Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ayah Tak Mau Berhenti Menyadap Aren

12 November 2020   16:37 Diperbarui: 12 November 2020   16:38 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon Aren. Dok. Ozy V. Alandika

Ada yang kikuk dari wajah Ayah, tapi aku enggan cari tahu. Keningnya yang sudah bersih dari jerawat batu jadi mengernyut layaknya kain kusut yang ditumpuk dalam baskom. Itu absurd. Padahal mentari masih dikandung langit. Fajar juga belum luput dari peraduan kelam.

Kulihat dari dekat, entah mengapa hasrat Ayah mulai meredup. Kupikir tak ada yang salah dengan sarapan hari ini. Ada sambal lecet yang dibuat Ibu dengan cabai rawit keriting. Ada pula jengkol muda dan pucuk pepaya. Ayah tidak mungkin tidak suka.

"Ayah, ada uang jajan untukku?"

"Tidak ada, Nak. Tolong ambilkan Ayah wajan dan taruhkan ke kelenteng, ya."

Aku ambyar. Biasanya aku tak pernah seberani ini berucap kepada Ayah. Jangankan mau minta tambahan uang jajan, mau ajak Ayah untuk jalan-jalan saja aku tak berani. Ayahku sibuk.

Meski begitu, perasaanku, produksi gula aren kami cukup banyak dan lancar. Makanya aku heran, biasanya Ayah pasti memberiku uang jajan lima sampai sepuluh ribuan.

"Sudah, Ayah."

"Ini, Nak. Sekolahnya yang semangat, ya. Perhatikan penjelasan gurumu," ucap Ayahku sembari menyelipkan uang senilai dua puluh ribuan ke kantong bajuku.

Aduh...duh...duh. Alhamdulillah, sahut batinku. Ini rezeki yang tertebak. Aku tak mengira Ayah akan bersandiwara dan membuatku berprasangka. Dua puluh ribu untuk anak SMP sepertiku, sungguh pemberian ini sangat jarang sampai ke kantongku. Tapi, wajah Ayah itu. Sepertinya...Ah, sudahlah. Aku tertipu.

"Ayah. Hati-hati, ya. Nanti siang setelah pulang sekolah, aku akan ikut ke ladang untuk jaga api. Ayah ceritakan kepadaku tentang Legenda Muning Raib, ya."

Ayah pun tersenyum gemulai sesaat. Aku pun segera pergi dan buru-buru memakai sepatu sekolah. Pukul 06.15, biasanya lima menit lagi angkot akan segera datang.

Kalau aku ketinggalan, pasti aku akan dimarahi Ibu. Belum lagi, aku harus berjalan kaki sampai terminal Simpang Nangka. Di sini, di desaku, Air Meles Atas, angkutan sekolah hanya ada satu yang lewat. Makanya aku harus siap dan bersegera.

***

"Mang, maaf ini aku mau mengundang di tengah jalan. Kurang sopan sebenarnya. Tapi, karena kebetulan bertemu, aku mau menyampaikan bahwa nanti habis Magrib kalau tidak sibuk, tolong datang ke rumah, ya, Mang. Kami ada acara syukuran sekaligus sedekah ruwah."

Belum sampai di ladang, Ayah disetop oleh pria yang tinggal di seberang jalan. Ada hajat yang ingin tersampaikan. Dia bersama keluarga ingin menggelar syukuran sederhana dengan mengundang warga desa dari rumah ke rumah.

"Insya Allah, ya. Nanti kalau gula aren Mamang cepat kering, Mamang datang. Di rumah seberang kan, acaranya?"

"Iya, Mang. Terima kasih."

Kelenteng yang Ayah dorong lajunya makin cepat. Ayah bergegas ingin langsung sampai di ladang, ingin langsung asah parang, juga menyadap aren sebelum matahari terlalu terang.

Tidak jauh. Jarak antara rumah dengan ladang Ayah hanya sekitar lima ratus meter. Sepuluh sampai lima belas menit, Ayah pasti sudah sampai.

***

Matahari mulai tergelincir dan bayangku mulai memendek. Ya, siang itu aku baru saja sampai di rumah. Beruntung ojek langganan rela mengantarkanku duluan. Aku ingin cepat-cepat makan siang, juga tak sabar mendengar kisah Legenda Muning Raib.

"Bu, masih adakah sambal lecet yang pagi tadi?"

"Masih, Nak. Ibu juga sempat goreng ikan asin rebus tadi. Kamu ganti baju dulu, cuci tangan, baru kemudian buka tudung saji."

"Oke. Siap, Bu. Sudah makan nanti, aku mau segera ke ladang, ya, Bu."

Ibuku tersenyum. Setelah waktu Zuhur berlalu, biasanya Ibu langsung pergi ke kebun dekat rumah. Beliau sedang ada tanaman cabai rawit yang harus diurus. Tahu sendiri, cabai rawit kalau tak sering dirawat, daunnya suka jadi keriting dan malas berbuah.

Usai melahap dua butir ikan asin rebus bersama sambal lecet, aku langsung bergegas menuju ke ladang. Aku tak sabar untuk bertemu Ayah. Bukan untuk minta uang jajan, bukan! Aku ingin mendengar kisah Legenda Muning Raib.

***

Di sebuah pondok yang rimpuh, tampak ada asap bergumul memenuhi atap. Terlihat dari dekat, bumbung-bumbung tersusun rapi sembari menatap air nira yang mulai memerah. Sesaat sebelum air nira lebih mengental, tiba-tiba saja ada tamu tak dikenal menghampiri.

"Selamat siang, Pak. Boleh kami masuk?" sahut pria berkacamata hitam sembari meletakkan kaki bersepatu pantofel-nya di depan pintu. Dia terus mengibas-ngibas wajah sembari mengusik pelupuk mata yang mulai perih terkena asap.

"Silahkan, Tuan," jawab Ayah dengan setengah menyilakan. Ayah sedang bersiap untuk mengangkat wajan. Air nira sudah semakin kental dan berwarna merah pekat. Gula aren sudah siap diangkat dari tungku api.

"Maaf, Tuan. Sambutan saya kurang sopan. Kebetulan gula aren ini harus segera saya angkat, nanti gagal kering. O, ya. Ada apa, Tuan?"

"Siap, Pak. Tidaklah mengapa. Perkenalkan, nama saya Jaya, dan ini para karyawan saya. Kami datang dari Tangerang, rencananya ingin membangun bisnis properti di Kota Curup ini."

"Wah, mantap, Tuan. Saya mengapresiasi kedatangan dan keinginan mulia Tuan. Siapa tahu Kota Idaman ini bisa semakin maju."

***

"Ayah! Wah, sudah diangkat ya gulanya, aku telat, ya, Yah?"

"Hehehe. Iya, Nak. Tak mengapa. Kamu tolong cucikan tempurung untuk wadah gula aren, ya. Sebentar lagi gulanya siap dicetak."

Aku telat. Padahal aku sudah pulang sekolah tepat pada waktunya. Makanku juga cepat dan lahap, tapi ternyata aku kalah cepat dari gula aren. Dan, mereka siapa? Tegasku membatin.

"Wah, ini anak Bapak, ya. Sekarang sudah kelas berapa, Dik?"

"Kelas 2 SMP, Om," jawabku dengan malu-malu. Aku tidak kenal dengan mereka para tamu Ayah. Jarang-jarang ada orang yang rela bertamu, bahkan sampai mengunjungi ladang kami. Ini tidak biasa.

"O, ya. Begini, Pak. Maksud kedatangan kami di sini sebenarnya ingin membeli 3 kaveling ladang aren Bapak. Kami ingin membangun ruko untuk bisnis properti, kira-kira seminggu lagi."

"Maaf, Tuan. Tanah ini tidak saya jual."

Aku bergumam dalam hati sembari menghitung. Tiga kaveling ladang aren, lah, jelas itu adalah semua lahan yang keluarga kami miliki. Tidak mungkin, lah. Mana mungkin aku rela ladang aren ini dijual.

"Tenang, Pak. Kami tidak akan bayar murah, kok. Ini ada uang dua ratus lima puluh juta saya bayar di muka. Besok, lima ratus juta lagi akan saya antar ke rumah Bapak."

"Maaf. Tuan. Tanah ini tidak saya jual. Saya ingin terus menyadap aren. Kalau Tuan mau cari lahan, coba cari di tempat lain."

Hore! Sahutku dalam hati. Sedangkan para tamu yang tak kukenal tadi pergi meninggalkan ladang sembari bersungut-sungut. Aku belum pernah melihat seberapa banyak uang senilai tujuh ratus lima puluh juta. Tapi, ribuan pohon aren selalu membuat aku merasa kaya.

"Ayah, mengapa kok orang tadi ingin beli ladang kita!"

"Biasa, Nak. Bisnis. Mereka mau buka toko besar di sini."

***

Petang hari pun tiba. Gula aren yang tadinya dituangkan dalam tempurung kelapa, sekarang sudah kering. Ayah pun bersiap untuk kembali mengasah parang dan menyadap air nira.

"Ayah, tidak jadi ya Ayah berkisah tentang legenda Muning Raib?"

"Nak, tadi Ayah ada undangan acara sedekah ruwah di seberang rumah kita. Besok saja ya Ayah ceritanya. Nanti kamu ikut bersama Ayah saja ke acara, siapa tahu ada daging ayam."

"Asik. Siap, Yah."

Aku bersemangat. Rasa penasaranku tentang legenda Muning Raib segera berganti dengan rasa tidak sabar mendatangi acara sedekah ruwah. Seingatku, biasanya di acara tersebut banyak disajikan kue, buah-buahan, hingga daging ayam di prasmanan.

***

Langit semakin jingga sembari mengundang gelap malam untuk bertamu. Aku dan Ayah sudah pulang, sudah mandi, dan kami duduk santai di ruang keluarga. Sembari duduk, terbesit di telingaku suara mikrofon. Ya, acara sedekah ruwah akan segera dimulai.

"Nak, mana kopiahmu, kita berangkat sekarang saja, ya."

Aku bergegas mengambil kopiah hitam yang tergantung manis di dekat meja belajarku. Aku segera bercermin, menyisir rambut, sedangkan Ayah menunggu di teras rumah.

Berselang beberapa detik saja, aku sudah berlari dan sampai di teras. Kami pun berangkat dan berpamitan kepada Ibu. Dekat, dekat sekali tempat acaranya. Aku dan Ayah hanya perlu menyeberang. Kira-kira seratus meter jaraknya.

Sesampainya di tempat acara, aku pun langsung duduk bersama Ayah di tenda utama. Buku saku surat Yasin sudah kupegang, dan halaman pertama surat sudah Ayah lipatkan untukku.

Ya, Ayahku sudah hafal surat Yasin. Jadi, beliau santai saja. Aku pun begitu. Walaupun belum hafal seluruh ayatnya, setidaknya aku sudah sering menghadiri acara sedekah ruwah, bahkan dari SD.

Sependektahuku, sedekah ruwah tidak memakan waktu lama. Acaranya paling-paling hanya sambutan, baca Yasin, Tahlil, dan Doa, serta ditutup dengan kegiatan makan bersama. Aku hanya berdoa, semoga sambutan dari Pak Kades tidak panjang lebar.

***

Kata "Aamiin" mengakhiri prosesi sedekah ruwah. Aku masih semangat, dan sungguh, aku belum mengantuk. Waktu Isya masih setengah jam lagi, sedangkan kami sudah bersiap untuk makan bersama.

Tapi, sajian kali ini tidak terpajang di prasmanan. Tuan rumah sudah menyiapkan hidangan, di mana porsi masing-masing hidangan adalah 5-6 orang dalam dua sesi. Beruntung aku dan Ayah adalah laki-laki. Biasanya kaum pria disilakan makan duluan.

"Ayah, ada gulai lema pakai ikan, Yah?"

"Nah, itu ikan nila sepertinya, Nak."

"Aku makan, ya, Yah. Ayah mau?"

"Ayah sedikit saja, Nak. Ayah takut asam urat kambuh."

Di sepiring nasiku ada sepotong ayam goreng, mi putih, gulai lema, sambal, dan kerupuk. Aku semakin merasa kelaparan. Terang saja, perutku terakhir terisi siang tadi.

***

"Cek...cek...cek. Tes...tes...satu...dua...tes. Para hadirin tamu undangan yang berbahagia. Terima kasih atas kehadirannya. Mohon maaf mengganggu waktu minum kopinya. Izinkanlah saudara jauh saya, Pak Jaya yang ingin membuka bisnis di desa kita."

Lha, aku tersentak. Ketika kuperhatikan sumber suara, ternyata tamu yang tadi sampai ke ladang kami muncul lagi. Kembali kulihat Ayah, kemudian wajahnya mengernyut. Segelas kopi yang dipegang Ayah batal diseruput.

"Salam sehat, rekan-rekan semua. Perkenalkan, nama saya adalah Jaya, asal dari Tangerang, dan kehadiran saya di sini adalah untuk membuka bisnis properti."

Semua tamu undangan pun terdiam. Wajah mereka yang mayoritasnya adalah petani sayuran dan gula aren semakin berbinar. Mungkin, ada kabar baik bagi mereka.

"Begini, ya, hadirin semua. Saya, tadi siang sudah mendatangi sebuah ladang aren di dekat kuburan sana. Kira-kira ada 3 kaveling, dan saya berniat membelinya seharga tujuh ratus lima puluh juta."

"Wah. Uang apa uang. Sebanyak itu! Selamat, Mang. Selamat! Mamang jadi orang kaya sebentar lagi," tutur beberapa tamu undangan kepada Ayahku.

Mereka langsung sadar bahwa ladang aren yang dimaksud adalah ladang punya Ayah. Aku kesal, berani-beraninya orang aneh itu berbicara di muka umum. Padahal sudah jelas, siang tadi Ayahku menolak menjual ladang kami.

"Tidak. Saya tidak akan menjual ladang aren tersebut," teriak Ayahku seraya berdiri.

"Tenang, Pak. Saya naikkan harganya. Satu milyar, bagaimana?"

"Tidak. Saya tidak akan menjual ladang aren tersebut," tegas Ayahku sekali lagi.

"Lho, mengapa, Mang. Jual saja, Mamang akan kaya," sahut para tetangga sembari merayu Ayahku.

Sesaat, Ayahku langsung berdiri, berjalan menuju sumber suara, sembari mengambil mikrofon. Aku duga, sepertinya Ayah pendiamku akan banyak berkata-kata.

"Hadirin yang saya hormati. Saya tegaskan, saya tidak akan menjual ladang aren. Kalian tahu, kan? Ladang tersebut sangat penting dalam menunjang kehidupan keluarga kami. Tidak hanya kami, bahkan sebagian dari kalian juga begitu. Di ladang aren tersebut ada pohon johar, kalian kan yang suka membelinya dariku?"

"Di ladang aren tersebut ada pohon kemiri, kalian kan yang suka memungutnya dariku? Di ladang aren tersebut ada rumput, kalian kan yang suka mengarit di sana? Dan, coba kita pahami. Kalaupun ada bisnis di sini, di desa ini, bagaimana mungkin eksistensinya akan semakin cerah di tengah sepi. Apakah tidak lebih baik membuka ruko di pasar atau tempat keramaian lainnya? Terakhir. Saya tak mau berhenti menyadap aren. Sekian."

Ayah! Sahutku dengan bangga dalam batin. Aku berdiri. Aku bertepuk tangan tanpa henti. Hadirin yang datang ikut lega. Mereka juga bertepuk tangan. Mereka semua sadar, bahwa Ayahku tak mau berhenti menyadap aren. Aku bahagia, besok akan kutagih agar ayah bercerita tentang legenda Muning Raib.

*** Tamat.

*Bumbung adalah bambu yang biasanya digunakan sebagai wadah untuk menampung air nira. Mamang adalah panggilan yang berarti Paman. Panggilan ini biasanya akrab diucapkan warga Curup.
*Muning Raib (Muning telah Menghilang) adalah salah satu legenda Suku Rejang (Curup, Bengkulu) yang berkisah tentang seorang pemuda yang hilang di Bukit/Gunung Kaba.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun