Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surat Terbuka untuk Ketua PSI, Haruskah Poligami Dilarang Total?

15 Desember 2018   20:28 Diperbarui: 15 Desember 2018   21:08 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua Partai Solidaritas Indonesia Grace Natalie menyebut praktik poligami menyebabkan ketidakadilan. Poligami jadi muasal ketimpangan posisi kaum perempuan dan penelantaran anak-anak.

Sebuah kesimpulan yang secara langsung menempatkan praktik ini sebagai terdakwa tunggal atas ketidakdilan yang banyak dialami oleh anak-anak dan perempuan Indonesia. "Karena itu, PSI tidak akan pernah mendukung poligami."

Sis Grace, sepertinya  anda baru melihat persoalan separo dalam, atau tak melongok lebih tinggi dan luas, sehingga gambar besar yang sebenarnya dan seharusnya terlihat, luput dari horizon pemikiran anda yang sudah lebih paham data, karena pernah bergelut dengan dunia riset.

Bukan seperti sekarang, hanya melihat satu dua warna sumbang dari satu dua dimensi terbatas,  melihat, poligami adalah langkah "menyimpang" dalam wadah lembaga perkawinan. Penyimpangan yang berujung ketidakadilan.

Sis Grace terlihat seperti melakukan simplifikasi persoalan. Bahwa pangkal kasus semua yang disebut itu berhulu pada laku poligami tadi.

Poligami sejatinya adalah bagian dari masalah, bukan biang masalah atas perilaku tak adil yang diterima para korban tersebut.

Saya ingin tak ingin mengira-ngira, bahwa Sis Grace mengabaikan beragam kasus yang terjadi,  mulai dari aborsi, human  trafficking,  buruh anak,  prostitusi anak,  suami jual istri, suami menjadikan istri sebagai kurir  narkoba dan macam2 lainnya.

Semua itu, kalau digali lebih jauh, sejatinya bermula dari rumah atau keluarga. Yang kepalanya adalah laki-laki.  Peristiwa itu bisa muncul karena "ketiadaan laki-laki atau kepala keluarga" yang mustinya mengerti dengan tanggung jawab yang mereka sandang.

Maka pada bagian ini, kita juga harus tahu bahwa bahwa kasus-kasus itu juga terjadi di pelaku monogami.

Beragam peristiwa buruk yang dialami perempuan ini, terjadi karena  laki-laki yang terdekat dengan para korban secara sengaja atau tidak telah mengabaikan tanggung jawab kodratinya sebagai kepala keluarga.

Kepala keluarga yang pada prinsip awal, wajib memberi nafkah serta mencukupi kebutuhan orang-orang yang berada di bawahnya, khususnya para perempuan serta anak-anak yang lahir dari perempuan yang jadi tangggung jawabnya  itu.

Maka, tidak fair jika  menyalahkan praktik poligami sebagai tersangka utama, atau penyebab tunggal dari kasus-kasus yang disebut, ada hal-hal lain yang juga menjadi penyebab utama, seperti faktor ekonomi.

Sebab, dalam beberapa kejadian, poligami justru berjalan normal, bahkan menjadi satu dari sedikit solusi terbatas yang bisa jadi cara untuk mengatasi masalah yang terjadi dan dialami perempuan Indonesia.

Catat, solusi terbatas.

Poin yang ingin saya tegaskan adalah, bukan poligami yg jadi penyebab semua ketimpangan itu. Semua jika ditelusuri, akan berpangkal kepada UU Perkawinan yang beberapa poin harus lebih diperrkuat, khususnya pada sisi pascaperkawinan.

Sis Grace, yang cantik,  pernahkah membaca dalam aturan UU  Perkawinan itu yang mengatur hak dan kewajiban pasangan setelah mereka bercerai? Benar, memang ada, tapi apakah ada hukuman tambahan bagi laki-laki yang mengabaikan kewajibannya pasca perceraian? Tidak ada kan,

Sebab di situ hanya tertera kewajiban saja. Lalu jika si laki-laki abai, apa konsekuensi hukumnya oleh negara? Kosong!

Padahal, masalah-masalah yang Sis Grace sebut di atas umumnya dipicu oleh tidak sampainya jangkauan pranata hukum negara kepada keadaan setelah perceraian. Ditambah, sikap dan perilaku sebagian laki-laki yang memang tidak siap dengan tanggung jawab yang harusnya dilakoni. Yang itu kadang juga bermula karena permisif dan kelonggaran dari keluarga besar untuk membiarkan peristiwa itu berlangsung.

Sis Grace, apakah tak melihat bahwa yang sebenarnya terjadi adalah abainya negara dalam memberi perlindungan terhadap korban perceraian. Negara tak mampu memastikan  bahwa si perempuan dan anak-anak korban perceraian itu tetap menerima hak-haknya dari laki-laki. Karena UU tak mengakomodir hal demikian. Juga yang namanya law enforcement, sama sekali tak berlaku.

Sehingga muncullah beragam ketidakadilan sebagai buah ketiadaan aturan dimaksud. Yang kembali harus kita sebut, karena laki-laki yang tak punya tanggung jawab yang dibiarkan bebas kawin cerai tanpa diikat aturan tegas untuk wajib dan menjalankan tanggung jawabnya terhadap anak-anaknya.

Gara-gara ketiadaan perangkat itu, laki-laki  dengan mudah tanpa merasa telah punya tanggung jawab terdahulu, seenaknya menikah lagi.

Mereka tutup mata atas hasil perbuatan yg semestinya masih jadi tanggung jawab yg melekat padanya, seperti membiayai anak-anak dari istri terdahulu.

Untuk poin ini, kita harus melihat Tien Soeharto sebagai sumber awal masalah yang mendesak suaminya mengeluarkan PP tambahan untuk PNS agar tak bisa melakukan poligami. Atau kalaupun boleh, syaratnya nyaris mustahil.

Soeharto (lebih tepatnya Tien Soeharto), beranggapan poligami adalah laku tercela. Dan PNS wajib menghindari.

Tien Soeharto tak mau tahu dengan dampak UU dan aturannya itu. Dia tak sampai kepada pemikiran apa yang harus diselamatkan setelah bubarnya sebuah perkawinan. Di sini, UU tersebut abai, karena tak berbicara tanggungjawab negara terhadap wanita dan anak-anak pascaperceraian.

Maka dalam beberapa kasus, berapa banyak PNS yang cerai dengan istri pertama untuk bisa menikah dengan istri kedua, tetap mau bertanggung jawab terhadap mantan istri pertama serta anak-anaknya? Pernahkah memeriksa keadaan tersebut? Fakta yang umum terjadi adalah, si anak kerap merasa diabaikan.

Apa yang Sis Grace suarakan sejatinya adalah wujud pukul rata dalam memandang persolan. UU itu dengan segala perubahannya justru menutup  saluran kecil yang sejatinya hanya buah dari sebuah kondisi lain yang sudah lebih dahulu ada.

Alih-alih menguatkan para korban, Sis Grace justru ikut melupakan hal yang seharusnya harus dikritik sebagai terdakwa utama. Yakni kewajiban berlaku adil dan menjamin nafkah istri dan anak, oleh pelaku poligami atau monogami sejak status perkawinan mulai disahkan oleh negara dan mengikat selamanya sampai ia mati.

Caranya? Jika seorang suami berniat menikah lagi, untuk kedua ketiga maupun keempat, maka negara harus memastikan si pelaku poligami telah memenuhi seluruh tanggung jawab dan kewajibannya terhadap keluarga yang lama.

Jika dia PNS, Gajinya langsung dipotong oleh negara. Jika dia pegawai swasta atau profesi lain, negara juga bisa mengawasi agar dia tak semena-mena dan mematuhi perjanjian setelah bercerai.

Jadi, jikapun ada yang niatnya poligami karena mampu, kuat fisik dan telah memenuhi tanggung jawabnya kepada keluarganya, jangan dihalangi. Sepanjang itu adil, yang bisa diterjemahkan sebagai mampu memenuhi yang disyaratkan negara dalam hal kebutuhan mendasar, baik selama atau sesudah tak lagi menikah.

Poligami Terbatas

Sis Grace perlu mencatat,  mental dasar laki-laki adalah berlaku poligami, mulai dari kadar rendah sampai kadar tinggi. Ini hal lumrah karena jika kadar ego yang dimiliki. Meski dalam perjalanannya, tak semua yang menjalani atau bahkan menolaknya dengan beragam alasan.

Sementara perempuan adalah monogami, kenapa karena perempuan adalah sumber kehidupan. Sehingga sifatnya menampung, tidak mengendalikan.

Dalam posisi ini, saya berdiri memilih berdiri sebagai laki-laki pendukung poligami karena juga harus membela perempuan. Dukung poligami kok demi perempuan, mana ada perempuan yang rela di madu? Pasti demikian komentar yang akan muncul.

Perempuan seperti apa yang harus dibela? Yaitu perempuan yang terpaksa cerai karena suami wafat misalnya dan tak punya cukup harta untuk menjalani tanggung jawab sebagai ibu atas anak-anaknya.

Untuk Sis Grace yang punya suami baik, mapan, dan telah dikaruniai tuhan para malaikat kecil di rumah, mungkin tak merasakan yang dialami oleh banyak janda di luaran sana yang mesti berjuang sendiri dalam membesarkan anak-anaknya. Atau janda-janda kurang beruntung yang kalau tidak dibantu, punya potensi membuat hal-hal negatif bagi masyarakat luas, seperti menjadi alat dan umpan kurir-kurir narkoba.

Untuk  para perempuan kurang beruntung ini, kepada siapa mereka bisa bersandar, jika mereka sebatang kara? Karena negara belum tentu juga mampu memenuhi dan mengetahui kebutuhan spesifik setiap individu warganya, apalagi perempuan. Sebab juga tak semua perempuan mampu tampil independen, banyak juga yang ketergantungan pada pihak lain, yang itu bisa disebabkan banyak faktor, antara lain karena pendidikan.

Sebaliknya, saya juga bukan pendukung laku poligami yang istri kedua dan ketiga lebih muda dari yang pertama. Dasarnya sama seperti ayat-ayat membolehkan poligami yang ada dalam Qur'an.

Rekan Sis Grace, yakni Bro Raja Juli Antoni tentu paham kenapa ayat dalam Qur'an yang membolehkan laki-laki menikah dua, tiga, sampai empat, itu turun.

Ayat itu membolehkan poligami bukan atas pertimbangan nafsu, tapi demi menyelamatkan anak-anak dan perempuan tua yang tak punya wali namun punya harta yang coba diambil secara tidak sah orang lain. Artinya motif awalnya yang harus diketahui, agar perilaku menyimpang atau potensi perlakuan tak adil bisa diminimalisasi.

Meski dalam beberapa kasus laku  itu mungkin terjadi karena "keistimewaan atau kelebihan energi" yang dimiliki oleh si laki-laki. Dan untuk ini poligami adalah jalan terbaik daripada zina.

Karena apa jadinya jika dia Aparat Sipil Negara (ASN) dengan kelebihan energi itu, yang terjadi adalah dia selingkuh atau jajan di luaran, yang dampaknya juga tak kalah buruk, seperti potensi mendatangkan penyakit menular ke rumah. Dan Ini gejala umum di sejumlah daerah, di mana penderita penyakit menularnya adalah ASN.

Atau jika larangan poligami ini kita kaitkan kepada ASN dalam wilayah kerja KPK, fenomena perempuan-perempuan lain kerap muncul dalam beragam OTT, yang umumnya bukan istri sah atau resmi.

Itu yang terlihat. Dan saya yakin, Sis Grace pasti banyak mendapat cerita ASN yang selingkuh, diam-diam, karena aturan melarang. Nanti jika ketahuan yang jadi korban siapa? Hampir selalu perempuan. Contoh terakhir ada pada kasus penyanyi dangdut dan Pati Polri itu.

Sis Grace, meski masyarakat Indonesia cenderung monogamis, dan kerap menjatuhkan hukuman kepada pelaku poligamis (contoh terbaik yang dr bandung dulu), namun mengampanyekan total anti-poligami itu  saya kira bukan langkah bijak.

Dan tanggapan salah seorang caleg PSI dari daerah yang tak suka dengan kebijakan DPP perlu juga didengar, karena dia pasti melihat bahwa meski bapaknya melakukan poligami, namun dia mampu menjalaninya dengan baik.

Untuk itu mari kita melakukan lagi judicial review UU Perkawinan tahun 1974 itu menjadi lebih ramah kepada perempuan. Bukan dengan menutup pintu kecil yang dimaksudkan sebagai solusi untuk laki-laki "berkebutuhan khusus" itu.

Karena jika total dilarang, itu sama saja pengebirian hak laki-laki, yang dampaknya beberapa sudah terlihat seperti cerita di atas. Sukur-sukur sih, kalau Sis Grace lolos ke Senayan nanti, perubahan lebih menyeluruh bisa dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun