Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menebak Eksistensi Guru Penggerak di Tengah Kegelisahan Guru Honorer dan PPPK

9 Juli 2020   17:15 Diperbarui: 9 Juli 2020   17:12 2814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diolah dari beritasatu.com dan sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id

Si agen teladan dan si obor perubahan, inilah dua sematan yang direkatkan Kemendikbud kepada para tenaga pendidik yang nantinya mendaftarkan diri untuk bergabung dalam program kebijakan Merdeka Belajar jilid V "Guru Penggerak."

Guru penggerak adalah guru yang disiapkan dan diberikan pelatihan secara khusus untuk mengejar transformasi pendidikan.

Guru penggerak adalah mereka yang memiliki kompetensi yang mumpuni dalam bidang pedagogik, kepribadian, sosial, profesional serta mampu menerbitkan profil pelajar Pancasila.

Guru penggerak adalah guru yang memiliki kemauan untuk melakukan perubahan dan memberi dampak yang baik bagi guru lainnya.

Baik guru PNS atau guru honorer, keduanya memiliki hak yang sama dan akan diprioritaskan untuk menjadi generasi baru pemimpin pendidikan.

Inilah berbagai penjabaran sekaligus alasan mengapa guru penggerak disebut sebagai agen teladan dan obor perubahan.

Ilustrasi guru penggerak. https://sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id
Ilustrasi guru penggerak. https://sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id
Jika untaian harapan ini benar-benar bisa terwujud sepenuhnya, maka transformasi pendidikan akan menjadi sebuah keniscayaan. Hanya saja, mungkinkah harapan-harapan indah ini dapat terwujud?

Sayangnya das sein di lapangan tidak semanis harapan-harapan indah pendidikan.

Dari dulu hingga sekarang, para tenaga pendidik masih sering diterpa oleh angin kegelisahan. Angin itu berhembus kencang menggusur kesejahteraan, dan sekarang terus berhembus lagi dengan memunculkan ketidakjelasan karier.

Ada apa? Apa yang salah dengan kesejahteraan?

Tentu saja salah. Lihatlah berapa gaji guru honorer di sekolah-sekolah negeri. Saya sendiri saat mengajar sebagai guru honorer di sekolah negeri nomor satu se-kabupaten hanya digaji Rp300.000. Teman saya? Malahan cuma dapat Rp200.000 saja.

Ada apa lagi? Apa yang tidak jelas dengan kariernya tenaga pendidik?

Tentu saja tidak jelas. Lihatnya keadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) hari ini. Setelah 1,5 tahun lulus tes, nasib mereka masih terombang-ambing menanti NIP.

Menurut BKN, alasan terkini mengapa nasib PPPK belum jelas yaitu Perpres gaji bertentangan dengan beberapa peraturan pemerintah, salah satunya PP 19/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sederhananya, anggaran untuk penggajian PPPK masih bermasalah.

Selain itu, jalan karier guru-guru honorer juga belum jelas hingga hari ini. Kalau dulu setiap guru honorer punya kesempatan untuk diangkat menjadi PNS berdasarkan lamanya pengalaman kerja, tapi sekarang jalan yang diberikan oleh pemerintah adalah dengan mengikuti tes CPNS.

Saat kita menimbang perekrutan guru dari sisi kompetensi, barangkali tes CPNS bisalah dianggap bahwa pemerintah mengutamakan kualitas. Tapi, apakah guru honorer punya peluang yang besar untuk lulus tes?

Nyatanya, untuk hari ini peluang tersebut sudah dipersempit seiring mulai ramainya lulusan-lulusan PPG (Pendidikan Profesi Guru). Lulusan PPG adalah mereka yang punya sertifikat pendidik dan telah mendapat cap sebagai pendidik profesional menurut UU.

Artinya, saat guru honorer dan lulusan PPG sama-sama ikut tes CPNS, maka peluang lulusan PPG untuk jadi PNS lebih besar. Terang saja, secara administratif lulusan PPG lebih unggul.

Lalu, mengapa guru honorer tidak ikut kuliah PPG saja? Sebenarnya itu solusi yang bagus. Tapi, sebagai guru honorer yang gajinya kadang tidak sampai setengah juta, apakah mereka sanggup kuliah PPG yang biaya per semesternya nyaris 10 juta rupiah?

Jadi berat, kan? Dari sinilah kemudian saya punya anggapan bahwa ternyata hanya orang kaya saja yang mampu menjadi guru PNS. Secara, sertifikat pendidik itu mahal, bro!

Baca di sini: Sertifikat Pendidik Mahal, Apa Hanya Orang Kaya yang Berhak Jadi Guru?

Dari sini, bagaimana usaha yang dilakukan pemerintah? Selama ini, pemerintah masih terus kebingungan menentukan skema penggajian yang tetap untuk guru-guru non-PNS.

Terbaru, Komisi X DPR menggelar rapat bersama Kemendikbud, Kemendagri, Kemenkeu, KemenPAN-RB, hingga Badan Kepegawaian Negara (BKN) membahas permasalahan guru sisa tenaga honorer K-2 (THK-2), dan diusulkanlah skema Dana BOS plus.

"Skema yang kami rencanakan dalam bagaimana mengelola anggaran yang disalurkan itu ada namanya usulan kami itu BOS Plus, terdiri dari BOS ditambah dengan anggaran tambahan untuk guru non-PNS. Ini yang kemudian akan langsung disalurkan ke sekolah. Bisa untuk melakukan pembayaran langsung kepada guru-guru non-PNS," ujar Dirjen GTK Iwan Syahril (08/07/2020).

Dana BOS lagi, Dana BOS lagi. sekarang, namanya malah berganti jadi Dana BOS Plus. Besok, apalagi? Sandaran pemerintah adalah Dana BOS dan Dana BOS. Itu saja yang terus diutak-atik.

Padahal dari dulu hingga sekarang kita selalu kekurangan guru, terutama di daerah-daerah pelosok dan terpencil.

Bahkan salah satu rekan Kompasianer top, Pak Budi Susilo menuturkan bahwa negeri ini sudah terus kekurangan guru sejak tahun 1985. Bayangkan, 30 tahun, bro!

Selengkapnya, baca di sini: Bukan Kali Ini Saja Kelas Kurang Guru, Dulu Ada!

Berarti, selama 30 tahun itu pula pemerintah tidak serius memberantas kesenjangan pendidikan dari sisi kecukupan guru.

Mengapa? Guru-guru terlalu banyak yang berdiam di kota, mungkin! Di kota akses untuk mengajar dekat, kemudian tunjangannya juga besar. Kalau sudah begini, tentu saja persoalan kekurangan guru tidak akan pernah menemui kata tuntas.

Eksistensi Guru Penggerak di Tengah Kegelisahan Guru Honorer dan PPPK

Dan di saat kegelisahan guru honorer dan PPPK masih berlanjut, dilahirkanlah guru penggerak. Program baru untuk guru yang dianggap mampu menjadi pelopor transformasi pendidikan Indonesia yang berkemajuan.

Dilihat dari sajian harapan-harapan indah yang sudah saya tuangkan di awal tulisan ini, tentu saja kita optimis. Bahwa ada usaha, ada kepedulian pemerintah yang berorientasi pada perbaikan kompetensi guru.

Tapi, apakah program ini mampu menghapus kegelisahan guru?

Terus terang saja, ada beberapa kekhawatiran dari program guru penggerak yang mungkin bisa melahirkan kesenjangan antara sesama guru, terlepas dari statusnya (PNS, Honorer, Swasta, maupun PPPK).

Kekhawatiran pertama, bisa jadi program guru penggerak akan lebih banyak diisi oleh tenaga pendidik yang berstatus PNS.

Mengapa saya katakan demikian?

Dulu, tepatnya di tahun 2018 saya pernah beberapa kali menghadiri pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) se-kabupaten. Aktivitasnya adalah mengolah perangkat pembelajaran, pelatihan guru, hingga pengembangan kompetensi guru.

Yang saya amati ,kalau sudah ikut dan aktif dalam MGMP, nantinya seorang guru bisa menjadi tutor, pemateri serta kegiatan-kegiatan lain yang bertajuk pengembangan kompetensi guru. Kira-kira, miriplah dengan program guru penggerak ini.

Namun, tahukah Anda siapa-siapa saja guru yang lebih aktif dan sering hadir saat itu? Dalam 2-3 pertemuan, saya lihat hanya saya sendiri yang berstatus sebagai guru honorer. Yang lain? Guru PNS semua, bro!

Sesaat, saya beranggapan bahwa wajar kiranya lebih banyak guru PNS yang hadir. Toh, guru honorer pasti sibuk mencari penghasilan tambahan. Apalagi bila rumah guru tersebut cukup jauh dari tempat pertemuan MGMP, ongkos dari mana!

Apakah kejadian seperti ini nantinya akan terulang lagi pada program Guru Penggerak? Bisa jadi, kan. Peluangnya cukup terbuka.

Kekhawatiran kedua, tawaran untuk diprioritaskan sebagai pemimpin perubahan dalam program guru penggerak seperti kepala sekolah, pengawas sekolah, tutor dan sejenisnya saya kira terlalu berlebihan.

Secara, yang namanya guru penggerak adalah guru yang rela berkorban, guru yang tingkat keikhlasannya lebih wow daripada guru lainnya, serta guru yang lebih aktif dalam memunculkan inovasi pendidikan.

Mereka tidak harus menjabat sebagai kepala sekolah, pengawas atau sejenisnya karena sejatinya jalur dari jabatan itu tidak bisa dipangkas oleh program Guru Penggerak.

Kepala sekolah maupun pengawas sekolah mempunyai jalur birokrasinya sendiri. Misalnya dilihat dari pengalaman mengajar, prestasi kerja, pengalaman manajerial, serta harus mencapai golongan tertentu bagi mereka yang PNS.

Maka dari itulah, jika dari awal Guru Penggerak sudah diberi iming-iming bahwa mereka akan diprioritaskan menempati fungsi kepemimpinan tertentu, maka bukan tidak mungkin ada perasaan "lebih hebat" dibandingkan dengan guru-guru biasa.

Padahal, pelatihan pendampingan Guru Penggerak hanya 9 bulan saja, kan? Semestinya, biarlah pengalaman, prestasi kerja, serta akhlak seorang guru yang berbicara.

Jadi, bila kekhawatiran ini kita sandingkan lagi kepada kegelisahan yang sedang menimpa guru honorer dan PPPK, maka bisa ditebak eksistensi Guru Penggerak akan mudah redup. Malahan, program ini bisa jadi tidak ada bedanya dengan pelatihan-pelatihan guru biasa.

Lagi-lagi permasalahan ini cukup rumit sebenarnya. Di satu sisi kita ingin menggaungkan peningkatan kualitas/kompetensi guru, tapi di sisi lain kita juga kekurangan guru. Tambah lagi dengan kegelisahan guru yang belum jelas arah karier mereka ke depannya.

Tentu, rasa aman dahulu yang dicari, kan?

Meski begitu, fakta di lapangan tetap berbicara bahwa sejatinya kita tidak bisa berjalan setengah-setengah.

Mau menunggu guru cukup, mau menanti kesenjangan pendidikan teratasi, mau berharap pemerataan pendidikan segera diimplementasi, entah kapan bisa terwujud semua.

Peningkatan kompetensi guru harus tetap berjalan, kesenjangan pendidikan mesti terus dihapuskan, dan pemerataan pendidikan harus juga diperjuangkan.

Kiranya, program yang tepat sasaran ditambah dengan keterlibatan seluruh stakeholder pendidikanlah yang bisa mewujudkannya. Satu lagi! Butuh keseriusan, sih.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun