"Ayah, kalo kita wudhu di sungai boleh nggak langsung menceburkan seluruh badan?"
"Jangan, Nak!"
"Lho, kenapa, Yah? Kan airnya melimpah dan mengalir?"
"Nanti Kamu kelelep!"
Kebersamaan Zhafran dengan ayahnya selalu menghadirkan banyak kisah dan pelajaran. Ya, pemuda yang sebentar lagi bakal masuk kuliah itu namanya Zhafran. Dia pemuda yang baik dan suka menolong Ayah mengangkut pasir dari sungai.
Kali ini Ayah berkisah tentang bagaimana sikap dan perilaku berwudhu yang benar. Tidak hanya untuk mensucikan diri dari hadas kecil, melainkan juga demi membersihkan hati.
"Nak, nanti kalo kuliah Kamu harus serius belajar ya. Biar nanti Kamu sukses, enggak seperti Ayah yang kerjanya serabutan kayak gini."
"Ahsiyyap, Yah. Pokoknya Zhafran gak bakalan ngecewain Ayah deh!"
"O ya, satu lagi, Nak. Kamu jangan tinggalkan wudhu, ya. Sedapat mungkin anak Ayah bisa menjaga wudhu di mana pun ia berada dan sesibuk apa pun kerjaannya. Soalnya, Ayah pernah baca hadis bahwa siapa berwudhu dan menyempurnakannya,maka keluarlah dosa-dosa dari jasad bahkan dari bawah kuku-kukunya."
"Oke, Ayah. Gampang deh. Lagian hingga hari ini persediaan air kita melimpah, kan, Yah?"
"Tapi ingat ya, Nak. Sejatinya wudhu itu tidak sekadar bersuci dari hadas melainkan juga..."
"Juga apa, Yah? Ayah?"
Tiba-tiba saja raut pemuda yang tadinya sanga antusias sontak berubah menjadi mendung. Tiada angin tiada gemuruh, mendadak sang Ayah pingsan.
Sungguh hal yang aneh bagi Zhafran. Selama ini Ayah sehat-sehat saja dan tidak ada riwayat penyakit kronis. Karena di sungai sedang sepi, pemuda ini langsung menggendong ayahnya ke rumah dengan sebukit rasa sedih.
Bagaimana tidak sedih, harta terbesar Zhafran saat ini hanyalah Ayah. Sudah sejak 17 tahun yang lalu sang Ibu meninggalkannya. Sekarang, Zhafran sudah berumur 20 tahun dan rasa-rasanya ia sudah tak ingat lagi secara persis seperti apa wajah cantik sang Ibu.
*
"Om Rudy, Om, tolong ayah Saya, Om! Tadi Ayah pingsan di sungai!"
Belum sempat membuka pintu rumah yang tidak jauh dari sungai, Zhafran langsung meneriaki Om Rudy seraya meminta tolong. Ia sudah terlampau resah karena baru kali ini Ayah pingsan. Belasan tahun Zhafran ikut Ayah mengangkut pasir, Ayah belum pernah pingsan.
"Innaalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Sabar, Fran. Ayahmu telah tiada."
"Apa? Mana mungkin bisa seperti ini? Ayah....."
Bak ditimpa pohon beringin besar, hati Zhafran yang tadinya riang sekarang sudah remuk dengan kesedihan yang begitu menjulang. Pemuda yang sudah dua tahun bekerja dengan Ayah demi mengumpulkan uang daftar kuliah ini sudah tak punya siapa-siapa lagi.
*
Enam tahun berlalu sejak hari yang tragis itu, sekarang Zhafran sudah sukses. Pemuda ini sudah memiliki lahan tambang pasir sendiri. Cukup luas, tepatnya lebih dari 50 hektar. Alhasil, Zhafran pula harus mempekerjakan puluhan supir alat berat (backhoe).
Tapi, hal tersebut tiadalah mengapa baginya, karena lahan tambang yang luas itu sudah memenuhi izin dan bebas dari gangguan reklamasi.
Meski demikian, ada satu hal penting yang tiada pernah terlupa olehnya. Ya, ini tentang pesan almarmum Ayah agar Zhafran senantiasa menjaga wudhu di mana pun ia berada.
Ketika berangkat menuju area pertambangan, Zhafran berwudhu terlebih dahulu. Sejenak setelah makan siang di kantor, ia pula tak lupa berwudhu. Alhasil, kebiasaan si pemuda yang senang berwudhu ini sudah diketahui oleh seluruh pekerja tambang.
Hingga akhirnya...
Pada suatu hari yang cerah, Zhafran didatangi oleh salah satu pelanggan pasir dari luar kota. Niat bukan sembarang niat, konsumen yang sudah sejak lama berlangganan beli pasir dengan Zhafran ini berencana menjodohkan si pemuda dengan putri bungsunya.
Diketahui, sang putri saat ini bekerja sebagai dosen ilmu hadis di salah satu kampus Islam terkemuka di Indonesia.
Zahfran sebenarnya belum mengiyakan tawaran sang konsumen, tapi di sisi yang sama ia merasa tertarik. Ia pun berpikir dalam hati, tiada salahnya aku berkenalan. Siapa tahu jodoh!
*
Dari kejauhan, terdengar alunan shalawat menggema dengan indahnya, juga menggetarkan hati yang sedang sendu.
Jalanan di sekitar komplek yang biasanya sepi, sekarang jadi ramai dengan ratusan umat manusia. Ada yang membawa hiasan bunga, produk kecantikan, hingga perhiasan.
Ya, hari ini adalah hari bahagianya Zhafran karena sebentar lagi ia akan segera lamaran setelah tiga bulan berkenalan.
Tiada terduga, ternyata kisah yang ia perankan begitu indah karena setelah berkenalan dengan sang putri konsumen tambang pasir, akhirnya keduanya cocok dan sebentar lagi bakal berjodoh.
Pada momentum lamaran tersebut, dimusyawarahkanlah bahwa acara ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan bakal digelar dua minggu kemudian.
Zahfran pun bahagia dan rasanya tidak sabar untuk segera menikah. Terang saja, dalam kurun waktu hampir tujuh tahun ini ia hanya hidup seorang diri. Bahkan, Zhafran cukup rajin menginap di kantor karena dirinya bisa mengusir sepi sekaligus lebih dekat dengan para pekerja.
Dirinya merasa sangat bersyukur setelah berkenalan dengan sang putri bungsu yang bakal segera menjadi istrinya.
*
"Papa, aku izin pergi sebentar ya, Pa. Aku mau mengunjungi kantornya Mas Zhafran sembari berdiskusi tentang baju pernikahan kita. Tadi aku telpon Mas, nomornya enggak aktif, Pa."
"O gitu. Okelah. Tapi barengan sama Papa saja ya, Nak."
Tiada terencana, tiba-tiba saja sang putri bungsu ingin mengunjungi Zhafran sembari berdiskusi terkait kebutuhan pernikahan mereka.
Sebenarnya itu adalah kali pertama putri ke kantor utama penambangan pasir yang dipimpin oleh Zhafran. Karena belum terlalu lama kenal, putri juga penasaran dengan apa-apa saja kegiatan calon suaminya di kantor.
*
Hari itu cukup panas, bahkan lebih panas dari biasanya. Zhafran yang sedang sibuk di kantor berencana untuk kembali mengambil air wudhu karena sebelumnya ia sempat ketiduran di ruang kerja.
Di dekat area kantor ada satu keran air yang menjadi favorit Zhafran dalam berwudhu. Di sana saluran pipa air tak pernah macet, dan airnya juga bersih. Berbeda dengan keran di dekat area penambangan pasir. Terkadang airnya agak keruh karena aktivitas pengerukan pasir.
Namun, petaka terjadi. Saat pemuda ini berjalan menuju tempat wudhu favoritnya, tiba-tiba saja ia melihat seorang pekerja tambang yang tidak sengaja mematahkan keran. Keran tersebut patah dan dalam beberapa waktu saja airnya langsung mengering.
"Hei, Kamu! Apa yang Kamu lakukan!"
Zhafran emosi. Selama ini ia tidak pernah sekesal itu. Bagaimana tidak kesal, keran air tersebut sudah sejak lama didesain untuk memudahkan bos tambang ini dalam menjaga wudhu.
"Mohon maaf, Pak. Tadi saya ingin sekali kumur-kumur dan cuci muka. Soalnya cuaca hari ini begitu panas, Pak. Saya tadi sudah memeriksa keran air di area pertambangan namun di sana sedang kering, Pak. Sekali lagi mohon maaf, Pak. Saya terpeleset dan tidak sengaja badan ini menimpa keran."
"Ah. Keran air lain mungkin boleh saja Kamu patahkan, tapi tidak untuk keran yang ini. Seharusnya Kamu izin dulu dengan Saya untuk menggunakannya."
"Mohon maaf, Pak. Saya pekerja baru di sini."
Sang pekerja itu terus menunduk. Ia tak kuasa menatap wajah bos besar yang sudah terlanjur emosi. Barang sudah terjadi, tiada dihindari. Bahkan sesal pun rasanya belum mampu menghapus segenap emosi.
"Sudah, lah. Kamu dipecat! Kesalahanmu tak termaafkan! Kamu telah membuat Saya hari ini tidak bisa menjaga wudhu."
Tidak hanya suara mulut, ternyata tangan bos besar ini juga ikut mendorong sang pekerja hingga tersungkur. Emosinya benar-benar sudah menjulang.
"Tapi, Pak? Tolong jangan pecat Saya, Pak. Saya mohon..."
*
Dari sejak kisah keributan itu bermula, ada seorang gadis yang mengamati tingkah Zahfran. Gadis yang awalnya ceria itu seketika langsung menangis seraya memeluk Ayah tercintanya.
Dia tak menyangka sikap Zhafran yang selama ini begitu baik bisa berubah hanya gara-gara hal sepele seperti itu. Pun demikian dengan sang Ayah. Konsumen langganan Zhafran ini juga kaget atas tingkahnya. Zhafran memang rajin berwudhu, tapi sekarang malah terlihat sok suci.
"Mas, dengan berat hati kuucapkan dengan terang, pernikahan kita batal!"
"Lho, apa salahku, Sayang? Aku cuma tidak terima dengan sikap Bapak Tua ini yang merusak tempat wudhu kesayanganku."
"Kamu salah besar, Mas. Wudhu-mu juga salah sepenuhnya. Cuma kaki dan tanganmu yang basah, dan hanya mukamu yang terbasuh."
"Maksudmu apa, Sayang?"
"Sudah, Mas. Aku harap Kamu bisa segera berubah dan menemukan gadis yang jauh lebih baik dariku."
Dengan wajah yang mendung, sang putri bungsu bersama papanya pergi meninggalkan Zhafran. Mungkin perpisahan itu adalah yang terbaik bagi keduanya.
*
"Bos, Bos. Sudah sejauh ini berkisah, ternyata Kamu salah memahami pesan Ayahmu," terang pekerja tua sembari berusaha untuk berdiri. Sang pekerja pun memberanikan diri untuk menatap Zhafran.
"Hahh! Ternyata ini Om Rudy. Bagaimana bisa, Om? Maafkan Zhafran, Om. Semua ini terjadi begitu saja."
"Sudah, Fran. Kejadian ini adalah pembelajaran besar bagimu. Ketahuilah, komitmenmu untuk menjaga wudhu setiap saat itu benar-benar mulia. Tapi, Kamu harus ingat bahwa wudhu tidak hanya membersihkan badan, melainkan juga hatimu."
Akhirnya, ungkapan almarhum Ayah waktu itu sudah menemukan titik terang. Zhafran tersadar atas perbuatannya. Selama ini ternyata dirinya hanya pamer kesucian dan ingin dianggap baik oleh semua orang.
Wajahnya selalu basah dengan air wudhu, tapi hatinya semakin kering karena riya.
"Ya Allah, Ayah, izinkan aku memulainya dari awal!"
***
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H