Dalam 1 bulan, kita totalkan saja penggunaan kuota internet untuk 1 anak adalah 10 GB. Harga kuota 10 GB di salah satu provider internet adalah Rp73.000. Nah, bagaimana bila anak-anak yang bersekolah di sebuah keluarga ada 3-4 orang?
1 anak SD, 1 anak SMP, 1 anak SMA dan 1 anak sedang kuliah. Kalau kita kalikan 73.000 dengan 4 orang anak, maka orangtua harus mengeluarkan uang tambah sebesar Rp292.000/bulan. Ini di luar jajan anak beli bakso, sate dan es cream, kan?
Barangkali, bagi anak-anak yang selama ini sering nonton Youtube, sering rusuh di Twitter, hingga sering update story di Instagram, kuota mereka tak terbatas karena sudah ada WiFi di rumah.
Tapi, bagaimana dengan nasib orangtua yang tadi saat masak telur saja sudah dipotong-potong hingga 6 bagian? Sedihlah kita, prihatin juga. Maka dari itulah, keluh kesah orangtua terhadap belajar online tidak pernah putus berkeliaran di media-media online.
Bahkan, kenyataan yang terjadi hari ini malah lebih pahit lagi daripada hitung-hitungan di atas tadi. Semalam, saya sempat menanyai salah seorang murid SMA yang bersekolah di SMA Favorit.
Dia seorang perempuan, punya 1 orang adik yang tahun ini baru masuk SMA, dan 1 kakak yang sedang kuliah di luar provinsi.
Karena murid perempuan ini jauh dari sekolah, ia pun mengontrak di desa dekat sekolah. Adiknya juga demikian. Masing-masing biaya kontrakan mereka adalah 4,5 juta dan 5 juta.
Dia menuturkan, saat belajar online, sebenarnya kuota yang digunakan tidaklah sampai 10GB/bulan. Tapi, karena untuk buat tugas diperlukan jelajah Google pula, akhirnya dia membeli kuota 32GB/bulan.
Bisa kita bayangkan! Sudah ngontrak, butuh kuota internet besar, kemudian punya 2 saudara kandung yang juga masih sekolah. Dan, setelah saya tanyakan lebih lanjut, ternyata orangtuanya hanya berprofesi sebagai agen kopi sekaligus petani sederhana saja.
Sungguh hebat orangtuanya bisa menyekolahkan 3 anak sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Biayanya pun sudah cukup memusingkan kepala.