Namun, tahukah Anda siapa-siapa saja guru yang lebih aktif dan sering hadir saat itu? Dalam 2-3 pertemuan, saya lihat hanya saya sendiri yang berstatus sebagai guru honorer. Yang lain? Guru PNS semua, bro!
Sesaat, saya beranggapan bahwa wajar kiranya lebih banyak guru PNS yang hadir. Toh, guru honorer pasti sibuk mencari penghasilan tambahan. Apalagi bila rumah guru tersebut cukup jauh dari tempat pertemuan MGMP, ongkos dari mana!
Apakah kejadian seperti ini nantinya akan terulang lagi pada program Guru Penggerak? Bisa jadi, kan. Peluangnya cukup terbuka.
Kekhawatiran kedua, tawaran untuk diprioritaskan sebagai pemimpin perubahan dalam program guru penggerak seperti kepala sekolah, pengawas sekolah, tutor dan sejenisnya saya kira terlalu berlebihan.
Secara, yang namanya guru penggerak adalah guru yang rela berkorban, guru yang tingkat keikhlasannya lebih wow daripada guru lainnya, serta guru yang lebih aktif dalam memunculkan inovasi pendidikan.
Mereka tidak harus menjabat sebagai kepala sekolah, pengawas atau sejenisnya karena sejatinya jalur dari jabatan itu tidak bisa dipangkas oleh program Guru Penggerak.
Kepala sekolah maupun pengawas sekolah mempunyai jalur birokrasinya sendiri. Misalnya dilihat dari pengalaman mengajar, prestasi kerja, pengalaman manajerial, serta harus mencapai golongan tertentu bagi mereka yang PNS.
Maka dari itulah, jika dari awal Guru Penggerak sudah diberi iming-iming bahwa mereka akan diprioritaskan menempati fungsi kepemimpinan tertentu, maka bukan tidak mungkin ada perasaan "lebih hebat" dibandingkan dengan guru-guru biasa.
Padahal, pelatihan pendampingan Guru Penggerak hanya 9 bulan saja, kan? Semestinya, biarlah pengalaman, prestasi kerja, serta akhlak seorang guru yang berbicara.
Jadi, bila kekhawatiran ini kita sandingkan lagi kepada kegelisahan yang sedang menimpa guru honorer dan PPPK, maka bisa ditebak eksistensi Guru Penggerak akan mudah redup. Malahan, program ini bisa jadi tidak ada bedanya dengan pelatihan-pelatihan guru biasa.
Lagi-lagi permasalahan ini cukup rumit sebenarnya. Di satu sisi kita ingin menggaungkan peningkatan kualitas/kompetensi guru, tapi di sisi lain kita juga kekurangan guru. Tambah lagi dengan kegelisahan guru yang belum jelas arah karier mereka ke depannya.
Tentu, rasa aman dahulu yang dicari, kan?