Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ayah Tak Mau Berhenti Menyadap Aren

12 November 2020   16:37 Diperbarui: 12 November 2020   16:38 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon Aren. Dok. Ozy V. Alandika

Mereka langsung sadar bahwa ladang aren yang dimaksud adalah ladang punya Ayah. Aku kesal, berani-beraninya orang aneh itu berbicara di muka umum. Padahal sudah jelas, siang tadi Ayahku menolak menjual ladang kami.

"Tidak. Saya tidak akan menjual ladang aren tersebut," teriak Ayahku seraya berdiri.

"Tenang, Pak. Saya naikkan harganya. Satu milyar, bagaimana?"

"Tidak. Saya tidak akan menjual ladang aren tersebut," tegas Ayahku sekali lagi.

"Lho, mengapa, Mang. Jual saja, Mamang akan kaya," sahut para tetangga sembari merayu Ayahku.

Sesaat, Ayahku langsung berdiri, berjalan menuju sumber suara, sembari mengambil mikrofon. Aku duga, sepertinya Ayah pendiamku akan banyak berkata-kata.

"Hadirin yang saya hormati. Saya tegaskan, saya tidak akan menjual ladang aren. Kalian tahu, kan? Ladang tersebut sangat penting dalam menunjang kehidupan keluarga kami. Tidak hanya kami, bahkan sebagian dari kalian juga begitu. Di ladang aren tersebut ada pohon johar, kalian kan yang suka membelinya dariku?"

"Di ladang aren tersebut ada pohon kemiri, kalian kan yang suka memungutnya dariku? Di ladang aren tersebut ada rumput, kalian kan yang suka mengarit di sana? Dan, coba kita pahami. Kalaupun ada bisnis di sini, di desa ini, bagaimana mungkin eksistensinya akan semakin cerah di tengah sepi. Apakah tidak lebih baik membuka ruko di pasar atau tempat keramaian lainnya? Terakhir. Saya tak mau berhenti menyadap aren. Sekian."

Ayah! Sahutku dengan bangga dalam batin. Aku berdiri. Aku bertepuk tangan tanpa henti. Hadirin yang datang ikut lega. Mereka juga bertepuk tangan. Mereka semua sadar, bahwa Ayahku tak mau berhenti menyadap aren. Aku bahagia, besok akan kutagih agar ayah bercerita tentang legenda Muning Raib.

*** Tamat.

*Bumbung adalah bambu yang biasanya digunakan sebagai wadah untuk menampung air nira. Mamang adalah panggilan yang berarti Paman. Panggilan ini biasanya akrab diucapkan warga Curup.
*Muning Raib (Muning telah Menghilang) adalah salah satu legenda Suku Rejang (Curup, Bengkulu) yang berkisah tentang seorang pemuda yang hilang di Bukit/Gunung Kaba.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun