Guru, apa itu? Tidak pernah terbesit dipikiranku bahwa aku akan menjadi seorang guru hari ini. Profesi yang mulia ini sebenarnya hanya menjadi opsi terakhirku.
Terang saja, profesi dokter, dosen, akuntan, hingga aktor kelihatannya lebih prestisius daripada harus jadi guru. Namun, nyatanya jalan berliku berikut dengan gang-gang buntu di sela hidup seakan menjadi petunjuk arah bahwa aku sebaiknya jadi guru (saja).
Tapi, guru apa dulu?
Targetku waktu SMA sebenarnya adalah dokter, namun karena isu-isu biaya kuliah hingga setengah milyar, cita-citaku turun, yaitu dosen Matematika.
Kalaupun nanti memang benar-benar tidak ada harapan untuk jadi dosen, minimal aku bisa jadi guru Matematika. Penurunan target ini didasari atas tes IQ yang bernilai numerikal 90.
Aku pula masuk di jurusan IPA saat SMA, sehingga tingginya nilai numerikal seakan menjadikan motivasi untuk kuliah di bidang Matematika atau Statistik semakin menggebu-gebu.
Lain motivasi, lain pula kebiasaanku. Jika kebanyakan orang yang ingin jadi guru Matematika selalu berusaha dekat bahkan tidur dengan angka-angka, aku malah sibuk mengajar BTA (Baca Tulis Al-Qur'an) setiap sore di rumah.
Sebenarnya agak terpaksa mengajar, karena desakan tetangga yang kukuh menegaskan bahwa anak-anak mereka senang denganku. Apa boleh buat!
Pertama kali mengajar di rumah, muridku cuma 2. Saat itu aku masih duduk di kelas 2 SMA. Seminggu kemudian, bertambah menjadi 5, terus 10, bahkan tembus 20 murid.
Wah, ramai ya? Karena keramaian itulah aku mulai menikmati profesi sebagai guru BTA. Meskipun kadang-kadang aku bosan dan sering marah-marah tidak keruan, anak-anak malah tambah suka dan menganggap itu hiburan. Waduhhh!
Guru BTA, profesi ini terus berlanjut hingga detik-detik kelulusan SMA. Aku tetap mengajar, tapi saat itu pula aku mulai bimbang.
Aku begitu ingin daftar kuliah jurusan Matematika, tapi dikekang oleh orangtua. Katanya, mereka tidak punya cukup uang untuk menguliahkan aku di jurusan itu.
Terang saja, rumah kami di daerah Curup dan di sini hanya ada satu kampus negeri bernama STAIN Curup. Sayangnya di sana tidak ada jurusan Matematika. Yang ada hanya di Universitas Negeri Bengkulu (UNIB) yang berjarak 90 KM dari rumah.
Berarti harus indekos bukan? Nah, itulah problematika terbesar yang menyebabkanku tidak boleh daftar jurusan itu.
Beasiswa? Hmmm. Tahun 2012 informasi beasiswa begitu tabu. Entah karena di Curup informasi kurang update, atau malah aku yang kurang gesit mencari informasi.
Yang jelas, pikiran ini begitu terbelenggu karena masa depan mulai samar-samar. Sanak-saudara pula tidak memberikan solusi di saat kedua orangtuaku tetap kukuh dengan pendiriannya.
Sempat terbesit keinginan agar aku kuliah tahun depan saja, tapi pikiran itu langsung hilang karena kedua orangtua memintaku untuk kuliah di STAIN Curup saja. Karena pendaftaran buka bahkan menjelang tutup, aku segera mendatangi warnet.
Di jalan, pikiran ini berkecamuk. Hati dan otak seakan berteriak "aku harus pilih jurusan apa?"
Setelah sampai di warnet, aku mendapatkan wangsit tiga prioritas jurusan. Ketiganya aku urutkan sesuai dengan akreditasi.
Pertama PAI, lalu PGMI (PGSD), dan terakhir BK. Tanpa bernegosiasi panjang dengan monitor di warnet, aku langsung memilih jurusan PAI sebagai titik awal kelanjutan hidupku.
Hati ini seakan ikut-ikutan meyakini bahwa aku cocok mengambil jurusan PAI. Toh, aku selama ini sudah berpengalaman mengajar BTA.
Setelah daftar, aku pun harus mengikuti tahap ujian masuk terlebih dahulu. Sedikit khawatir sebenarnya, jangan-jangan tesnya Bahasa Arab pula? Dan benar saja, tesnya adalah BTA.
Huuuuh, selamat. Tidak ada kesulitan berarti waktu itu. Walaupun pengujinya sedikit menyeramkan, aku bisa melewatinya dengan awet hati. Berselang satu hari setelah tes, akhirnya aku membaca pengumuman. Dan... LULUS! Alhamdulillah.
Mulailah aku menempuh perjalanan panjang bersama jurusan PAI, tepatnya akhir Agustus 2012. Kuliah cuy! Hihihi. Selama kuliah, tidak ada rasa yang terlalu berbeda walau mata kuliahnya berupa kata-kata asing.
Menikmati, walau keluh di hati masih tentang "nanti, kalau sudah tamat S-1 PAI, kuliah S-1 Matematika saja!", aku tetap berusaha menjauhkannya dari tidurku.
Saat kuliah, aku tetap aktif mengajar BTA di rumah. Murid-muridku tetap stabil. Ada yang kabur tak berkabar, namun segera Allah cari gantinya. Terus seperti itu.
Bahkan, karena sudah naik tingkat (calon sarjana) aku pun dapat ide-ide segar untuk mengadakan kegiatan keagamaan di rumah. Wah, ternyata murid-muridku makin senang dan beberapa kali aku mendapat kiriman ayam dan nasi ketan. Hmmm, bahagianya.
Semester satu selesai, nilaiku lumayan bagus. IP 3,50 bukanlah hal yang mudah untuk dicapai untuk seseorang yang kurang niat seperti aku. Hoho.
Menjelang semester dua, tiba-tiba saja aku mendapat bencana. Ya, orangtuaku tidak punya cukup uang untuk membayar SPP. Hampir saja aku mengambil cuti kuliah, namun beruntungnya ibuku rela menjual anting emas hadiah dari ayahku dulu.
Di sinilah aku mulai sadar, dan mungkin inilah cara Allah untuk menegaskan bahwa pilihan orangtua adalah yang terbaik. Aku menangis dalam diam, dalam kesunyian, dan benar-benar ingin serius untuk kuliah di jurusan PAI.
Berkali-kali aku membayangkan jika saja kemarin aku kuliah di UNIB, mungkin aku sudah pecah ban di jalan alias berhenti di tengah-tengah. Huuuhh
Semester dua selesai, IP-ku meningkat jadi 3,80 dan mendapatkan beasiswa prestasi. Lanjut semester tiga, kuliahku tetap lancar dan stabil. Semester empat? Ini menjadi awal karirku dalam organisasi.
Tanpa berbekal pengalaman organisasi, aku pun dicalonkan oleh rekan-rekan mahasiswa PAI untuk menjadi ketua HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) PAI periode 2014-2015. Terpaksa? Tentu saja, tapi inilah cara keluar dari zona nyaman.
Selama menjadi ketua HMPS, aku mulai kenal dengan yang namanya banting lempar proposal, ribut sesama rekan, cara melaksanakan kegiatan, cara sambutan, bahkan cara pinjam sound system pun aku tahu. Hihi
Dan syukurnya, kesibukan ini tidak menjadikanku lalai dengan kuliah. Aku mendapatkan IP 4,0 dan kembali meraih beasiswa. Alhamdulillah, bisa bayar SPP dan beli HP Nokia X2, walaupun kini sudah terjual.Â
Pada semester lima, tidak ada masalah berarti dalam kuliahku. Paling sekadar bosan dan ngantuk-ngantuk beruk saat belajar.
Di semester enam, aku mulai sibuk berkecimpung di masyarakat melalui program Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) selama hampir tiga bulan. Tahu sebagai apa?
Ya, kalau tidak jadi imam, khotib, atau guru BTA di desa orang. lagi-lagi tugasku sudah tertebak. Memang sesuai dengan jurusanku, sih.
Setelah KPM, aku melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) sebagai guru di SMP Negeri 1 Rejang Lebong. Sekolah rujukan yang dulunya bertaraf internasional. Wah, agaknya gemetar badan ini saat pertama kali datang.
Dan hebatnya, guru PAI di SMP langsung memintaku untuk mengajar kelas akselerasi. Waduh! Pertanyaan siswanya tajam-tajam dan menusuk Loh... Beruntung aku bisa jawab. Hehe
Karena begitu banyak kesibukan tentang kuliah dan mengajar, aku tidak ingat lagi tentang Matematika. Saat aku mulai punya waktu lapang untuk merenung, tiba-tiba saja kepala SMP memintaku untuk menjadi pembina ekstrakulikuler Seni Baca Qur'an (SBQ).
Apa mau dikata? Sebenarnya aku sekadar guru BTA yang belum begitu lincah dalam berseni Qur'an, tapi kepala sekolah berikut dengan guru-gurunya begitu yakin.
Sekonyong-konyong, aku mulai repot. PPL jalan, pembina SBQ jalan, guru BTA jalan. Alhamdulillah tidak ada masalah berarti bagiku.
Kesulitan-kesulitan dalam mengajar dan membina segera dipermudah oleh Allah melalui perantara guru-guru yang sangat terbuka dan menyenangiku. Murid-muridnya pula demikian bahagia, seakan-akan aku jadi orang penting di sana.
Di sinilah cinta mengajar itu datang. Aku mulai betah dengan spidol, papan tulis, berikut dengan penghapusnya. Tapi sayang, waktu PPL hanya 3 bulan dan aku harus kembali ke bangku kuliah. Ya, untuk mulai menggarap sawah. Ehhh, skripsi maksudnya.
Menjelang pamit dari SMP Negeri 1 Rejang Lebong, mataku begitu berbinar. Agaknya aku sedih, tapi di sisi lain banyak guru yang menawarkan agar nanti setelah lulus aku mengajar di sana saja. Sontak saja, aku mengiyakan. Good bye SMP, Good bye murid-muridku!
PPL selesai, akhirnya aku masuk semester akhir. Proposal, skripsi, berikut dengan bau dosennya mulai melekat padaku. Tampaknya cukup sibuk dan waktuku begitu terkuras.
Aku pun terpaksa harus memberhentikan sementara pembelajaran BTA di rumah karena harus fokus dengan skripsi. Sebenarnya skripsinya tidaklah terlalu susah, tapi dosennya sering hilang timbul. Sungguh mengusik waktu, tapi ini adalah proses.
Semua gundah, duka, gembira sudah terjalani dan akhirnya aku selesai ujian skripsi. Lulus? Alhamdulillah. Tepatnya tanggal 20 Oktober 2016 aku wisuda dan mendapat gelar wisudawan terbaik jurusan PAI. Ada keanehan tersendiri yang berkali-kali singgah di hatiku.
Nilai IQ-ku tinggi di numerikal dan rendah di verbal, tapi aku malah beprestasi di bidang PAI yang sejatinya penuh dengan verbalistis. Mulai detik itulah aku tidak percaya lagi dengan yang namanya angka-angka IQ.
Wisuda selesai dan liburan pun menjelang. Karena belum dapat kerja, aku pun kembali dengan profesi guru BTA. Banyak teriakan di sana-sini: "kerja di mana zy!", tapi baru bisa aku jawab dengan senyuman.
Sempatku bertanya pada salah satu guru di SMP tempatku PPL kemarin, tapi jawabnya guru PAI masih penuh. Tidak mengapa, karena mencari pekerjaan di era globalilasi memang susah.
Sudah susah, aku pun dapat masalah. Aku kedatangan kakak kelas sewaktu SMA yang menawarkan pekerjaan sebagai sales produk. Aku menolak sekaligus sakit hati. Hari itu, ia menyindir profesiku sebagai guru BTA dengan mengatakan:
"Kamu tidak mungkin jadi guru BTA selamanya!"
Begitu keras sindirannya, bahkan membuat Ibuku naik pitam. Beruntungnya dia segera pergi sebelum Ibuku keluar kamar.
Kehidupan berlanjut dan aku mulai angin-anginan dalam mengajar. Aku bosan karena belum dapat pekerjaan. Bukannya tidak mencari, tapi aku pilih-pilih. Di saat-saat santai, aku tergoda untuk melanjutkan kuliah ke jenjang magister, namun belum ada biaya.
Aku pun mendapat tawaran dari saudara sepupu di Perawang (Riau). Ia mengajakku agar mencari kerja di sana saja. Bahkan ia menambahkan bahwa jika saja aku mau jadi kontraktor di PT, maka aku bisa kerja sambil kuliah.
Sontak, aku tergoda dan langsung menegaskan diri untuk merantau saja. Ibuku berat hati melepasku, tapi aku sudah benar-benar berniat. Ayahku? Beliau ACC saja. Di akhir November, aku berangkat sendirian ke Perawang.
Aku tidak sempat berpamitan dengan teman-temanku. Aku hanya sempat menyapa mereka dengan status facebook "go to Perawang". banyak teman-teman yang sedih karena aku tinggalkan.
Setelah aku tanya, ternyata mereka mau nyebar undangan. Haha, wajar saja. Kurang amplop berarti. Wkwk
Tepat sehari semalam perjalanan bus, akhirnya aku tiba di Perawang. Aku disambut oleh saudara-saudara sepupu berikut dengan Cicik (Tante), adik-adik dari ayahku. Di sana, aku tidak ngontrak maupun indekos. Aku numpang di rumah Cicik.
Terang saja, beliaulah yang menawarkanku untuk merantau sekaligus tempat berteduh.
Di Perawang sangat panas. Wajar memang, karena Perawang merupakan kota industri. Di sana, aku tidak bersantai. Selang satu hari aku segera memasukkan berkas untuk menjadi kontraktor di PT Indah Kiat Pulp and Paper Perawang.
Satu minggu berlalu, bahkan satu bulan, aku belum dipanggil untuk kerja. Ternyata nganggur di tanah rantau lebih membosankan.
Di waktu senggang, aku dapat tawaran mengajar di SMP Negeri dari seorang guru di dekat rumah Cicik. Jaraknya 10 KM dari rumah dan gajinya Rp.500 ribu. Aku menolak, karena gaji di PT lebih menggiurkan dan aku ingin lanjut kuliah.
Tepat hampir satu setengah bulan menganggur, akhirnya aku dapat panggilan kerja. Lokasinya adalah di STT, yaitu bagian pencetakan dan packing book. Dan durasi kerjanya? 8 jam nonstop. Ada shift pagi, sore dan malam . Wow!
Hari pertama aku kerja, aku langsung tumbang. Ternyata kerjanya berat. Aku harus packing dan mengangkat buku yang sudah disegel kardus. Mungkin sekitar 25-35 kg, tapi jika sudah berpuluh-puluh kardus berat juga kan!
Belum lagi udara di sana begitu menyesakkan. Bau-bau limbah pabrik sangat menusuk hidung, tapi ya inilah namanya kerja. Ternyata enaklah mengajar di sekolah!
Seminggu, dua minggu aku bisa segera beradaptasti. Rekan-rekan kerja begitu baik dan terus menyemangatiku. Dua bulan kerja, aku makin semangat karena aku mulai paham alur kerja dan teman-teman mulai mengakui keterampilan kerjaku.
Akhirnya aku sering lembur dan dipindahkan ke bagian stacking & sorting book. Di bagian ini aku harus selalu cepat dalam menyusun buku sekaligus menyortirnya. Makin cepat jalan mesin, makin cepat pula tanganku bergerak. Tidak bisa duduk pula!
Memasuki bulan Agustus 2017, aku mulai malas, lelah dan bosan. Aku rindu mengajar. Beberapa kali aku update status di facebook karena rindu itu tak kunjung luput. Semakin ke sini ternyata aku semakin sadar bahwa kerja tidak sesuai jurusan itu tidaklah enak.
Apalagi di pabrik. Belum selesai di sana, aku pula harus menghadapi saudara sepupu yang agaknya mulai tidak senang denganku. Sungguh bosan!
Kabar baik, pada tanggal 22 Agustus 2017 guru PAI SMP Negeri 1 Rejang Lebong mengomentari status facebook-ku. Kata beliau:
"Baliklah zy, di sini ada jam!"
Sekonyong-konyong, aku langsung berdiskusi dengan orangtua dan membuat surat resign.
Tepat di tanggal ulang tahunku, 24 Agustus 2017 aku langsung resign dari pabrik. Dua hari berselang, aku langsung pesan tiket bus dan pulang ke Curup. Tentu saja dengan perasaan berbunga-bunga dan berharap segera mekar jadi guru.
Hari minggu pagi aku sampai, dan esok harinya aku langsung buat lamaran serta menyerahkannya ke SMP. Tidak ada birokrasi yang rumit, aku pun langsung diterima dan langsung kerja.
Alhamdulillah, rekan-rekan guru begitu bahagia menyambutku. Aku pun demikian. Jiwa ini rasanya tergerak untuk cepat-cepat masuk kelas. Mengajar PAI 12 JP, ditambah ekstrakulikuler RISMA dan SBQ. Nikmat mana lagi yang mau didustakan!
Baru beberapa hari kerja sebagai guru honorer aku sudah bisa beradaptasi, bahkan tidak perlu berdaptasi karena mereka para guru sudah mengenaliku.
Aku begitu bahagia. Esktrakulikuler RISMA yang selama ini nyaris vakum kembali aku hidupkan, begitu pula dengan SBQ.
Bahkan, anak-anak RISMA asuhanku begitu fenomenal dan terkenal dengan kebaikan hatinya. Motto kerja ikhlas yang aku tanamkan begitu lengket dengan mereka.
Aku terus mengajar dan berkarya. Metode-metode pembelajaran terbaru aku makan, inovasi baru berusaha aku timbulkan, dan teladan berusaha aku tularkan. Alhamdulillah, mushola di SMP jadi ramai bahkan lengkap dengan petugas azan di setiap harinya.
Sekolah pula begitu perhatian padaku dan sekaligus menjadikanku pusat perhatian. Terang saja, setiap ada lomba aku dijadikan pendamping. Setiap ada acara kegiatan, aku ditugaskan jadi panitia kegiatan atau pembaca doa.
Siapa lagi kalau bukan aku, toh di sana guru PAI ketiganya adalah perempuan. Setidaknya mereka mempercayakan kemajuan PAI di SMP denganku.
Di tahun 2018 pekerjaanku ditambah. Selain jadi guru dan pembina, aku ditugaskan sebagai staf perpustakaan dan pengurus mushola. Alhamdulillah, tambah kerja naik gaji. Bagaimana aku bisa tidak menikmatinya? Dan bagaimana bisa aku tidak betah. Hehe
Pada bulan Agustus 2018, aku memilih untuk melanjutkan studi magister di IAIN Bengkulu.
Terang saja, pendaftaran CPNS untuk formasi guru masih sekadar isu, hingganya aku memilih kuliah lagi untuk mengejar cita-citaku. Bukan dosen Matematika, melainkan dosen PAI. Â Mengajar jalan, kuliah jalan dan aku menikmati kesibukan ini.
Menjelang Oktober 2018, ada kabar bahwa pemerintah akan membuka pendaftaran CPNS dengan formasi hingga ratusan ribu. Ini kabar baik dan setelah aku lihat peluang guru PAI lumayan banyak.
Formasinya, 25 orang untuk kabupaten Curup, dan 50 orang untuk kabupaten Kepahiang. Aku segera memilih formasi sebagai guru PAI SD di Kepahiang karena peluangnya lebih besar, Â Bismillah, kataku dalam hati.
Dan alhamdulillah, Allah kembali memberikanku nikmat sekaligus menegaskan bahwa jalan hidupku adalah sebagai guru. Aku pun lulus tes CPNS sebagai guru PAI, tepatnya di SD Negeri 08 Tebat Karai, Kepahiang dan mulai bertugas tanggal 01 April 2019 kemarin.
Hebatnya lagi, di SD aku malah fokus mengajar mata pelajaran BTA karena guru PAI di sana baru akan pensiun tahun 2020.
Setelah beberapa bulan mengajar, ternyata di SD begitu membahagiakan dan aku lebih bahagia. Tidak ada lagi lahanku untuk berkeluh, melainkan Allah berikan banyak kesempatan agar aku berkembang.
Kecintaanku akan profesi gurus semakin bertumbuh dan aku sangat mencintainya. Biarpun jarak tempuh ke SD sejauh 58 KM dari rumah, tidak menyurutkan semangatku untuk terus pasang.
Sudah. Barangkali tulisan ini luar biasa panjang. Tapi, Aku betah jadi guru, karena inilah jalanku untuk menggapai kemuliaan. Semoga profesi ini akan mendekatku ke surga. Aamiin.
Salam.
Kisah ini tertuang dalam Buku Antologi Cerpen "Sang Mentari Peradaban"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H