Ayah pun tersenyum gemulai sesaat. Aku pun segera pergi dan buru-buru memakai sepatu sekolah. Pukul 06.15, biasanya lima menit lagi angkot akan segera datang.
Kalau aku ketinggalan, pasti aku akan dimarahi Ibu. Belum lagi, aku harus berjalan kaki sampai terminal Simpang Nangka. Di sini, di desaku, Air Meles Atas, angkutan sekolah hanya ada satu yang lewat. Makanya aku harus siap dan bersegera.
***
"Mang, maaf ini aku mau mengundang di tengah jalan. Kurang sopan sebenarnya. Tapi, karena kebetulan bertemu, aku mau menyampaikan bahwa nanti habis Magrib kalau tidak sibuk, tolong datang ke rumah, ya, Mang. Kami ada acara syukuran sekaligus sedekah ruwah."
Belum sampai di ladang, Ayah disetop oleh pria yang tinggal di seberang jalan. Ada hajat yang ingin tersampaikan. Dia bersama keluarga ingin menggelar syukuran sederhana dengan mengundang warga desa dari rumah ke rumah.
"Insya Allah, ya. Nanti kalau gula aren Mamang cepat kering, Mamang datang. Di rumah seberang kan, acaranya?"
"Iya, Mang. Terima kasih."
Kelenteng yang Ayah dorong lajunya makin cepat. Ayah bergegas ingin langsung sampai di ladang, ingin langsung asah parang, juga menyadap aren sebelum matahari terlalu terang.
Tidak jauh. Jarak antara rumah dengan ladang Ayah hanya sekitar lima ratus meter. Sepuluh sampai lima belas menit, Ayah pasti sudah sampai.
***
Matahari mulai tergelincir dan bayangku mulai memendek. Ya, siang itu aku baru saja sampai di rumah. Beruntung ojek langganan rela mengantarkanku duluan. Aku ingin cepat-cepat makan siang, juga tak sabar mendengar kisah Legenda Muning Raib.