Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pola Hemat Energi Rumah di Kampung

6 November 2023   21:51 Diperbarui: 10 November 2023   10:15 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah panggung di salah satu perkampungan Toraja dengan listrik dari PLN. Sumber: dok. pribadi

Hemat energi telah lama dikampanyekan di hampir seluruh belahan dunia. Perilaku hemat energi bisa dimulai dari diri sendiri, lingkungan tempat tinggal atau dalam sebuah komunitas seerta bentuk-bentuk lainnya. Selain itu, penghematan energi bisa dilakukan lewat rumah atau kediaman. 

Perkembangan kehidupan yang berselimutkan modernisasi telah mendorong peningkatan penggunaan energi yang masif. 

Perusahaan, intitusi hingga kebutuhan individu memanfaatkan energi sebesar-besarnya untuk mendapatkan dampak berupa keuntungan dan manfaat. 

Volume dan intensitas pemanfaatan energi di perkotaan sangat kontras dengan pemanfaatannya di daerang pinggiran atau kampung. 

Warga perkotaan cenderung menggantungkan kehidupannya pada ketersediaan energi yang diberikan oleh listrik. Sementara di pedesaan atau perkampungan, warga cenderung lebih arif.

Kemudahan hidup yang disediakan oleh energi tidak serta-merta membuat masif pemanfaatannya di kampung. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan dan pola hidup warga di kampung yang berjalan beriringan dengan kearifan lokal setempat. 

Model bangunan rumah dan kebiasaan tinggal di rumah secara tidak langsung terpola dan memuat nilai-nilai kearifan lokal. Oleh karena hal inilah, tidak mengherankan jika warga kampung lebih memiliki kontribusi dalam hal penghematan energi.

Kali ini saya menuliskan perilaku warga di kampung saya, Gandangbatu Sillanan dalam membantu penghematan energi melalui tindakan yang mewujudkan rumah hemat energi. Sejak dulu, jauh sebelum ada listrik, telah terpelihara kebiasaan akan penghematan energi di rumah. 

Pola rumah hemat energi tidak dibuat seperti membangun rumah-rumah minimalis di perkotaan yang mana bangunannya memperbanyak kaca di bagian dinding. 

Pola hemat energi dimulai dari rumah adat orang Toraja yang menyerupai perahu, yakni tongkonan. Jika dilihat sekilas, jendela rumah tongkonan sangat kurang. 

Pintunya pun hanya satu. Lalu, bagaimana bisa hemat energi? Tentunya dengan jendela dan pintu yang terbatas akan menghasilkan ruangan yang gelap. 

Di sinilah kearifan lokal akan hemat energi telah ditanamkan oleh nenek moyang orang Toraja sejak dahulu. Bangunan rumah tradisional yang minim jendela dan pintu tidak hanya berlatar belakang bahwa cuaca dingin di Toraja membutuhkan bangunan rumah yang membutuhkan panas. 

Model dinding dan pintu rumah tongkonan  dimaksudkan untuk memberikan kehangatan bagi penghuni yang berdiam diri di dalam bangunan rumah tanpa bantuan teknologi. Secara tidak langsung minimnya jendela dan pintu yang hanya satu telah menghindarkan warga Toraja dari kedinginan.

Seiring perkembangan zaman, ketika listrik dan teknologi telah merambah hampir seluruh pelosok Toraja, akan tetapi nilai-nilai kearifan lokal tetap tertanam dalam kehidupan warga Toraja, khususnya yang bermukim di kampung-kampung. 

Bukan lagi rumah tradisional Tongkonan yang menjadi hunian utama. Rumah-rumah panggung dari kayu atau bambu menjadi pilihan warga karena biaya yang lebih terjangkau dibandingkan dengan membangun model rumah Tongkonan atau rumah beton bertingkat. 

Suasana rumah panggung di sudut perkampungan Toraja. Sumber: dok. pribadi.
Suasana rumah panggung di sudut perkampungan Toraja. Sumber: dok. pribadi.

Sampai saat ini, memasuki tahun 2023, rumah panggung dari kayu dan beratap seng paling populer dijumpai di kampung-kampung. Namun, berbeda dengan model rumah panggung suku Duri dan Bugis yang banyak jendelanya. 

Dengan menggunakan papan atau bambu yang menutupi hampir keseluruhan dinding rumah, kadang kala jendela hanya satu atau sama sekali tidak ada, maka suasana dalam rumah pasti agak gelap. 

Apakah sudah ada listrik pada rumah-rumah warga? Ya. Hampir semua sudah memiliki aliran listik, baik dari PLN, turbin, genset maupun tenaga surya.

Apakah suasana rumah yang gelap, pemilik rumah akan membiarkan lampu menyala sepanjang waktu? Jawabannya tidak. Warga Toraja masih menganut hemat energi secara tradisional meskipun sudah hidup di jaman penuh modernisasi. 

Lampu hanya dinyalakan saat malam tiba dan menyala di tempat yang dibutuhkan cahayanya. Kebiasaan ini terbawa dari zaman dulu yang hanya menggunakan lampu minyak. Jika tak ada kegiatan, lampu minyak dipadamkan. 

Kemudian tidak semua balon listrik yang ada di rumah dinyalakan, hanya pada tempat-tempat tertentu yang dianggap paling dibutuhkan cahayanya. Misalnya di emper rumah, kamar mandi, ruang makan, dan kamar tidur. 

Uniknya lagi, jika tidak ada kegiatan di ruangan-ruangan tersebut, maka secara refleks warga akan memadamkan lampu. Dapur, ruang makan, dan kamr mandi akan gelap di malam hari. 

Warga hanya menyalakannya saat digunakan saja. Bahkan, emper rumah sekalipun pun dipadamkan lampunya. Pola hidup dan kebiasaan  ini menggambarkan terjadinya rumah hemat energi.

Jadi, tidak mengherankan jika berkunjung ke kampung-kampung di Toraja, masih banyak rumah yang dijumpai seolah gelap gulita tanpa lampu di malam hari. 

Bukannya tidak ada lampu, hanya dipadamkan oleh yang empunya rumah. Tambahan pula, orang Toraja sudah terbiasa tidur di malam hari tanpa cahaya lampu. Kebiasaan ini pula yang membuat banyak orang Toraja tak bisa tidur jika ada lampu yang menyala di kamar atau di sekitar tempatnya tidur. 

"Kita bukan anak-anak ayam petelur yang selalu hidup di bawah cahaya lampu sepanjang hari atau kita bukanlah anak-anak babi yang baru lahir yang butuh cahaya lampu listrik agar tetap hangat." 

Ungkapan ini seringkali diucapkan oleh warga manakala mendapati seseorang sesama warga Toraja yang selalu menyalakan lampu listrik di rumahnya meskipun bukan malam hari. 

Konon, jika tidur di malam hari di bawah cahaya lampu, maka badan akan pegal-pegal, terasa ngilu atau terasa lemas ketika bangun di pagi hari. Entahlah, apakah ada benarnya atau tidak, pola pemikiran tersebut masih ada hingga kini dan diterapkan oleh mayoritas orang tua di Toraja.

Rumah-rumah panggung warga Toraja pun tidak dimanjakan dengan fasilitas instant seperti rice cooker atau dispenser. Dapur atau tungku kayu masih menjadi primadona hingga kini. 

Meskipun rumah beton sekalipun, warga tetap membuat dapur kayu di samping rumah. Hal ini terjadi karena sebagian besar warga Toraja masih memasak air minum dan nasi secara tradisional menggunakan dapur kayu. 

Paham bahwa air minum dan nasi yang dimasak menggunakan kayu bakar lebih menyehatkan masih kuat dalam pemikiran para orang tua di Toraja.

Untuk menghasilkan  kesejukan, rumah warga di kampung tak membutuhkan kipas angin atau AC. Cukup dengan membuat emper rumah panggung yang agak luas yang disebut tanggo' sebagai tempat duduk santai keluarga. 

Lalu, untuk memelihara kesejukan secara alamiah, maka disekitar rumah-rumah warga akan banya ditumbuhi pepohonan hijau. Umumnya dari pohon buah-buahan, seperti nangka, langsat, manggis, rambutan dan mangga. Adapula pohon cendana. Rumpun bambu menjadi bagian yang tak terpisahkan pula dari perkampungan tradisional. 

Bahkan tanaman  kopi robusta dan arabica seringkali menjadi tanaman pemberi kesejukan di sekitar rumah warga. Khusus pohon nangka, langsat, cendana dan bambu, keempat jenis tanaman ini memiliki peran dalam pola hidup tradisonal warga Toraja. 

Di sinilah keunikan dari pola hemat energi yang dimiliki oleh rumah-rumah di Toraja, khususnya yang ada di wilayah perkampungan. 

Jadi, rumah hemat energi versi warga Toraja adalah bukan pada model rumahnya, melainkan ada pada pola hidup warganya yang telah terpelihara turun-temurun. Alam, budaya dan kearifan lokal ternyata secara tidak langsung mendorong perilaku hemat energi di rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun