Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Maafkan dengan Setulus Hati, Begini Pesan dari Ubi Jalar

22 Mei 2020   23:00 Diperbarui: 23 Mei 2020   13:58 2297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ubi jalar di kebun. Gambar dari pxhere.com

"Lihatlah tumbuhan ubi jalar, kita tidak bisa menebak berapa banyak ubi yang tersimpan dalam tanah. Daunnya mungkin sudah layu dan mengering, tapi sebelum digali kita tak pernah tahu."

Kira-kira seperti itulah perumpamaan sebuah permintaan maaf. Ibarat tumbuhan ubi jalar, kita tak bisa menebak apakah maaf kita diterima atau malah ditolak oleh orang lain. Senyumnya mungkin indah, tapi soal hati siapa yang tahu!

Kalaupun mau cari tahu, terpaksa kita harus cabut ubi jalar beserta akar-akarnya. Hanya saja, ini hati manusia. Tak bisa kita cabut, kan? Pada akhirnya kita tetap harus meminta maaf dengan setulus hati.

Kebetulan 2 hari lagi kita akan berganti bulan, dari Ramadan menjadi Syawal. 1 Syawal alias hari raya Idul Fitri adalah hari kemenangannya umat muslim. Kemenangan di sini bukan sekadar selesai menjalankan ibadah puasa melainkan juga kemenangan untuk mencapai takwa.

Ya, dalam 30 hari berpuasa minimal harus ada yang berubah dari diri seorang hamba. Mulai dari kualitas ibadah, kuantitas ibadah, hingga akhlak semuanya mesti ada peningkatan.

Di sela-sela peningkatan kualitas ibadah, kita biasa menambah kelapangan hati dengan cara saling bermaaf-maafan antar sesama  keluarga, kerabat, tetangga, teman hingga sahabat. Hanya saja, situasi saat ini berbeda drastis sebagai imbas dari pandemi Covid-19.

Saya sendiri pun awalnya cukup bingung harus bersikap bagaimana. Terang saja, semenjak jadi guru saya biasanya dikunjungi oleh murid-murid SMP. Tidak kenal jarak jauh maupun dekat, mereka biasanya tetap semangat untuk mengunjungi.

Hal itu sekaligus menjadi pengalaman yang begitu menyentuh bagi saya. Bagaimana tidak, biasanya saya hanya mengunjungi guru maupun dosen, tapi di hari itu saya malah dikunjungi balik. Bahkan, anak-anak rela menyewa angkot demi sampai ke rumah saya. 20 KM, jauh bro!

Tapi, karena keadaan hari tidak memungkinkan untuk saling berkunjung, mau tidak mau silaturahmi hari raya Idul Fitri dialihkan ke media digital. Tak mengapalah, meski rasanya jadi berkurang yang penting kita tetap sehat dan masih bisa saling bermaaf-maafan.

Walaupun demikian adanya, jika berbicara tentang silaturahmi di hari raya saya jadi teringat masa kecil. Waktu itu tepatnya pada hari raya pertama dan kedua, saya sudah bersiap-siap untuk merebus ubi jalar, tepatnya ubi jalar merah.

Ubi jalar merah. Gambar dari agronet.co.id
Ubi jalar merah. Gambar dari agronet.co.id

Dulu, saat kami masih tinggal di pondok ibu saya selalu menanam ubi jalar. Tidak banyak, walau hanya 2-3 bedeng saja, tapi selalu cukup untuk kami konsumsi sebagai gorengan untuk cemilan sahur maupun rebusan ubi di hari raya.

Jadi saat tamu-tamu hari raya singgah untuk silaturahmi ke rumah, tidak hanya kue lebaran yang kami hidangkan melainkan juga ubi jalar rebus. Mungkin tamu-tamu cukup berasa aneh waktu itu. Hanya saja, ubi jalar rebus cocok untuk teman ngopi, toh?

Sayangnya semenjak kami membangun rumah baru di dekat jalan raya, semuanya berubah. Baik saya, ayah maupun ibu sudah jarang menanam ubi jalar. Alasan pertama karena kami terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan alasan kedua karena banyaknya hama tikus.

Meski demikian, terkait dengan maaf-memaafkan kita tetap bisa memetik pelajaran dari ubi jalar. Kenapa kok harus ubi jalar?

Soalnya dari kecil hinggalah tamat SMA, ubi jalarlah yang banyak menemani silaturahmi di keluarga kami. Jadi, mari sejenak kita lihat pesan dari ubi jalar.

Ubi Jalar Terus Merambat Meskipun Tak Bertulang

Apakah bermaaf-maafan hanya berlaku di hari raya saja? Agaknya ubi jalar bisa menjawabnya dengan cukup bijak. Ya, ibaratkan ubi jalar yang terus merambat, sejatinya ungkapan maaf bisa kita layangkan setiap saat meskipun tak berpijak pada hari raya.

Setiap ada kesalahan dan kekeliruan yang menyakiti hati seseorang, kita sebaiknya sesegera mungkin berusaha untuk merambat alias minta maaf. Sebaliknya juga demikian, yang merasa dizalimi jangan pula menyimpan dendam. Apalagi sampai dibawa mati!

Dalam bermaaf-maafan kita tidak kenal dengan gengsi dan umur. Memang, kebiasaan yang berlaku di hari raya Idul Fitri adalah yang muda meminta maaf kepada yang tua. Tapi, bukan berarti pihak yang tua tidak mau meminta maaf, kan?

Kembali kepada tubuh ubi jalar yang tak bertulang. Siapa saja bisa memulai untuk merambat, dan siapa saja dipersilakan untuk meminta maaf.

Makin Gembur Tanah, Makin Banyak Ubinya

Secara pribadi, saya sangat bersyukur karena sejak kecil hinggalah sekarang sudah terbiasa mengunjungi rumah banyak orang, tepatnya saat hari raya tiba. Mulai dari orangtua sendiri, rumah tetangga, rumah nenek, rumah guru dan dosen, hingga rumah teman pun  saya datangi.

Ibaratkan banyaknya ubi jalar yang bertumbuh di tanah gembur, semakin banyak bersilaturahmi dan bermaaf-maafan, semakin lapang hati kita. Cocoklah hari raya Idul Fitri kali ini kita jadikan momentum untuk memperluas hati.

Secara, kebesaran hati akan menjauhkan kita dari sifat dendam, iri, dan dengki. Jika hati sudah terbiasa dibina agar berlapang-lapang sejak dini, rasanya di saat sudah dewasa nanti hati ini akan jadi lebih mantap.

Memang, lebaran kali ini tampaknya kunjungan kita untuk bermaaf-maafan sangat sempit dan terbatas. Tapi, kalau sudah disandingkan dengan hati, bukankah kelapangan tidak terbatasi oleh jarak dan waktu? Jadi, tetaplah menggemburkan hati dengan cara memaafkan.

Ubi Jalar Tidak Sulit untuk Bertumbuh

Sungguh luar biasa kuasa Allah dalam menciptakan tumbuhan yang bernama ubi jalar. Sebagai tumbuhan yang berkembang biak dengan cara merambat, ubi jalar begitu mudah untuk bertumbuh.

Tanam ubinya, bisa tumbuh. Tanam akarnya, lalu tumbuh. Dan tanam tunasnya, ternyata tumbuh juga.

Rasanya perilaku ikhlas dan memaafkan juga demikian. Orang-orang yang mudah memaafkan akan senantiasa mudah untuk bertumbuh dan berkembang. Selain hatinya yang makin lapang, akan Allah limpahkan juga baginya pahala dan kemuliaan.

"...Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah..." QS Asy-Syura:40

Terakhir, kita memang belum bisa memungkiri fakta bahwa perjuangan di masa pandemi Covid-19 sangat berat. Bekerja jadi berat, beraktivitas jadi ruwet, dan pendapatan jadi sekarat.

Pelanggaran yang terjadi di sana-sini seakan membuat keadaan makin runyam. Kita ingin sekali agar wabah ini segera hilang, tapi mengapa orang lain belum sadar!

Bermaaf-maafan. Gambar dari tempo.co
Bermaaf-maafan. Gambar dari tempo.co

Jelang hari raya tiba, kita perlu terus istiqomah dalam kebaikan. Semakin dewasa, semoga saja hati ini semakin tulus dan mau memaafkan dengan sepenuh hati. Semangat menyambut hari kemenangan.

Salam. Mohon Maaf Lahir & Batin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun