Begitu keras sindirannya, bahkan membuat Ibuku naik pitam. Beruntungnya dia segera pergi sebelum Ibuku keluar kamar.
Kehidupan berlanjut dan aku mulai angin-anginan dalam mengajar. Aku bosan karena belum dapat pekerjaan. Bukannya tidak mencari, tapi aku pilih-pilih. Di saat-saat santai, aku tergoda untuk melanjutkan kuliah ke jenjang magister, namun belum ada biaya.
Aku pun mendapat tawaran dari saudara sepupu di Perawang (Riau). Ia mengajakku agar mencari kerja di sana saja. Bahkan ia menambahkan bahwa jika saja aku mau jadi kontraktor di PT, maka aku bisa kerja sambil kuliah.
Sontak, aku tergoda dan langsung menegaskan diri untuk merantau saja. Ibuku berat hati melepasku, tapi aku sudah benar-benar berniat. Ayahku? Beliau ACC saja. Di akhir November, aku berangkat sendirian ke Perawang.
Aku tidak sempat berpamitan dengan teman-temanku. Aku hanya sempat menyapa mereka dengan status facebook "go to Perawang". banyak teman-teman yang sedih karena aku tinggalkan.
Setelah aku tanya, ternyata mereka mau nyebar undangan. Haha, wajar saja. Kurang amplop berarti. Wkwk
Tepat sehari semalam perjalanan bus, akhirnya aku tiba di Perawang. Aku disambut oleh saudara-saudara sepupu berikut dengan Cicik (Tante), adik-adik dari ayahku. Di sana, aku tidak ngontrak maupun indekos. Aku numpang di rumah Cicik.
Terang saja, beliaulah yang menawarkanku untuk merantau sekaligus tempat berteduh.
Di Perawang sangat panas. Wajar memang, karena Perawang merupakan kota industri. Di sana, aku tidak bersantai. Selang satu hari aku segera memasukkan berkas untuk menjadi kontraktor di PT Indah Kiat Pulp and Paper Perawang.
Satu minggu berlalu, bahkan satu bulan, aku belum dipanggil untuk kerja. Ternyata nganggur di tanah rantau lebih membosankan.
Di waktu senggang, aku dapat tawaran mengajar di SMP Negeri dari seorang guru di dekat rumah Cicik. Jaraknya 10 KM dari rumah dan gajinya Rp.500 ribu. Aku menolak, karena gaji di PT lebih menggiurkan dan aku ingin lanjut kuliah.