Dulu, saat kami masih tinggal di pondok ibu saya selalu menanam ubi jalar. Tidak banyak, walau hanya 2-3 bedeng saja, tapi selalu cukup untuk kami konsumsi sebagai gorengan untuk cemilan sahur maupun rebusan ubi di hari raya.
Jadi saat tamu-tamu hari raya singgah untuk silaturahmi ke rumah, tidak hanya kue lebaran yang kami hidangkan melainkan juga ubi jalar rebus. Mungkin tamu-tamu cukup berasa aneh waktu itu. Hanya saja, ubi jalar rebus cocok untuk teman ngopi, toh?
Sayangnya semenjak kami membangun rumah baru di dekat jalan raya, semuanya berubah. Baik saya, ayah maupun ibu sudah jarang menanam ubi jalar. Alasan pertama karena kami terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan alasan kedua karena banyaknya hama tikus.
Meski demikian, terkait dengan maaf-memaafkan kita tetap bisa memetik pelajaran dari ubi jalar. Kenapa kok harus ubi jalar?
Soalnya dari kecil hinggalah tamat SMA, ubi jalarlah yang banyak menemani silaturahmi di keluarga kami. Jadi, mari sejenak kita lihat pesan dari ubi jalar.
Ubi Jalar Terus Merambat Meskipun Tak Bertulang
Apakah bermaaf-maafan hanya berlaku di hari raya saja? Agaknya ubi jalar bisa menjawabnya dengan cukup bijak. Ya, ibaratkan ubi jalar yang terus merambat, sejatinya ungkapan maaf bisa kita layangkan setiap saat meskipun tak berpijak pada hari raya.
Setiap ada kesalahan dan kekeliruan yang menyakiti hati seseorang, kita sebaiknya sesegera mungkin berusaha untuk merambat alias minta maaf. Sebaliknya juga demikian, yang merasa dizalimi jangan pula menyimpan dendam. Apalagi sampai dibawa mati!
Dalam bermaaf-maafan kita tidak kenal dengan gengsi dan umur. Memang, kebiasaan yang berlaku di hari raya Idul Fitri adalah yang muda meminta maaf kepada yang tua. Tapi, bukan berarti pihak yang tua tidak mau meminta maaf, kan?
Kembali kepada tubuh ubi jalar yang tak bertulang. Siapa saja bisa memulai untuk merambat, dan siapa saja dipersilakan untuk meminta maaf.
Makin Gembur Tanah, Makin Banyak Ubinya