukum Perkawinan Orang Murtad telah diataur dalam Undang-Undang, hal tersebut diatur hanya mengenai spesifik pada perkara murtad yang bisa menjadi alasan perceraian sesuai dengan Pasal 75 KHI (Kompilasi Hukum Islam). Putusnya Perkawinan dkarenakan murtadnya seorang istri mempunyai hak iddah selama 3 bulan dan dapat dilaksanakan pembagian harta bersama, dan hak asuh anak (hadhanah).