"Bu, masih adakah sambal lecet yang pagi tadi?"
"Masih, Nak. Ibu juga sempat goreng ikan asin rebus tadi. Kamu ganti baju dulu, cuci tangan, baru kemudian buka tudung saji."
"Oke. Siap, Bu. Sudah makan nanti, aku mau segera ke ladang, ya, Bu."
Ibuku tersenyum. Setelah waktu Zuhur berlalu, biasanya Ibu langsung pergi ke kebun dekat rumah. Beliau sedang ada tanaman cabai rawit yang harus diurus. Tahu sendiri, cabai rawit kalau tak sering dirawat, daunnya suka jadi keriting dan malas berbuah.
Usai melahap dua butir ikan asin rebus bersama sambal lecet, aku langsung bergegas menuju ke ladang. Aku tak sabar untuk bertemu Ayah. Bukan untuk minta uang jajan, bukan! Aku ingin mendengar kisah Legenda Muning Raib.
***
Di sebuah pondok yang rimpuh, tampak ada asap bergumul memenuhi atap. Terlihat dari dekat, bumbung-bumbung tersusun rapi sembari menatap air nira yang mulai memerah. Sesaat sebelum air nira lebih mengental, tiba-tiba saja ada tamu tak dikenal menghampiri.
"Selamat siang, Pak. Boleh kami masuk?" sahut pria berkacamata hitam sembari meletakkan kaki bersepatu pantofel-nya di depan pintu. Dia terus mengibas-ngibas wajah sembari mengusik pelupuk mata yang mulai perih terkena asap.
"Silahkan, Tuan," jawab Ayah dengan setengah menyilakan. Ayah sedang bersiap untuk mengangkat wajan. Air nira sudah semakin kental dan berwarna merah pekat. Gula aren sudah siap diangkat dari tungku api.
"Maaf, Tuan. Sambutan saya kurang sopan. Kebetulan gula aren ini harus segera saya angkat, nanti gagal kering. O, ya. Ada apa, Tuan?"
"Siap, Pak. Tidaklah mengapa. Perkenalkan, nama saya Jaya, dan ini para karyawan saya. Kami datang dari Tangerang, rencananya ingin membangun bisnis properti di Kota Curup ini."