Maka, tidak fair jika  menyalahkan praktik poligami sebagai tersangka utama, atau penyebab tunggal dari kasus-kasus yang disebut, ada hal-hal lain yang juga menjadi penyebab utama, seperti faktor ekonomi.
Sebab, dalam beberapa kejadian, poligami justru berjalan normal, bahkan menjadi satu dari sedikit solusi terbatas yang bisa jadi cara untuk mengatasi masalah yang terjadi dan dialami perempuan Indonesia.
Catat, solusi terbatas.
Poin yang ingin saya tegaskan adalah, bukan poligami yg jadi penyebab semua ketimpangan itu. Semua jika ditelusuri, akan berpangkal kepada UU Perkawinan yang beberapa poin harus lebih diperrkuat, khususnya pada sisi pascaperkawinan.
Sis Grace, yang cantik, Â pernahkah membaca dalam aturan UU Â Perkawinan itu yang mengatur hak dan kewajiban pasangan setelah mereka bercerai? Benar, memang ada, tapi apakah ada hukuman tambahan bagi laki-laki yang mengabaikan kewajibannya pasca perceraian? Tidak ada kan,
Sebab di situ hanya tertera kewajiban saja. Lalu jika si laki-laki abai, apa konsekuensi hukumnya oleh negara? Kosong!
Padahal, masalah-masalah yang Sis Grace sebut di atas umumnya dipicu oleh tidak sampainya jangkauan pranata hukum negara kepada keadaan setelah perceraian. Ditambah, sikap dan perilaku sebagian laki-laki yang memang tidak siap dengan tanggung jawab yang harusnya dilakoni. Yang itu kadang juga bermula karena permisif dan kelonggaran dari keluarga besar untuk membiarkan peristiwa itu berlangsung.
Sis Grace, apakah tak melihat bahwa yang sebenarnya terjadi adalah abainya negara dalam memberi perlindungan terhadap korban perceraian. Negara tak mampu memastikan  bahwa si perempuan dan anak-anak korban perceraian itu tetap menerima hak-haknya dari laki-laki. Karena UU tak mengakomodir hal demikian. Juga yang namanya law enforcement, sama sekali tak berlaku.
Sehingga muncullah beragam ketidakadilan sebagai buah ketiadaan aturan dimaksud. Yang kembali harus kita sebut, karena laki-laki yang tak punya tanggung jawab yang dibiarkan bebas kawin cerai tanpa diikat aturan tegas untuk wajib dan menjalankan tanggung jawabnya terhadap anak-anaknya.
Gara-gara ketiadaan perangkat itu, laki-laki  dengan mudah tanpa merasa telah punya tanggung jawab terdahulu, seenaknya menikah lagi.
Mereka tutup mata atas hasil perbuatan yg semestinya masih jadi tanggung jawab yg melekat padanya, seperti membiayai anak-anak dari istri terdahulu.